Siang ini, aku sempatkan mampir ke kantor Mbak Tina. Bertemu Kika, Dino dan Bima juga. Memutuskan untuk mengobrol sambil makan siang bersama. Membahas banyak cerita, mengenang masa-masa waktu masih di kantor bersama. Menyenangkan.
"Ra, sekarang kamu berubah banget jadi lebih keren gitu. Kalau kamu kalau masih jomlo, aku bolehlah ajak kamu PDKT." Ucap Dino dengan gaya bercanda.
"Aku bunuh diri saja kalau gitu!" ucap Kika sambil memukul kepala Dino dengan sendok. Mereka baru saja bertunangan dua bulan lalu. Dino masih belum berubah, masih saja suka bercanda dan banyak bicara. Sementara Bima sedang sibuk menghitung harga menu yang tadi dia pesan.
"Sudah Bim, jangan dihitung terus. Hari ini aku yang traktir, kok," kataku disambut tawa oleh Mbak Tina dan yang lain.
"Wih, serius, Ra? Makasih, lho!" Bima langsung menyingkirkan buku menunya dan ikut fokus mengobrol dengan kami.
"Aku kangen banget sama kamu, Ra. Sekarang sudah jadi desainer mode sukses, ya. Selamat ya, aku senang dapat kabar bahagia ini, lho." Ucap Mbak Tina
"Iya Mbak, makasih banyak. Berkat dukungan Mbak juga." Kataku sambil tersenyum.
"Btw, di Singapura kamu diet dan perawatan kecantikan atau gimana, Ra? Kok berubah banget sih?" tanya Kika padaku.
"Hm... aku nggak diet, aku masih jadi pemakan segalanya, kok. Hahaha... cuma aku memang lebih menjaga pola makan, makan sayur dan buah juga supaya sehat dan lebih rajin olah raga saja sih, Ki. Beda dengan dulu aku cuek banget sama kesehatanku. Lagipula berat badanku nggak berkurang banyak kok, cuma memang terasa lebih sehat dan aku senang sekarang. Kalau soal kecantikan, aku lebih rajin bersihkan muka dan belajar make-up sederhana dari Youtube, gitu aja."
"Wah... aku juga harus rajin olah raga kalau gitu mulai sekarang," ucap Kika.
"Hah, cuma wacana. Kamu dari dulu mau olah raga nggak pernah jadi." Dino mengejek Kika dan sekali lagi mendapat pukulan sendok di keningnya.
Obrolan berlanjut, aku banyak menceritakan pengalamanku selama di Singapura. Mbak Tina dan yang lain bercerita tentang kantor yang semakin sibuk setelah tiga tahun ini. Tidak terasa waktu bergerak begitu cepat. Waktu makan siang sudah lewat sejak tadi. Jam menunjukkan pukul tiga sore. Mbak Tina dan yang lain pamit untuk kembali ke kantor.
Aku berjalan kaki untuk kembali ke rumah Nalisa. Aku masih menginap di sana sampai urusan tentang pembelian rumah orangtuaku selesai. Langkahku berhenti di depan Toko Kue Matahari. Di jam-jam ketika orang-orang merasa butuh camilan seperti ini Toko Kue Matahari tampak ramai.
Aku memutuskan untuk masuk ke dalam. Kebetulan saat makan siang bersama tadi aku tidak terlalu banyak makan, hanya memesan es campur dan sosis bakar. Aku sengaja mengosongkan perut karena ingin memakan beberapa kue di sini supaya tidak kekenyangan.
"Kue sarang semut, lemonade cake, ah, roti isi ayamnya juga satu, ya. Minumnya es teh mint." Kataku mengabsen makanan yang kupesan.
"Dibungkus?" tanya si pelayan.
"Dimakan di sini. Semuanya." Kataku dengan percaya diri, si penjaga toko tertegun sebentar tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya, kemudian menyiapkan semua pesananku.
Aku duduk di salah satu meja yang kosong, tak berapa lama kemudian seseorang meletakkan nampan berisi kue-kue yang kupesan dan segelas es teh mint. Aku mengangkat kepalaku dan mataku bertemu dengan lelaki yang membawa nampan itu. Lingga.
"Terima kasih," ucapku singkat dan segera menunduk menatap barisan kue-kue yang sudah menunggu untuk kulahap satu per satu. Mengalihkan pandanganku dari bola mata Lingga.
"Sama-sama." Sahut Lingga masih berdiri di depanku. Aku menatapnya sekali lagi, setengah detik, matanya masih menatapku dalam-dalam seolah mencari sesuatu yang kusembunyikan di dalam bola mataku. Tapi dia tidak mengatakan apa pun dan kemudian pergi kembali ke arah dapur.
Apakah dia mulai mengingatku? Tidak... tidak... aku tidak boleh berpikiran kacau begini!
Aku buru-buru menghapus perasaan hangat yang sempat mampir di hatiku ketika Lingga menatapku barusan. Mengalihkan pandangan ke kue-kue cantik yang siap kusantap. Aku memakannya satu per satu dengan perasaan bahagia.
Rasanya kangen sekali dengan kue-kue yang ada di sini. Di Singapura banyak toko kue yang sudah kucoba, tetap saja rasa rinduku dengan kue dari Toko Kue Matahari belum terobati. Dan hari ini aku akan makan banyak kue sampai kenyang!
Aku bersendawa sambil menutup mulutku setelah memakan dua potong kue dan satu roti sampai habis. Perutku terasa kenyang sekali.
Aku mengangkat wajahku yang sejak tadi hanya menatap ke arah kue. Memutar pandanganku ke seluruh ruangan toko kue yang tidak terlalu besar. Sejak tadi aku merasa ada yang memperhatikanku. Ya, aku menemukan seorang lelaki duduk di kursi sebelah kiriku. Menatapku sambil menopang dagu. Tatapannya terasa dalam dan serius. Lingga sedang menatapku. Entah sejak kapan.
Jantungku kebat-kebit ingin melompat keluar dari rongganya.
Lingga berdiri dan menghampiriku. Keadaan toko kue cukup ramai tapi masih ada beberapa kursi yang kosong. Aku ingin pergi, tubuhku terasa kaku hanya karena dia menatapku seperti itu.
"Maaf, boleh saya duduk di sini?" Lingga menggeser kursi di depanku. Aku mengangguk seperti robot. Wajaku sekarang pasti sangat kaku sekali.
"Hm... sejak kemarin saya penasaran dengan kamu." Ucap Lingga tanpa rasa gugup sedikitpun. Aku yang sangat gugup sekarang.
Tolong... jangan buat aku jatuh cinta lagi padamu! Aku tidak mau jadi pelakor! Teriakku dalam hati.
"Penasaran? Maksudnya?" tanyaku.
Lingga mengangguk, "Apa sebelumnya kamu pernah datang ke toko kue ini?"
"Hm... mungkin." Jawabku singkat.
"Kapan?" tanya Lingga penasaran.
"Apa saya harus menjawab pertanyaan ini?" Aku mulai kesulitan menyembunyikan kegugupanku.
"Ya, harus. Karena saya sedang menunggu seseorang, ah bukan menunggu tapi mencari." Sahut Lingga tegas.
"Oh, lalu kamu pikir orang itu adalah saya?" kataku sambil memberanikan diri menatapnya.
"Mungkin saja, kan?" Lingga tersenyum, senyum yang selama ini kurindukan dengan sangat.
Aku berusaha tersenyum tapi rasanya kaku sekali, "Saya baru tiba di Jakarta beberapa hari lalu, sebelumnya saya tinggal di luar negeri. Sepertinya kamu salah orang. Kenapa yakin sekali?"
"Cara kamu makan kue, mengingatkan saya padanya."
"Siapa?"
"Teman kecil saya, seorang gadis kecil yang pernah menolong saya. Sebenarnya saya sudah pernah bertemu dengannya, tapi karena kecerobohan saya, saya kehilangan dia lagi. Padahal saya belum sempat bilang terima kasih." Lingga bicara dengan nada serius tanpa sedikitpun matanya berpaling menatapku.
Jantungku sebentar lagi meledak!
"Maaf, sepertinya salah orang." Aku bangun dan hendak pergi meninggalkannya.
Lingga ikut bangun dan menahan lenganku, "Maaf kalau membuat tidak nyaman, tapi saya harap kamu akan datang ke sini lagi."
Aku melepaskan pegangan tangan Lingga dan pergi keluar tanpa menjawab apa pun. Jika aku bicara satu kata lagi saja mungkin aku tidak akan bisa menahan diri untuk memeluknya atau melakukan hal bodoh lainnya. Aku sangat merindukannya selama ini. Sangat....
Tapi semuanya sudah terlalu terlambat. Lingga sudah menikah.
Lagipula siapa sih teman kecil yang dia bicarakan itu? Seingatku, pertama bertemu dengannya di kedai es kopi Tak Kie bukan waktu kecil. Sudah pasti bukan aku gadis kecil yang Lingga maksud. Kalau dia bilang temannya seorang gadis kecil, aku pun sudah gemuk sejak bayi. Ya, sudah jelas-jelas itu bukan aku!
Jangan-jangan... dia sedang coba merayuku, ya? Wah, dasar lelaki, sudah menikah malah menggoda wanita lain! Padahal aku sempat berpikir Lingga bukan tipe laki-laki perayu seperti itu. Aku kecewa! Pokoknya kecewa! Tapi... kenapa senyuman dan caranya menatapku tadi tidak mau hilang dari pikiranku?
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Kue Untuk Fayra
RomanceAku Fayra, seorang fotografer dan desainer freelance. Dengan kemampuanku memanipulasi foto aku menjadi seorang yang cukup terkenal di dunia maya. Gadis cantik bertubuh langsing. Tapi... itu bukan aku yang sebenarnya. Aku di dunia nyata hanya seoran...