30▪Finally

3.3K 702 18
                                        

Masih di hari yang sama, tepat pukul delapan malam Lisa pulang ke rumah dengan di antar Taeyong. Lisa berjalan santai dengan senyuman yang masih tercipta di wajahnya, tak pernah sedikitpun ingin dihilangkan nya.

Padahal kalau di ingat-ingat, tak ada yang spesial. Hanya saja mendengar Taeyong yang akan selalu menemaninya untuk kemana pun membuat Lisa senang.

Lisa tidak tahu rasa senangnya berefek pada jantung nya. Bahkan rasanya sangat nyaman. Menikmati degupan jantung dan rasa yang membuncah membuat Lisa kembali merasa melepaskan semua beban nya.

Gadis itu melangkah, membuka pintu rumah. Berjalan kemudian mengarah ruang tamu setelah melepas sepasang sepatunya. Ayah nya disana. Ayah tirinya, duduk disofa dengan badan yang tegap. Lisa tidak perlu repot-repot menegur. Pria tua itu hanya diam duduk dengan tegap mengahadap tv ruang tamu.

Tapi tunggu, tv bahkan tidak menyala. Lalu apa yang ditatap pria itu. Lisa semakin penasaran, ia mendekat pelan, menengokkan kepala melihat lebih jelas apa yang ditatap pria itu.







DEG







Lisa terperangah. Ia hampir berteriak, mendekat kearah meja ruang tamu dihadapan Ayah tirinya. Tubuhnya membeku saat memastikan dengan benar. Tas gitarnya disana. Tetapi tidak dengan gitarnya.

"Lisa"

Lisa mengambil tas gitar itu. Hati nya tiba-tiba mencelos. Bagaimana mungkin ada tas gitar disini. Sementara harusnya tas ini beserta gitarnya ada di rumah Yuju. Lalu mengapa disini?

"Lisa, Mama tadi ngambil gitar kamu"

Lisa mengeraskan rahang, ia dapat dengan jelas mendengarkan ucapan Tomi.

"Kamu kenapa masih main gitar Lisa? Mama sudah ngelarang kamu."

Lisa menoleh, matanya berair dengan wajah yang memerah menahan marah. Rasa panas menjalar di  tubuhnya bersamaan dengan air mata yang menetes di pipinya. Apa ini akhirnya? Semua yang ia pertahankan pada akhirnya menghilang dan tidak akan pernah kembali.

Lisa merunduk, meremas tas gitarnya, "kenapa Om gak cegah?"

Kedua bola mata Tomi membulat. Tubuhnya menegang saat mendengar suara lirih Lisa. Apalagi panggilan gadis itu untuknya.

"Om bilang Mama gak akan tau dan Om gak akan larang saya untuk melakukan apa yang saya suka."

"Tapi membohongi Mama mu terus-terusan bukan hal yang bagus, Lisa" Tomi bangkit, mulai mendekat pada Lisa.

"Kalau begitu kenapa Om beri saya harapan waktu itu? Kenapa Om bilang gak akan buka suara dihadapan Mama? Kenapa Om bilang kalo Om akan pura-pura gak tahu apapun?" Lisa mendongak, ia memundurkan langkah membuat Tomi berhenti.

"Harusnya Om gak beri saya harapan. Harusnya Om larang saya! Harusnya Om langsung beritahu Mama kalo saya masih main gitar! Kenapa om malah baikin saya?! Apa Om cuman pura-pura baik?!"

Tomi menahan nafas. Ia bahkan terlonjak dengan penuturan keras gadis itu. "Kenapa kamu masih manggil Ayah dengan sebutan Om?" ucap Tomi tak kalah lirih.

Lisa mengigit bibirnya. Tiba-tiba ia terisak tetapi masih mencoba menahan isakan nya. Ia memeluk erat tas gitar itu. Hanya dapat menyesali semuanya.

"Papa selalu marah, bahkan mukul saya kalo saya membangkang, dia selalu buat saya menangis karena saya salah. Saya nangis... saya marah waktu Papa marahin saya, atau nyubit pinggang saya. Tapi Papa selalu bilang itu karena saya anaknya, Papa ingin saya jadi anak yang baik. Itulah kenapa Papa selalu keras mendidik saya..."

"Tapi Om enggak. Om gak pernah marah saat saya jawab Om ketus, saat saya gak sopan atau saat saya pulang malem. Om cuman nanggapin itu dengan senyuman sambil bilang, gak papa semua orang punya kesalahan dan jangan diulangin...,"

MelloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang