Nalisa dan Tante Maria membantuku beres-beres kamar kos. Rencananya aku hanya akan membawa barang secukupnya selama tinggal di Singapura. Barang-barang yang lebih baik disimpan akan aku titip di rumah Nalisa. Mulai lusa aku berangkat ke Singapura.
Tante Maria tidak berhenti menangis selama membantuku beres-beres, sementara Nalisa sudah terlihat lebih bisa menerima kepergianku.
"Tante, harusnya Tante di rumah saja, aku jadi bikin Tante nangis seharian." Ucapku sambil memberikan tisu ke Tante Maria yang sedang melipatkan pakaianku sambil terisak-isak.
"Tante sedih, Ra, bayangin kamu tinggal di kamar kos sempit gini bertahun-tahun, sendirian. Kamu juga kan nggak bisa masak, tapi gampang lapar, kalau makan gimana? Jangan-jangan kamu sering makan mi instan makanya badanmu makin melar." Tante Maria mengoceh sambil terisak.
Aku sebal mendengar kata-katanya tentang 'badan melar' tapi aku berusaha mengabaikan. Toh, sebentar lagi kami akan berpisah. Setelah jauh dari Tante Maria, aku pasti bakal kangen juga dengan ucapan-ucapan jujurnya seperti saat ini.
"Di sekitar sini banyak makanan kok, aku biasa beli makan di luar. Atau kalau sedang mager ya aku pesan makanan melalui ojek online. Tante tenang saja, aku jarang makan mi instan," ucapku sambil terkekeh, mencoba mencairkan suasana.
Nalisa lebih banyak diam, walaupun tidak menangis. Aku bisa merasakan Nalisa masih berat berpisah denganku. Aku juga. Setelah obrolan kami kemarin malam, membuatku merasa kami belum benar-benar banyak membuat kenangan menyenangkan selama ini.
"Sudah selesai di-packing semua? Siap diangkut?" suara berat khas seorang Ayah terdengar, membuat kami bertiga otomatis menoleh ke arah pintu. Om Sudrajat sudah berdiri di depan pintu. Aku mengangguk sopan menyapanya.
"Om sengaja datang, bawa mobil satu lagi. Kalau pakai mobil Nalisa saja takutnya tidak cukup."
"Barang-barangku nggak terlalu banyak kok, Om. Aku nggak punya barang elektronik besar." Jawabku sambil memerhatikan keadaan di dalam kamar kosku. Kamar kos kesayanganku yang akan aku tinggalkan.
Ada dua koper besar berisi pakaian dan perlengkapan lain, juga empat storage box ukuran besar. Semuanya sudah beres di-packing, berkat bantuan Nalisa dan Tante Maria proses beres-beres jadi lebih ringan dan cepat.
Om Sudrajat sengaja datang dari kantornya di jam istirahat untuk membantu pindahan. Aku dan Nalisa menggotong storage box ke mobil Om Sudrajat yang lebih besar dari mobil Nalisa. Butuh perjalanan satu jam lebih ke rumah Nalisa, karena di jam makan siang lalu lintas Jakarta lumayan padat.
Kami sempatkan mampir dulu ke sebuah rumah makan dan makan siang bersama. Selesai makan siang dan mengobrol ringan, kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di rumah Nalisa. Tidak terasa sudah pukul enam sore.
Selesai meletakkan barang-barangku di kamar, aku pamit untuk pergi keluar.
Ada satu tempat yang ingin kukunjungi. Bertemu satu orang yang aku ingin berdamai dengannya dan perasaanku sebelum benar-benar pergi. Aku tidak mau pergi dengan membawa beban perasaan yang sama. Aku pernah melakukannya sekali, ketika aku jatuh cinta pada Bagas, dan rasanya semacam terkurung belasan tahun dalam beban yang tidak bisa lenyap.
Aku ingin pergi setelah mengucapkan salam perpisahan dan merelakannya.
"Mau ke tempat Lingga?" tanya Nalisa.
Aku mengangguk, "mau titip kue?"
Nalisa menggeleng, "mau kutemani?"
"Biar aku sendiri aja," ucapku sambil tersenyum. Nalisa mengerti maksudku dan mengiyakan.
Sepanjang jalan aku terus berpikir apakah lebih baik aku jujur kepada Lingga tentang Rara sebelum aku pergi? Atau membiarkan saja kebohongan ini hilang dengan sendirinya bersama berlalunya waktu?
Aku berdiri di depan Toko Kue Matahari agak lama, rasanya tanganku terasa berat untuk sekadar menyentuh pegangan dan membuka pintunya.
Di tengah diriku yang masih berdiri, seseorang melewatiku dan membuka pintunya tanpa ragu. Seorang wanita cantik yang pernah Kika anggap sebagai kekasih Lingga. Senyumku muncul bersama rasa getir.
"Mau masuk juga?" tanyanya ramah kepadaku.
Aku mengangguk dan mengikutinya masuk ke dalam toko.
Di dalam toko Lingga tampak sedang merapikan rak rotan yang ada di sisi etalase kaca tempat aneka roti dijajarkan. Wanita cantik itu tanpa canggung menghampiri dan memeluk lengan kiri Lingga dengan mersa.
Hatiku terasa sakit. Aku menahannya sekuat tenaga. Aku berjalan ke arah etalase toko. Lingga sepertinya tidak sadar dengan kehadiranku karena langsung fokus kepada wanita itu.
"Gimana kue pernikahannya?" tanya gadis itu dengan suara yang terdengar manja.
"Kamu mau kue yang seperti apa? Kemarin aku tanya di chat kamu bilang terserah. Aku masih bingung, kue yang cocok untukmu seperti apa." Sahut Lingga.
Aku teringat ketika Lingga masih sering mengirim DM ke Instagram rahasiaku, dia menggunakan aku-kamu sebagai sapaan. Berbeda ketika kami sedang bertemu biasanya dia menggunakan sapaan yang lebih sopan 'saya-kamu'. Aku semakin yakin, wanita ini adalah orang yang spesial untuknya.
"Kue yang cocok untukmu ya pasti cocok untukku juga, Lingga." Suara wanita itu terdengar semakin manja. Aku memegangi dadaku yang berdenyut semakin cepat dan terasa nyeri.
"Mbak, mau kue apa?" salah satu pelayan wanita menanyaiku. Sekaligus mengeluarkanku dari lamunan pendek barusan.
"Green tart ukuran besar satu loyang." Jawabku sambil menunjuk salah satu kue di etalase toko.
"Baik, tunggu sebentar." Dengan sigap pelayan itu memasukkan kue ke dalam kotak cantik.
Tante Nalisa sangat suka green tart dari Toko Kue Matahari. Kue cantik dengan rasa khas kue putu ini memang mudah bikin orang jatuh cinta.
"Hm... dan kue harapannya 2 potong." Kataku.
"Maaf, kue harapan?" si pelayan tampak bingung.
"Ah, kue 8 jam, maksud saya." Aku meralatnya.
Aku ingin memakan kue itu sebelum pergi ke Singapura, supaya aku masih bisa berharap lagi. Setidaknya harapan untuk sesuatu yang lain, walaupun bukan tentang Lingga.
"Oh, ada Mbak Fayra. Sudah daritadi, ya?" Lingga baru menyadari keberadaanku dan menghampiriku. Wanita cantik itu masih menempel di sisi kiri Lingga.
"Iya," jawabku singkat. "Hm... beberapa kali saya ke sini, Mas Lingga tidak ada. Sedang sibuk, ya?" tanyaku sambil memberanikan diri menatapnya sebentar. Aku mengumpulkan keberanian untuk menatapnya sedikit lebih lama. Mungkin menatapnya untuk yang terakhir kali.
"Ah, ya, sedang sibuk urus pernikahan," Jawabnya lurus.
Aku berusaha tersenyum mendengar jawabannya. Walaupun rasa menghantam perih itu terasa lagi di dalam dadaku.
"Semoga pernikahannya lancar." Kataku berusaha terdengar tulus.
"Terima kasih!" jawab si wanita cantik itu dengan suara riang bahagia. Lingga hanya menanggapi dengan senyumannya ke arahku.
"Mbak, mau bayar cash atau dengan kartu?" ucapan si pelayan membuatku kikuk sebentar. Aku segera mengeluarkan uang dari dompet, membayar kue.
"Saya pergi dulu ya, Mas Lingga." Ucapku pamit. Pamit yang sebenarnya. Aku merasa kami tidak akan bertemu lagi.
Lingga menjawab sambil mengangguk, "ya, hati-hati di jalan." Katanya dengan gaya ramah seperti biasa. Gaya ramahnya yang bisa membuat siapa pun jatuh cinta. Termasuk aku, Fayra si gadis gemuk dan buruk rupa. Membuat seorang Fayra sempat lupa dengan takdirnya, dan ingin merasakan jatuh cinta dan dicintai. Lupa sejenak, dan merasa dirinya cukup cantik untuk jatuh cinta.
Sekarang aku sudah sadar, Fayra hanya gadis yang tidak perlu jatuh cinta.
Aku membuka pintu kaca, bunyi loncengnya seolah ikut mengucapkan selamat tinggal padaku. Aku menutup kembali pintu toko dan saat itu juga aku merasakan pipiku basah. Dalam hati aku terus menggumamkan kata "selamat tinggal" berkali-kali.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kue Untuk Fayra
Roman d'amourAku Fayra, seorang fotografer dan desainer freelance. Dengan kemampuanku memanipulasi foto aku menjadi seorang yang cukup terkenal di dunia maya. Gadis cantik bertubuh langsing. Tapi... itu bukan aku yang sebenarnya. Aku di dunia nyata hanya seoran...