Menyerah?

653 65 1
                                    

"Ra, kok kamu seperti nggak selera sarapan sih? Nanti kan ke kantor kamu harus isi energi banyak." Tante Maria mengomel dalam tiga hari ini tentang pola makanku. Aku meminta Nalisa tidak perlu memberitahunya tentang rencana diet. Jika Tante Maria tahu aku khawatir semuanya akan jadi jauh lebih merepotkan.

"Makan oatmeal juga kenyang kok Tante," jawabku, setelah mengunyah dan mati-matian menelan makanan lembek yang mirip bubur ini. Rasanya bubur ayam pinggir jalan jauh lebih enak dari ini. Aku tidak terbayang bagaimana mungkin Nalisa tetap asyik saja menyantap makanan ini. Dan dia sudah melakukannya berbelas-belas tahun lamanya, mungkin seumur hidup.

"Kamu sedang nggak enak badan atau bagaimana?" Om Sudrajat ikut berkomentar, "Kalau tidak nafsu makan itu bisa jadi asam lambung kamu sedang tinggi. Perlu ke dokter?"

"Nggak kok, Om. Kalau sarapan kebanyakan biasanya aku jadi ngantuk di kantor." Jawabku seadanya, Nalisa melirik ke arahku aku membalas lirikannya dengan tatapan 'jangan bicara apa-apa'.

Ya, sudah sekitar seminggu aku sarapan dengan semangkuk oatmeal yang dicampur potongan buah segar, seperti yang biasa Nalisa lakukan setiap pagi. Aku akan makan siang sesuai menu yang diberikan oleh dokter ahli gizi. Daging, kuning telur, dan seafood, juga makanan penuh karbo dan lemak tidak boleh kusentuh. Aku rindu kue dan roti!

Setiap pulang kerja aku melakukan waktu untuk olahraga, sekadar joging atau pergi ke gym ditemani Nalisa. Dua hari sekali aku melakukan perawatan wajah di klinik kecantikan rekomendasi dari Nalisa dan mulai sibuk mengaplikasikan krim-krim perawatan wajah.

Aku tidak mengira perjuangan bertemu Lingga harus seberat ini. Menjadi Rara yang bisa menarik perhatian Lingga benar-benar butuh perjuangan.

Baru tiga hari saja rasanya hidupku sudah berputar 180 drajat. Lidahku sudah sangat rindu dengan makanan-makanan bercitarasa lezat tanpa peduli berapa banyak kalorinya. Kini, setiap melihat makanan, di atas kepalaku seolah ada kalkulator kalori yang muncul dan menghitung kandungan makanan tersebut. Mengerikan!

Selesai sarapan, Om Sudrajat pamit berangkat ke kantor, Tante Maria akan pergi ke kebun belakang mengurus anggrek-anggreknya. Nalisa membantuku menyiapkan bekal makan siang sehat sesuai petunjuk dari dokter gizi.

Pagi ini menu makan siangku adalah nasi merah, putih telur ayam yang diorak-arik tanpa garam, wortel dan brokoli kukus.

"Ra, jangan maksain lho, kalau nggak kuat diet ekstrim ini nggak usah dilanjutin." Ucap Nalisa sambil memasukkan potongan wortel kukus ke kotak bekal.

"Aku harus melakukannya, Sa."

Nalisa melepas napas berat, "Baru semingguan, kamu udah kelihatan banget pucat dan nggak bersemangat kayak gini. Gimana kalau dilanjutin lebih lama lagi?"

"Mungkin tubuhku hanya lagi beradaptasi dengan asupan makanan ini. Buktinya kamu baik-baik saja kan, mengonsumsi makanan kayak gini tiap hari."

Nalisa memutar bola matanya, "Motivasi diet kamu dari awal sudah nggak bagus, masa untuk ketemu cowok? Bukan buat sehat."

"Manfaat sehatnya akan tetap aku dapatkan, kan? Aku melakukan sesuai anjuran dokter gizi yang kamu rekomendasikan itu." Hm... ucapanku tidak sepenuhnya benar. Ada beberapa hal yang kusembunyikan dari Nalisa si cewek cerewet ini.

"Terserah, deh... Aku cuma khawatir kamu kenapa-kenapa. Jadi langsing itu bukan segalanya. Jauh lebih penting hidup sehat. Walaupun aku atur pola makan tapi aku masih menikmati makanan-makanan enak, lho, aku nggak diet ekstrim." Nalisa ceramah lagi, dan aku hanya diam saja mendengarkan.

Perempuan yang terlahir cantik dan punya tubuh sesempurna Nalisa tidak akan mengerti bagaimana rasanya jadi aku. Beratnya melewati hari-hari sejak aku masih kecil hingga sekarang dengan bermacam kata menyakitkan tentang fisik. Aku yang kehilangan rasa percaya diri entah sejak kapan. Aku juga ingin merasakan menjadi cantik. Awalnya kupikir, menjadi cantik di dunia maya saja cukup. Ternyata tidak, aku menginginkan hal yang lain, yang lebih nyata.

Kue Untuk FayraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang