Kenangan

857 99 4
                                    

"Hah? Nggak mungkinlah gue naksir si Fayra yang jelek itu!"

"Hush! Nggak boleh gitu lho, nanti malah kena karma! Lo bisa nakir sama dia!"

"Haha.. nggak mungkin! Mending aku sama sepupunya yang cantik itu. Nalisa ya namanya? Yang di kelas sebelah."

"Hu! Ngimpi! Nalisa mana mau sama lo, Bagas!"

Kalimat itu berputar di ingatanku, seperti rekaman video rusak setiap kali aku mengingat masa-masa aku mengenakan seragam putih abu-abu. Kenangan yang bagi sebagian orang adalah masa-masa indah, masa-masa pertama kali jatuh cinta, masa-masa pertama kali punya kekasih. Tapi bagiku, adalah masa-masa yang...menyedihkan.

Aku masih ingat benar hari itu. Aku jatuh cinta pertama kalinya pada seorang ketua kelas di SMA. Usiaku genap 17 tahun. Katanya, itu adalah usia di mana pertama kalinya merasakah cinta pertama. Ya, seperti kebanyakan orang aku merasakannya juga. Bedanya, kisahku langsung berakhir tidak bahagia padahal belum memulai apa pun.

Namanya Bagas, dia tidak bisa dikatakan cowok paling keren satu sekolah. Aku tahu diri, tidak mungkin aku jatuh cinta pada seorang cowok paling keren di sekolah, sementara aku hanya gadis buruk rupa yang sering ditatap dengan pandangan merendahkan. Aku juga bukan cewek jelek yang pintar dan punya segudang prestasi untuk dibanggakan seperti tokoh utama di dalam FTV.

Aku hanya Fayra, cewek pendek gendut dan tidak cantik, juga tidak terlalu pintar.

Aku jatuh cinta pada Bagas. Bukan cinta pada pandangan pertama yang diawali dengan tabrakan romantis. Aku jatuh cinta karena awalnya dia terlihat adil di mataku. Dia menyapa semua murid di kelas dengan cara yang sama. Dia juga menyapaku tanpa ekspresi risih. Tatapannya teduh dan membuat tenang. Beberapa kali dia menawarkan untuk satu kelompok denganku jika ada tugas kelompok Karena tidak ada murid lain yang mengajakku di kelas.

Mungkin bukan salah mereka juga tidak menganggapku ada. Karena aku sudah lebih dulu menutup diri dan membatasi agar tidak perlu bergaul.

Entah sejak kapan aku jatuh cinta padanya. Untuk membalas budinya karena aku merasa dia perhatian padaku, aku beberapa kali membagi bekal makan siangku dengannya. Dia menerimanya dengan senang hati, kupikir. Ternyata aku salah, Bagas tidak sesenang yang kubayangkan. Mungkin juga, aku yang berharap berlebihan.

Aku mendengar sendiri tanpa sengaja, Bagas bilang aku jelek. Ya aku tahu, itu kenyataan. Tapi, kenapa terasa lebih menyakitkan ketika yang mengatakannya adalah Bagas? Sejak saat itu aku sadar, dia adalah cinta pertamaku yang langsung hancur saat itu juga.

"Hoi! Ngelamun aja sih!" Nalisa menepuk pundakku mengantarkanku keluar dari lamunan lumayan panjang. Gara-gara melihat sepasang anak sekolah berseragam SMA aku jadi teringat Bagas, si cinta pertama... dan mungkin juga terakhir. Karena aku merasa tidak perlu lagi jatuh cinta.

"Udah milih sepatunya?" Tanyaku. Aku sejak tadi menemani Nalisa ke mall, duduk di kursi yang disediakan di toko sepatu. Sementara Nalisa sibuk mencoba satu per satu sepatu sambil dilayani dengan baik oleh pelayan toko.

"Udah. Nih dapat dua pasang. Nggak mau sekalian beli, Ra?"

"Dibeliin?" tanyaku.

"Ya, nggaklah! Tabungan kamu kan lebih banyak dari aku." Nalisa menjulurkan lidahnya.

"Pelit." seruku.

"Jadi ke toko buku?" tanya Nalisa padaku.

"Jadi. Mau cari buku-buku tentang kue gitu." Jawabku sambil berjalan mendahului Nalisa ke arah toko buku.

"Hah? Buat apa? Mau belajar masak?" Nalisa tampak kerepotan menyejajarkan langkah denganku karena menggunakan sepatu tinggi.

"Nggak, buat referensi logo toko kue itu."

Kue Untuk FayraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang