"Oh ya, Mbak, kapan bisa ketemu lagi, ya?"
Sejak meeting dimulai satu jam lalu, pikiranku terganggu dengan suara Lingga yang seperti berputar-putar di dalam kepalaku. Berkali-kali aku melirik ke jam dinding di ruang meeting. Tim kreatif majalah semua asyik membahas konsep, sepertinya hanya aku yang pikirannya tidak ada di tempat.
"Ra, kamu ada masukan, nggak?" suara Mbak Tina, membuatku yang sejak tadi melamun sambil menatap jarum jam dinding agak tersentak.
"Hm... aku oke, Mbak." Sahutku, padahal aku sendiri tidak terlalu yakin apa yang aku oke-kan barusan.
"Sip! Bungkus konsepnya. Mulai dikerjakan besok, ya! Selanjutnya kita bahas di grup chat. Makasih untuk semuanya yang sudah hadir di meeting hari ini." seru Mbak Tina menutup meeting.
Mbak Tina merapikan berkasnya. Satu per satu orang di dalam ruangan meninggalkan ruangan. Aku pun buru-buru meninggalkan ruangan. Jam dinding menunjukkan pukul 3 sore kurang lima belas menit. Aku janjian dengan Lingga jam 3 sore pas.
"Fayra!" Suara Mbak Tina membuat langkahku berhenti. Mbak Tina menghampiriku.
"Ya, Mbak?"
"Cari camilan bareng, yuk?"
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Berharap setelah digaruk isi kepalaku lebih encer untuk membuat alasan yang masuk akal, tapi tetap sopan untuk menolak ajakan Mbak Tina.
"Maaf Mbak, aku... sudah ada janji." Jawabku ragu-ragu.
"Oh, sama Nalisa, ya? Oke deh. Aku minta OB aja belikan kopi."
Aku belum sempat bilang apa pun Mbak Tina sudah keburu berbalik dan meninggalkanku. Sebenarnya janjiannya kan bukan dengan Nalisa. Tapi ya sudahlah, ini bukan sesuatu yang perlu kuklarifikasi, kan? Toh, Mbak Tina yang pergi duluan sebelum aku sempat menjelaskan lebih jauh. Eh, aku juga tidak berniat menjelaskan sih.
Waktu janjianku tinggal belasan menit. Jalan ke sana perlu sekitar tujuh menit. Perutku tiba-tiba mengirim sinyal ingin buang air kecil. Aku pun memutar langkah ke arah toilet sebentar. Aku membuka pintu toilet, tidak ada siapa-siapa. Kaca besar yang terpampang di dekat tempat mencuci tangan membuatku tertegun.
Sesaat tadi, aku lupa dengan wajah dan bentuk tubuhku. Aku sempat merasa... aku cukup cantik untuk bertemu Lingga.
Aku merogoh tas, hanya ada ponsel, dompet dan kamera saku. Isi tas perempuan lain pasti berbeda kan, setidaknya ada bedak untuk merapikan dandanan sebelum bertemu seseorang. Seseorang yang spesial.
Aku membuang napas panjang. Mengambil tisu yang tersedia di toilet dan mengusap lembut ke wajahku setidaknya bisa membuat wajahku tidak terlihat terlalu berminyak. Aku merapikan rambut dengan jari seadanya.
Oh, aku kan mau buang air kecil. Ngapain malah jadi bercermin?
**
Aku berjalan menyusuri barisan ruko menuju ke Toko Kue Matahari. Ruko-ruko dengan kaca buram membuat penampakan tubuh gemukku terpantul di sana. Aku tidak tahu pasti, sejak kapan cermin jadi salah satu musuhku. Sepertinya benda itu sering sekali menertawakanku jika kami berhadapan. Bahkan pada cermin buram pun aku tidak suka.
Aku berdiri di depan Toko Kue Matahari yang pintu kacanya masih tertutup. Beruntung pintunya berkaca bening jadi bayangan diriku tidak terpantul di sana.
Pintunya terkunci. Apa aku datang terlalu cepat? Harusnya tidak, jam tanganku menunjukan pukul tiga lewat lima menit. Atau Lingga lupa waktu janjian denganku? Aku membuang napas pelan. Aku harus menghubunginya melalui ponsel atau bagaimana? Pulang saja?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kue Untuk Fayra
RomantiekAku Fayra, seorang fotografer dan desainer freelance. Dengan kemampuanku memanipulasi foto aku menjadi seorang yang cukup terkenal di dunia maya. Gadis cantik bertubuh langsing. Tapi... itu bukan aku yang sebenarnya. Aku di dunia nyata hanya seoran...