"KAU bahkan tidak bisa bertahan sampai pernikahan!" Doyoung membuka kamar hotelnya dan menghadapi Jaehyun dengan penuh kemarahan.
"Apa yang kau bicarakan?"
"Aku melihatmu menciumnya, memeluknya..."
"Doyoung, kau bertingkah konyol."
"Aku tidak mau mendengar alasanmu. Kau tidur dengan mantan kekasihmu!" Suaranya meninggi. "Bagaimana dengan Taeyong, bagaimana dengan kakakku? Teganya kau!"
"Dia sedang hamil, demi Tuhan!"
"Aku tahu itu." Doyoung terisak; ia histeris, berminggu-minggu dan berbulan-bulan merasakan sakit, semuanya bangkit dan tidak ada kuda yang bisa ia naiki untuk melarikan diri. "Bagaimana aku tahu itu bukan anakmu? Kau meniduri kekasihmu dan—"
Jaehyun sudah cukup mendengar. Ia meraih Doyoung, satu-satunya yang ada dalam pikirannya untuk menyudahi caci maki wanita itu. Jaehyun bisa merasakan kemarahan menggelegar dalam dirinya, cengkeramannya pada Doyoung semakin kuat, tangannya terangkat untuk menampar wanita itu agar diam dan dibutuhkan segenap pengendalian diri untuk menurunkan tangannya.
Doyoung hanya menatapnya, tercengang, terguncang, dan ia menahan napas, menunggu Jaehyun meminta maaf, mengakui kesalahannya, tapi pria itu berdiri di sana, tidak tergoyahkan.
"Tidak akan ada pengendalian diri jika orang lain yang bicara seperti itu."
Jaehyun bersungguh-sungguh.
Doyoung tahu itu, dan bukan karena tangan Jaehyun yang terasa menyakitkan di lengannya tapi penghormatan dalam ucapan pria itu yang membuat matanya berkaca-kaca.
"Ten dan aku tidak pernah tidur bersama—dia menjaga dirinya untukku. Sebagai calon ratu ini hadiah yang diharapkan darinya. Tentu saja segalanya sudah berubah." Jaehyun buru-buru menambahkan. "Aku melontarkan kata-kata pedas kepada ayahku agar kau tidak akan diragukan bahwa masa lalumu adalah milikku..."
Doyoung memejamkan mata karena malu, meski segalanya berjalan lambat, Jaehyun telah memastikan perubahan-perubahan, terus berusaha keras, bahkan sekalipun Doyoung tidak mengetahuinya.
"Aku pergi menemui Ten karena aku ingin bicara dengannya dan sepertinya itu hal yan sangat penting dilakukan sebelum pernikahan. Sudah sejak lama aku merasa bersalah. Aku tidak pernah bermaksud menyakitinya dengan pertunangan kita, tidak pernah dia mengetahuinya seperti itu, lewat pers. Hubungan kami seharusnya hanya untuk sesaat, dan kini dia harus menghadiri pernikahan kita. Aku harus meluruskan berbagai hal dengannya. Dia melihatnya sebagai hal terbaik yang bisa terjadi. Ten dan aku tidak akan pernah bisa bercerai."
"Tidak seperti kita."
Dan Doyoung tidak akan pernah bisa mengerti Jaehyun. Ia bisa menghabiskan sepanjang hidupnya mencoba mengerti pria itu dan tetap tidak akan bisa, karena bahkan saat ia berdiri, Jaehyun membuatnya terkejut lagi.
"Aku tidak ingin bercerai, Doyoung." Jaehyun seakan bersungguh-sungguh mengatakannya. "Aku akan melakukan segala yang aku bisa untuk membuat pernikahan ini berhasil. Tidak ada keterkaitan dengan Ten—aku tidak peduli dengannya," Jaehyun mengakui, "tapi..." Bagaimana ia bisa mengatakannya? "Pernikahanku akan sama seperti orangtuaku—seks yang singkat untuk mendapatkan ahli waris."
"Kau tidak bisa menimpakan itu kepadanya, tapi kau akan melakukan itu kepadaku."
"Tidak ada yang singkat tentang kita."
"Pernikahan tanpa cinta, tapi dengan seks hebat?"
"Aku bisa memikirkan hal-hal lain yang lebih buruk."
"Bagaimana dengan Tiffany?" Tatapan Doyoung kembali hancur. "Dia bilang—"
"Jangan pernah mendengarkan hinaan seorang wanita—kau tahu itu. Tiffany merasa getir. Aku tidak pernah tidur dengannya sejak kau dan aku bertemu. Mulai besok, dia tidak lagi bekerja untukku. Aku memastikan posisinya di perusahaanku yang dulu, atau tunjangan jika dia lebih suka, tapi—"
"Dia menginginkanmu."
Jaehyun mengangguk.
"Tapi dia tidak bisa memilikiku. Aku akan berpegang pada sumpahku. Terserah kepadamu jika kau menikah denganku, Doyoung. Aku tidak akan memohon, aku jelas tidak akan mengemis. Pilihan ada padamu, tapi ketika malam ini kau membuat keputusan, ada satu hal yang harus kau ketahui. Aku tidak ingin terus membujang, dan seperti yang baru kukatakan kepadamu, aku tidak punya keinginan untuk tidur dengan orang lain—yang berarti kau dan aku akan tidur bersama," kata Jaehyun. "Jika kau menikah denganku besok, kita akan berbagi tempat tidur."
"Dan jika aku tidak mau?"
"Kalau begitu jangan muncul. Aku mencintai adikku, tapi aku tidak mau hidup seperti rahib demi dia. Kau tahu, apa pun yang tidak ada di antara kita, ada banyak hal lain..."
"Kau begitu yakin."
Jemari yang kini bergerak di lengannya terasa lembu, namun Doyoung meringis. Jaehyun mengusap tubuhnya dab bagian dalam tubuhnya seakan mengerut. Kemudian tangan Jaehyun bergerak ke pipinya dan Doyoung berpaling, namun bibir pria itu terasa dingin di kulitnya dan ia memejamkan mata, memaki kenikmatan yang diberikan bibir Jaehyun.
"Aku benci dengan apa yang telah kau perbuat terhadapku."
"Kau tidak akan membencinya besok," kata Jaehyun. "Jika kau datang ke gereja, ketahuilah kau akan menjadi istriku dalam setiap arti. Terserah kepadamu. Ketahuilah aku akan menjadi suami yang baik, pemberi nafkah yang baik, kau dan keluargamu akan diperhatikan."
"Kau juga harus mengetahui sesuatu. Rakyat Santina sudah lama tidak bahagia."
"Aku tidak membutuhkan pendapatmu tentang rakyatku."
"Kau boleh mengabaikan apa yang kukatakan kalau kau mau, tapi kuharap kau setidaknya mendengarku. Orang-orang menginginkan aku, karena aku orang biasa, karena aku menangis dan tertawa, bahkan di depan umum, karena—bukan walau—kesalahan-kesalahan keluargaku. Kau menikahi aku, atau kau bisa mencari istri lain untuk memakai gaun tidur yang diletakkan untuknya, mungkin dengan sepatu yang lebih sederhana, dan dia bisa sama menderitanya dengan ibumu."
"Jangan..."
"Jangan apa?" tanya Doyoung. "Jangan bicarakan hal-hal semacam itu? Kenapa tidak?" desak Doyoung. "Kenapa kau tidak bisa bercakap-cakap dengan jujur bersama wanita yang mungkin besok akan menjadi istrimu? Dan ketahuilah ini juga—keluargaku akan datang serta mengunjungiku di istana dan aku akan terbang pulang serta mengunjungi mereka. Aku akan tetap dekat dengan saudara-saudaraku. Jika kau ingin menikahiku, ketahuilah dengan siapa kau terikat."
"Aku bersedia," kata Jaehyun, dan ia mengejutkan Doyoung dengan senyumnya, senyuman yang ia berikan pada hari pertama mereka bertemu, senyuman yang selalu meluluhkan Doyoung. Kemudia Jaehyun melakukan hal yang mustahil, setidaknya bagi seorang pangeran di Santina—ia bergurau. "Aku hanya berlatih untuk besok. Aku bersedia, Doyoung."
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Playing The Royal Game (JaeDo)
RandomDapatkan Doyoung mempertahankan jati diri dalam perannya sebagai tunangan pangeran dengan segala istana yang mengekang? Dan sanggupkah Jaehyun menahan desakan yang bergejolak di antara mereka mengingat pertunangan ini hanya sementara? [Remake dari n...