Apa Kabar

641 74 2
                                    

"Hai, Fayra." Lelaki kurus dan tinggi, salah satu Editor senior di kantor, yang entah bagaimana aku sering lupa namanya. Padahal kursi kami sebelahan. Dia menggeser kursinya sedikit ke arah meja kerjaku.

"Hm... hai..." aku mencoba berpikir mengingat sekali lagi siapa namanya.

"Dino, namaku Dino tanpa saurus, ya," katanya lagi, seolah tahu bahwa aku sedang berusaha keras mengingat namanya. "Kayaknya kamu udah sibuk banget ya, padahal baru hari pertama masuk kerja."

"Hehe... Iya,"

"Oi, oi, Dino, jangan gangguin Fayra deh! Terakhir kali ada karyawan cewek resign gara-gara keseringan digangguin kamu!" Kika berteriak-teriak dari meja kerjanya yang berjarak dua meja dari meja kerjaku.

"Weh, enak aja, bikin gosip!" Dino sudah meninggalkan meja kerjanya berjalan sambil pura-pura mengomel ke arah Kika. "Kujitak berubah jadi kodok, kamu!" Kika terkekeh, diikuti suara meledek dari beberapa karyawan lain. Dino salah satu yang bisa membikin suasana kerja jadi tidak terasa menegangkan dan membosankan. Ocehan-ocehan recehnya bisa membuat aura kelam di ruangan kerja karena kerjaran deadline jadi kembali berwarna.

Beruntung kantor ini bukan kantor yang anti dengan kata 'berisik'. Selingan obrolan atau celetukan lucu membikin deadline semerepotkan apa pun tidak terasa membenani. Setidaknya itu yang kudengar dari Kika. Aku baru sehari di sini, dan setuju dengan hal itu.

Awalnya aku pikir akan sulit adaptasi karena terbiasa bekerja di dalam kamar kos sendirian. Ternyata tidak sesulit itu, mereka menyambutku tanpa tatapan meremehkan yang biasa kudapatkan dari orang asing karena fisikku. Mungkin, dunia tidak sekejam yang kupikirkan. Hanya saja selama ini aku terlalu baper dan lebih fokus kepada orang-orang yang membuatku sakit hati. Di luar sini, ternyata masih banyak orang yang bisa menghargaiku tanpa melihat fisik semata.

Aku jadi ikut tersenyum. Susana ruang kerja yang hanya dihuni oleh enam orang ini terasa menyenangkan. Sungguh. Kuharap bisa betah di sini.

"By the way, tadi kamu datang ke kantor pagi banget ya, Ra? Kata OB, jam 8 kamu sudah di sini. Di kantor kita nggak ada achievement buat yang datang paling pagi, lho. Jadi santai aja... yang penting target jam kerja dan deadline terpenuhi." Aku agak kaget saat tahu Dino sudah berdiri di samping kursiku. Bukannya tadi ada di meja kerja Kika. Ah, kakinya panjang-panjang jadi jalannya cepat ya.

"Hm... iya, habisnya takut kesiangan."

"Naik apa ke kantor?" tanya Bima, salah satu editor di kantor.

"Kereta," jawabku.

"Wajar sih, kereta pagi kan padat banget, pasti takut telat ya, Ra?" Giliran Kika yang ikut bicara. "Aku saja nggak kuat bolak-balik naik kereta, akhirnya milih bawa motor aja deh."

Aku mengangguk. Setuju bahwa naik kereta di jam kerja sungguh butuh perjuangan ekstra! Aku baru mengalaminya sehari ini saja rasanya sudah frustrasi. Semoga lama-lama bisa terbiasa. Belum lagi jadwal kereta yang sering telat.

"Ra, aku juga naik kereta, kalau mau pas pulang bisa ke stasiun barengan. Daripada jalan kaki sendirian," tawar Bima.

"Hm... iya boleh. Tapi malam ini kayaknya aku mau mampir ke rumah sepupuku dulu." Sahutku sopan.

"Emangnya kamu berapa kilo sih, Ra?" suara Dino terasa menggelegar di telingaku. Aku menelan ludah menahan rasa tidak enak yang muncul tiba-tiba dari perut naik ke tenggorokan.

Pertanyaan macam apa tadi? Reaksi apa yang harus kuberikan?

Aku membeku. Yang lain juga mendadak diam. Di atas kepalaku pasti sudah bergelung-gelung awan warna kelabu gelap. Auranya tidak enak.

Kue Untuk FayraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang