"Ra, aku sudah di depan gang rumah sepupu kamu nih. Rumahmu nomor berapa?"
"Kika? Kamu jemput aku?"
"Tadi malam kan sudah bilang, lupa ya? Kita langsung ke Toko Kue Matahari."
"Oh iya, maaf, aku masih siap-siap. Kamu tunggu di depan gang saja, Ki. Aku jalan ke depan gang, dekat kok."
"Nggak apa, aku sudah masuk gang nih. Rumah nomor berapa?"
"Oh, sudah masuk gang ya? Nomor 109, nih aku di depan rumah. Ki, sini!!" seruku sambil setengah berteriak ketika melihat Kika dan motornya muncul.
Kika sampai di depan rumah Nalisa. Memberikan helm kepadaku. Aku memasang helm. Lalu tertegun sebentar. Melihat tubuh Kika yang mungkin setengah dari berat badanku, aku teringat kejadian tidak menyenangkan seputar motor. Pernah beberapa kali aku memesan ojek online dan seringnya ditolak. Ketika pengemudi ojek sudah sampai di depanku, dia meminta aku melakukan pembatalan karena aku terlalu gemuk.
"Ra, buruan naik. Malah ngelamun?" Kika yang masih duduk di atas motor, menepuk pundakku.
"Kamu yakin, mau boncengin aku, Ki?" tanyaku memastikan sekali lagi.
"Kalau nggak yakin aku nggak di sini, Ra."
"Aku gemuk, lho."
"Tenang aja, aku terlatih boncengin ibuku yang badannya kayak kamu. Hehe...."
Aku jadi tersenyum, kemudian duduk di boncengan motor Kika dengan hati-hati. Sudah lupa, kapan ya terakhir kali aku naik motor.
Motor melaju pelan ke arah Toko Kue Matahari. Tidak sampai sepuluh menit kami sudah sampai. Pukul sepuluh pagi tepat sekali tokonya baru saja buka.
Seorang lelaki mengenakan apron warna moka berdiri di depan pintu, membalikkan sign board di pintu kaca. Kini tulisan "Buka" terbaca dari luar. Aku berdiri dari area parkir di depan ruko. Kika masih sibuk merapikan rambutnya setelah membuka helm, sambil berkaca di spion.
Ya, Lelaki itu adalah Lingga, sepertinya dia sadar dengan keberadaanku. Lingga membuka pintu kaca dan berjalan ke arahku dan Kika.
"Hai, Mas Lingga, ya? Saya Kika yang kemarin menghubungi melalui Instagram untuk minta waktu wawancara."
Kata 'hai' yang sama baru saja hendak meluncur dari mulutku, tapi Kika sudah lebih dulu mengucapkan kata sapaan kepada Lingga. Kata 'hai' dariku terpaksa kutelan lagi. Mereka berjabat tangan dan aku hanya mengangguk sopan ke arah Lingga.
"Iya, ayo masuk. Tokonya baru saja buka, jadi masih sepi. Ah, sebenarnya biasanya juga tidak terlalu ramai sih." Ucap Lingga dengan nada merendah.
Matanya tertuju kepadaku, "Mbak Fayra, hai," Lingga menyapaku.
"Iya," sahutku seadanya yang kerepotan membawa tas berisi kamera dan berlengkapan liputan lainnya.
"Oh, ini Fayra, dia fotografer andal dari kantor kami. Nanti Fayra yang akan mengambil gambar untuk artikelnya." Jelas Kika.
"Oke, mari masuk." Lingga membukakan pintu dan menyilakan masuk. Kika yang bersemangat masuk duluan. Aku masuk setelahnya. Lingga menutup pintu toko dan berjalan di sebelahku. Jantungku mulai berdebar tidak santai.
"Mbak Fayra, apa kabar? Terakhir ketemu di KRL, saya malah ketiduran. Maaf, ya." Ucapnya dengan nada suara menyesal.
"Kabar baik," sahutku sambil tersenyum seadanya menyembunyikan rasa gugupku.
Sesi wawancara dimulai sejak beberapa waktu lalu. Aku tidak terlalu menyimak apa yang dibicarakan Lingga dan Kika, sibuk menata letak kamera untuk merekam video dan mengambil beberapa foto dengan DLSR.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kue Untuk Fayra
RomansaAku Fayra, seorang fotografer dan desainer freelance. Dengan kemampuanku memanipulasi foto aku menjadi seorang yang cukup terkenal di dunia maya. Gadis cantik bertubuh langsing. Tapi... itu bukan aku yang sebenarnya. Aku di dunia nyata hanya seoran...