1 C

4.5K 481 15
                                    

Doyoung memperhatikan pria itu tidak tersenyum kepada si pelayan, juga tidak mengucapkan terima kasih.

Atau melirik ke meja tempat para wanita kini terdiam setelah dia melepas jas hitamnya dan memperlihatkan kemeja putih bersih yang terlihat cocok dengan tubuhnya. Tidak ada kejutan mengerikan di balik jas itu, namun untuk sesaat jemari kakinya mengerut ketika Jaehyun melipat lengan kemeja. Doyoung sekali lagi menghirup aroma pria itu, menginginkan senyum singkat itu lagi. Namun senyuman itu lenyap dan Jaehyun memberikan kesunyian yang Doyoung minta dan hanya duduk melamun menatap jendela, telunjuknya membelai permukaan gelas dengan santai. Mungkin karena terlalu banyak minum sampanye, atau mungkin pria itu tahu persis apa yang sedang dia lakukan, mungkin dia ahli menggoda, karena untuk sesaat yang aneh, Doyoung berharap ia berada di bawah jari itu, berharap dirinya yang dibelai.

"Mianhae." Jaehyun salah mengartikan kegelisahan Doyoung. "Aku bukan teman yang baik, hari ini lebih berat daripada dugaanku."

"Apakah seseorang yang dekat?" tanya Doyoung, karena sudah jelas bahwa Jaehyun baru saja dari pemakaman.

"Tidak terlalu." Jaehyun memikirkannya sejenak. "Dia bekerja untukku, dulu, namanya Shindong. Lebih tua dariku. Bahkan, baru minggu lalu kami di sini merayakan pensiunnya." Jaehyun memandang sekeliling ruangan, jelas sedang mengenangnya.

"Aku turut berduka."

"Untuk apa?"

"Karena yang baru saja kau katakan," jawab Doyoung, berharap pria itu tidak akan membuat pipinya terbakar, berharap pria tidak membuatnya begitu memikirkan ulang setiap kata.

"Dia bukan seorang teman," sahut Jaehyun, mengisi ulang gelas sampanyenya. "Sungguh, aku nyaris tidak mengenalnya, kau tidak perlu merasa berduka."

"Kalau begitu aku tidak berduka!" Doyoung meniup poni rambutnya dengan embusan napas. Mungkin pria itu memang tampan, tapi jelas dia orang yang sulit. "Aku sama sekali tidak berduka meski kau baru dari pemakaman dan menjadi sedikit murung. Pemakaman selalu membuat orang merasa begitu..." tambahnya. "Bahkan jika kau nyaris tidak mengenal orang itu."

"Hal itu tidak menggangguku," sahut Jaehyun. "Dan percayalah, aku sudah menghadiri banyak pemakaman." Kemudian ia mengakui. "Jadi, biasanya pemakaman tidak memengaruhiku."

Doyoung tidak akan mengambil risiko dengan berkata ia turut berduka lagi.

"Jadi, apa alasanmu?" Jaehyun mendongak dari gelasnya. "Atau kau memang terbiasa duduk dengan sampanye pada sore hari?"

Doyoung tertawa. "Hmm... tidak. Aku kehilangan pekerjaanku." Jaehyun tidak mengisi kesunyian, tidak mengucapkan penyesalan seperti yang akan dilakukan orang lain; dia hanya duduk sampai Doyoung yang bersuara. "Atau lebih tepatnya aku keluar."

"Boleh aku bertanya sebabnya?"

Doyoung ragu-ragu kemudian mengangkat bahu. "Bosku, dia..." Rona merah di pipinya menjelaskan semua.

"Meminta sesuatu yang tidak sesuai dengan pekerjaanmu?" sahut Jaehyun, dan Doyoung lega karena pria itu menangkap maksudnya. "Ada jalan lain untukmu... pengadilan."

"Aku tidak ingin menempuh jalan itu," sahut Doyoung. "Aku tidak mau..." Ia tidak menyelesaikan apa yang ingin ia katakan, merasa tidak cukup nyaman mengungkapkan siapa keluarganya, maka ia melanjutkan tanpa menjelaskan lebih jauh. "Kupikir aku akan mendapatkan pekerjaan lain dengan mudah. Sepertinya aku salah. Keadaan sangat berat di luar sana."

"Sangat berat," sahut Jaehyun, dan meskipun Doyoung sedang menatap pria itu, ia berpaling, menahan diri untuk membalas dengan tajam. Apa yang diketahui pria seperti Jaehyun tentang situasi berat?

Playing The Royal Game (JaeDo)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang