2 B

2.9K 371 2
                                    

"Kau tidak punya pekerjaan!" Jaehyun tersenyum tapi Doyoung menggeleng; pria itu tidak mengerti; dan mengapa dia harus mengerti? Menyakitkan rasanya duduk dan membicarakan mimpi yang mustahil, jadi sebaliknya Doyoung bertanya tentang Jaehyun.

"Bagaimana dengan silsilah keluargamu? Aku yakin lebih sederhana daripada punyaku, tidak banyak skandal."

"Sebetulnya..." Jaehyun kemudian terdiam, karena selama sesaat yang aneh ia hampir saja memberitahu wanita itu, menceritakan sesuatu yang sangat terlarang, bahkan di dalam tembok istana, terutama di dalam tembok istana, rumor yang terus berlanjut tentang adiknya Jungwoo yang mungkin merupakan hasil dari hubungan gelap dengan arsitek Inggris. Ia menatap mata milik Doyoung dari balik poni wanita itu yang tebal dan berpikir betapa menyenangkannya menceritakan itu, mengakui seperti yang Doyoung lakukan, bahwa keluarganya mungkin tidak sempurna.

"Keluargaku cukup jelas," sahut Jaehyun akhirnya.

"Kau beruntung." Doyoung mendesah. "Aku adalah anak membosankan dan tentunya dapat diandalkan. Mereka tidak akan percaya aku kehilangan pekerjaan." Jaehyun menyaksikan mata Doyoung terpejam karena panik. "Jika aku tidak segera mendapatkan pekerjaan aku tidak akan mampu membayar sewa dan aku akan berakhir di tempat Ayah lagi, terseret ke tengah-tentang skandal." Jaehyun memahami perasaan itu, matanya memberitahu Doyoung bahwa dia memahaminya, karena dia mencondongkan tubuh dan menatap Doyoung erat-erat.

"Begitulah yang kurasakan. Itulah sebabnya aku belum ingin kembali. Aku tahu begitu aku kembali..."

"Aku tahu," kata Doyoung, dan dia terus berbicara, namun Jaehyun hanya setengah mendengarkan, benaknya berada di tempat lain. Ia menatap meja tempatnya duduk minggu lalu, dengan seorang pria di ambang mimpi-mimpi yang kini terbaring kaku di tanah. Ia menatap ke jendela serta melihat hujan yang turun. Jaehyun tidak ingin berbaring di sana, kedinginan oleh air hujan dan menjalani setengah kehidupan, mimpi-mimpi yang belum tercapai. Ia menginginkan lebih untuk bisnisnya, menginginkan beberapa tahun lagi sebelum kembali kepada keluarganya, tapi kini?

"Tidak bisakah adikmu melakukannya?" Doyoung menarik Jaehyun kembali dari lamunan dan melihat pria itu mengernyit. "Jika kau tidak mau menjadi raja..."

"Aku tidak pernah berkata aku tidak mau menjadi raja," Jaehyun mengoreksi. "Hanya saja menginginkan lebih banyak waktu." Ia mengernyit. "Mark dan aku mendapatkan pola asuh yang berbeda. Tentu saja,jika sesuatu menimpaku, dia akan maju, tapi..." Jaehyun mencoba menjelaskan, karena meskipun ia tidak berharap Doyoung mengerti, hari ini ia ingin wanita itu mengerti. "Kau mengatakannya sebelumnya, begitulah perasaan orang di pemakaman... menimbulkan kesedihan..."

"Tentu," sahut Doyoung. "Semua orang begitu."

"Tidak." Jaehyun menggeleng. "Sewaktu aku berusia tujuh tahun nenekku meninggal. Pemakamannya dilakukan secara besar-besaran. Di kuburan..." Ia tidak benar-benar tahu mengapa ia menceritakan ini kepada Doyoung; ia tidak memikirkannya selama bertahun-tahun, tapi entah kenapa ia merasa harus membuat Doyoung mengerti. "Mark merasa sedih, ibuku menghiburnya, kemudian ayahku menggendongnya, aku ingat karena itulah salah satu foto di surat kabar. Aku mulai menangis," kata Jaehyun. "Tidak keras, tapi sedikit. Peti mati diturunkan dan aku bisa mendengar adikku, dan... Aku mulai menangis dan ayah mencengkeram tanganku, meremasnya lebih kuat." Jaehyun menarik napas. "Dia tidak mencengkeram tanganku untuk meneangkanku."

"Aku tidak mengerti."

"Ketika kami kembali ke istana, sebelum tamu-tamu tiba, ayahku mengajakku ke ruang kerjanya dan melepas ikat pinggangnya." Jaehyun tidak menceritakannya untuk mendapatkan simpati; yang ia ceritakan kepada Doyoung bukanlah cerita sedih. Hanya menyampaikan fakta. "Dia berkata tidak akan berhenti sampai aku berhenti menangis."

"Kau baru berusia tujuh tahun!" Doyounglah yang tercengang, bukan Jaehyun.

"Aku pangeran berusia tujuh tahun yang suatu hari akan menjadi raja," Jaehyun menjelaskan. "Dia harus memberiku pelajaran sulit. Seorang raja tidak boleh menangis, tidak boleh menunjukkan emosi..."

"Kau masih anak-anak."

"Yang suatu hari akan menjadi raja," ulang Jaehyun. "Dan perdebatan terus berlangsung. Kau bisa membencinya karena itu, tapi itu pelajaran yang harus diajarkan ayahku, dan dia mengajarkanya. Dia mengajari putra pertamanya, mungkin dia tahu itu pelajaran berat, karena dia memberi adikku lebih banyak pengekangan setidaknya sampai adikku sudah lebih besar. Aku mendapatkan pelajaran yang diperlukan, aku dibesarkan untuk tujuan ini."

"Aku tidak terkejut kau menginginkan lebih banyak waktu." Doyoung meniup poni. "Sebelum kau harus kembali ke-"

"Aku bisa saja jatuh cinta." Suara Jaehyun menghentikan ucapan Doyoung. "Rakyat kami tahu itu bukan perjodohan karena cinta, Ten juga mengetahuinya. Tentunya jika aku bertemu seseorang dan jatuh cinta... akan ada skandal, tapi akan segera berakhir."

Doyoung menatapnya. "Mungkin kau harus mencoba bicara dengan Ten." Ia memberikan isyarat kepada meja di belakang mereka, kepada para wanita yang bersaing untuk menghabiskan waktu bersamanya. "Mungkin dialah orangnya...?"

Jaehyun tertawa.

"Aku tidak akan jatuh cinta." Jaehyun mengucapkannya dengan begitu yakin. "Aku tidak punya waktu untuk hal-hal semacam ini. Tapi jika kukatakan bahwa aku jatuh cinta..."

Rasanya seperti ada bendera yang berkibar, alarm yang berbunyi, tapi mereka seakan melambat dan menyadarinya, ia sendiri telah bersuara.

"Mengatakan bahwa kau apa?"

"Jatuh cinta. Cinta yang membuatku melambung, dan aku telah bertunangan." Jaehyun tersenyum membayangkan gagasan konyol itu. "Tentu saja, dalam beberapa minggu yang singkat aku akan menyadari aku telah melakukan kesalahan, bahwa tunanganku dan aku sama sekali tidak cocok, atau lebih tepatnya orang-orang akan sangat keberatan. Tapi pada saat itu segalanya telah berakhir antara aku dan Ten, dan keluargaku akan menginginkan aku tetap di sini, di London, setidaknya selama satu atau dua tahun, sampai segalanya reda."

"Jadi..." Mendadak tenggorokan Doyoung terasa kering. "Selamat mencari." Ia menyaksikan saat Jaehyun hendak mengisi gelasnya, namun botol itu sudah kosong dan pria itu lalu memanggil pelayan, tapi ia menggeleng. "Tidak untukku." Ia membutuhkan jarak, karena nyaris kehilangan akal sehatnya. Selama sesaat Doyoung mengira Jaehyun membicarakan dirinya, agar mereka bersekongkol, dan hal ini mungkin nyata.

Doyoung permisi dan melarikan diri ke kamar kecil, menyuruh diri sendiri agar tetap tenang, namun ketika ia menatap cermin pipinya tampak merah dan matanya berkilau. Poninya menempel di kening karena hujan dan mengeringkannya di bawah pengering tangan, kemudian membubuhkan bedak, berusaha membuat wajahnya terlihat tenang.

Apakah Jaehyun mengusulkan agar ia...? Doyoung menghentikan diri, karena konyol sekali memikirkan hal semacam diri, karena konyol sekali memikirkan hal semacam itu, tapi... Siapa yang akan mengira ketika ia melangkah masuk ke bar, atau ketika ia keluar dari pekerjaannya, beberapa jam kemudian ia berbagi sebotol sampanye dengan Putra Mahkota Jung.

Ia akan bersembunyi di kamar mandi selama beberapa saat lagi, mengatur pikirannya sebelum keluar, namun beberapa wanita yang dihindari Jaehyun kemudian masuk dan memberinya tatapan yang tidak terlalu bersahabat.

TBC

Playing The Royal Game (JaeDo)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang