Maafkan Aku....

721 68 0
                                    

"Fayra, gadis cantik ini anaknya Sudrajat, kan? Siapa itu namanya?" Aunty Emilly menghampiriku yang sedang membuat pola pakaian di kain. Menunjukkan sebuah gambar di ponselnya.

"Oh, itu, Nalisa." Aku menghentikan pekerjaanku sejenak.

Hari ini Aunty Emilly mengenakan gaun terusan polos berwarna hijau lumut. Warnanya cocok dan potongan gaunnya membuat tubuh Aunty Emilly yang berisi terlihat lebih proporsional, serasi dengan tinggi badannya. Sebuah scraft warna hitam melilit bagian kepalanya dengan style twisted turban. Membuatnya terlihat lebih segar. Setiap hari bertemu dengan Aunty Emilly, aku selalu dibuat kagum dengan cara memilih pakaiannya, seolah umur bukan menjadi penghalangnya terlihat selalu cantik dan segar.

"Wah hebat, filmnya akan tayang di bioskop Singapura. Kita harus menonton. Ah, aku juga harus mengucapkan selamat ke Sudrajat." Aunty Emilly tampak bersemangat.

Aku juga ingin mengucapkan selamat ke Nalisa sepulang bekerja nanti malam. Pantas saja beberapa pekan ini dia jarang menghubungiku melalui video call. Hanya sesekali Tante Maria mengirimi pesan chat menanyai kabarku dan mengatakan Nalisa sedang sangat sibuk. Seperti biasa, Tante Maria selalu menangis setiap video call denganku karena mengkhawatirkan banyak hal. Aku harus mati-matian meyakinkan bahwa aku di sini sangat baik-baik saja.

Aku tidak menyangka, aku bisa merindukan Nalisa si cewek cerewet itu. Padahal sejak kecil aku sering kali sebal jika dia menempeliku ke mana pun. Aku selalu iri karena dia terlalu cantik dan sempurna sementara aku sebaliknya.

Setiap ada di sampingnya aku merasa takdir tidak pernah adil padaku. Tapi sekarang, kenangan-kenangan kecil yang kuingat tentangnya bisa membuatku merindukannya tiba-tiba. Misalnya ketika Nalisa mengomeliku karena aku tidak pernah merawat kecantikan. Dia sering mengomel hanya karena aku mengeringkan rambut dengan hair dryer.

Nalisa pernah bilang akan menempeliku sampai ke ujung dunia. Haha... dasar! Buktinya sudah hampir enam bulan aku di Singapura dia tidak pernah muncul sekali pun.

Oh, aku benar-benar kangen dengannya. Tapi, pekerjaan di butik dan jadwal kuliahku cukup padat, aku belum bisa pulang ke Indonesia dalam waktu dekat.

**

"Ada yang menunggu di lantai satu," salah seorang pegawai menghampiriku. Clara yang biasa bertugaas di lantai bawah toko untuk melayani pelanggan dalam memilih atau mencoba pakaian dari butik ini.

"Mencariku? Siapa?"

"Maaf, orangnya tidak mau menyebutkan nama." jawab Clara.

"Oh, oke, terima kasih. Aku segera turun, ya." Sahutku, sembari meninggalkan meja kerja, dan menunda membuat sketsa yang belum selesai.

Tidak mau menyebutkan nama? Siapa? Aku jadi penasaran. Sambil menuruni anak tangga, pikiranku terus menebak-nebak. Sudah enam bulan aku di Singapura dan aku tidak punya seseorang yang cukup dekat untuk mencariku.

Pelanggan butik biasanya akan langsung ditangani oleh pegawai senior atau Aunty Emilly sendiri. Aku hanya bertugas membantu membuat sketsa pakaian, sesekali belajar membuat pola dan sekadar menyempurnakan detail pakaian yang sudah selesai dijahit.

Aku tiba di lantai satu, melirik ke arah Clara. Clara mengangguk sambil menunjuk ke arah seorang wanita yang mengenakan mantel warna putih gading. Rambut panjangannya digerai ke belakang dengan warna kemerahan. Tubuhnya ramping dan tinggi, dari belakang tampak seperti model terkenal. Wanita itu sibuk melihat-lihat barisan pakaian yang dipajang di butik ini.

"Halo?" sapaku kepada seorang wanita yang berdiri membelakangiku.

Wanita itu berbalik, mata bulatnya memelotot senang, tanpa aba-aba langsung memelukku.

Kue Untuk FayraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang