Tanpa Dia

672 84 7
                                    

Aku melepaskan napas panjang, tapi dadaku malah terasa sesak. Beberapa detik yang lalu aku baru saja memutuskan sambungan telepon dari Lingga. Sekitar satu jam lalu, aku mengirimkan desain logo untuk Toko Kue Matahari yang sudah sempurna. Lalu, Lingga mengirimkan sisa pembayarannya ke rekeningku.

Selesai.

Telepon masuk darinya yang mengabarkan pembayarannya sudah dikirim dan ucapan terima kasih, bagiku terdengar seperti ucapan selamat tinggal. Sudah. Ya, berakhir sudah. Aku tidak punya alasan lagi untuk menunggu pesan chat apalagi pertemuan dengan Lingga.

Tentu saja, sempat terbersit di pikiranku, aku ingin membuat proses penyelesaian logonya lebih lama. Aku segera menghapus pikiran picik itu. Karena itu berarti aku akan membuat proses buka kembali Toko Kue Matahari semakin lama. Dan itu pun berarti aku bukan seorang profesional.

Sebenarnya aku tahu, sangat tahu, mengapa aku jadi sesedih ini. Apalagi kalau bukan jatuh cinta. Perasaan paling kubenci! Harusnya aku sudah paham akhirnya akan seperti ini. Berapa kali pun aku jatuh cinta tidak akan ada yang berakhir seperti kisah Cinderella. Gadis yang awalnya tidak cantik menjadi sangat cantik berkat sihir ibu peri lalu menikah dengan pangeran.

Aku menghempaskan tubuhku ke kasur, hingga menimbulkan bunyi berdebum. Semacam ada sesuatu yang sangat berat baru saja menimpa kasurku. Seandainya kasur ini bisa bicara mungkin dia sedang mengeluh atau bahkan mengomel.

Aku patah hati.

Aku memutuskan ingin tidur sepanjang hari saja.

**

Benar, aku ketiduran lumayan lama sepertinya. Seandainya perutku tidak keroncongan mungkin aku masih akan melanjutkan tidurku. Jam dinding di kamarku menunjukan pukul tiga sore. Itu berarti aku sudah tidur kira-kira empat jam. Pantas saja aku lapar sekali.

Aku beringsut turun dari kasur dan menuju ke dapur bersama di rumah kos. Di hari kerja rumah kos ini kosong. Karena sebagian besar penghuninya adalah mahasiswi dan pegawai kantoran. Jadi aku bisa lebih leluasa menggunakan dapur ini tanpa harus antre menggunakan kompor. Mengambil roti tawar yang kusimpan di kulkas sejak tiga hari lalu, menghangatkannya di microwave. Aku hendak membuat camilan pengganjal perut, roti lapis telur mata sapi dengan potongan tomat dan selada.

Triiiriiing....

Baru saja aku hendak memasukkan roti lapis telur ke dalam mulut, ponsel di saku celana tidurku berbunyi.

Nama Mbak Tina berkedip-kedip di layar ponsel.

"Halo. Ya, Mbak, ada apa ya?"

"Kamu di mana, Ra?" tanya Mbak Tina dari seberang telepon tanpa embel-embel halo balasan.

"Di kos, Mbak. Ada apa? Deadline kerjaan masih dua hari lagi, kan?"

"Oooh... syukurlah...." aku mendengar desahan panjang napas Mbak Tina. "Aku khawatir."

"Eh, kenapa, Mbak?"

"Barusan itu lho, Nalisa telepon ke kantor. Nanyain kamu. Katanya kamu sejak pagi susah dihubungi. Dia sedang di luar kota, makanya dia minta aku hubungi kamu juga. Katanya dia takut kamu bunuh diri. Aku kan jadi ikutan panik!"

"Hah?!" Antara ingin tertawa dan ingin marah ke Nalisa. Kenapa dia bisa menyimpulkan aku pengin bunuh diri segala coba? Dan sempat-sempatnya Nalisa berpikiran aneh begitu di saat sedang syuting iklan di luar kota. Aku pikir dia jauh dari Jakarta berarti aku terbebas dari gangguan, ternyata salah.

"Syukurlah kalau kamu baik-baik saja. Kamu jangan lupa hubungi Nalisa, dia khawatir banget tadi tuh. Katanya kalau saja ada di Jakarta dia pasti sudah ke kos kamu!"

Kue Untuk FayraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang