"Cowok yang beberapa kali ke rumah itu siapa, Sa? Pacar kamu?" Tante Maria bertanya pada Nalisa saat kami sedang sarapan bersama.
Aku berusaha keras menjaga wajahku tetap datar dan tidak berkomentar apa pun. Pasti yang dimaksud Tante Maria adalah Lingga. Selembar roti tawar dengan selai nanas mendadak terasa hambar di lidahku.
"Ah itu, teman kok. Dia anaknya Pak Tono, Bun. Yang punya toko kue di ruko depan gang." Jelas Nalisa sambil menghabiskan semangkuk oatmeal dengan potongan buah pisang.
Aku menatap ke arah Nalisa, jelas aku melihat wajahnya tersipu-sipu ketika menjelaskan tentang Lingga.
"Oh, Bunda kira pacar kamu. Ganteng dan sopan. Bunda sih setuju sama dia."
"Ah, Bunda, baru dua kali kok ke rumah, masa sudah jadi pacar?" Pipi Nalisa tampak merona merah. Aku tidak berani membayangi lebih jauh apa yang sudah terjadi antara Nalisa dan Lingga selama ini. Aku takut untuk bertanya. Dan selalu menghindar setiap Nalisa ingin membahas soal Lingga padaku.
"Kalau Fayra bagaimana? Sudah dapat pacar di kantor belum? Masa sih satu gedung tidak ada pegawai yang kecantol?" Tante Maria beralih kepadaku. Aku menelan sisa makanan dengan perasaan semakin hambar. Pertanyaan yang selalu ingin kuhindari, berat badan dan masalah pacar.
"Aku belum kepikiran punya pacar," sahutku seadanya.
Nalisa menoleh ke arahku, bertepatan dengan potongan terakhir roti yang sudah kutelan.
"Fayra, berangkat ke kantor dulu, ya?" Aku bangun dari duduk dan mengambil tas yang aku gantung di sisi sandaran kursi makan. Buru-buru sebelum Tante Maria bertanya lebih banyak hal yang tidak ingin kudengar.
"Mau bareng Om, Ra? kamu kayaknya masih kurang sehat." Om Sudrajat menawarkan.
"Iya lho, Ra, sudah berapa hari Tante lihat kamu juga kurang nafsu makan." Tante Maria mendadak menatapku dengan serius dan memasang wajah khawatir.
"Hm... aku sehat kok, Tante, nggak usah khawatir." Jawabku berusaha menenangkan, supaya tidak lebih banyak pertanyaan lagi.
"Kamu nggak lagi diet kan, Ra?" Nalisa menatapku dengan tatapan khawatir yang sama dengan Tante Maria.
Aku menggeleng, "Ya, nggaklah. Buat apa lagi diet sekarang? Nggak ada gunanya." Tanpa sadar suaraku menjadi ketus. Nalisa terdiam menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan. Sebelum keadaan makin canggung aku segera pamit keluar rumah.
"Aku jalan kaki saja Om, hitung-hitung olah raga." Kataku sambil pamit kepada Om Sudrajat dan Tante Maria.
Tepat ketika aku membuka pintu depan rumah dan hendak memakai sepatu. Ponselku bergetar menandakan sebuah notifikasi chat. Aku membukanya.
- From Nalisa -
: Ra, kamu nggak marah ke aku kan karena Lingga?
: Aku merasa kok, kayak kamu menghindari aku, sih?
**
Mbak Tina mengajak semua pegawai termasuk OB di kantor untuk makan siang di luar. Hal ini untuk merayakan terbitnya majalah edisi akhir tahun sekaligus perayaan satu tahun kantor majalah yang dibentuk oleh Mbak Tina.
Kami duduk bersama di meja panjang sebuah restoran Italia. Semua tampak gembira menyantap makanan. Kecuali aku, aku masih merasa kehilangan nafsu makan.
Menghabiskan sepiring spaghetti carbonara saja harus susah payah, beberapa kali merasa mual ketika mencoba menelan makanan ini. Padahal biasanya aku suka sekali bahkan bisa makan satu setengah porsi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kue Untuk Fayra
RomanceAku Fayra, seorang fotografer dan desainer freelance. Dengan kemampuanku memanipulasi foto aku menjadi seorang yang cukup terkenal di dunia maya. Gadis cantik bertubuh langsing. Tapi... itu bukan aku yang sebenarnya. Aku di dunia nyata hanya seoran...