DOYOUNG memang bertemu dengan keluarganya dalam persiapan pernikahan, tapi Jaehyun benar; rasanya tidak sama.
Haechan sedang jatuh cinta dan tentunya mengira Doyoung juga demikian, dia membicarakan Mark selama berjam-jam, membacakan lagu yang dia tulis, mondar-mandir dengan sepatunya yang gaduh. Karena dia adalah Haechan, karena dia tidak akan menjadi ratu suatu hari nanti, pihak istana sepertinya tidak terlalu jengkel.
Haechan bisa tetap menjadi dirinya yang mempesona sementara Doyoung seperti melupakan identitasnya. Dua minggu sebelum pernikahan, Jaehyun terbang ke London untuk menuntaskan transfer bisnis dan akan kembali pada malam pernikahan.
"Malam pernikahan...!" Tentu saja ada pertengkaran.
Lagi.
"Ada banyak urusan yang harus diselesaikan, saat aku kembali, aku akan kembali untuk selamanya. Ada bulan madu yang akan kita nantikan, kita akan pergi sebulan penuh," Jaehyun menjelaskan. "Aku hanya pergi selama dua minggu."
Tapi itu dua minggu yang sulit, dan meski Doyoung senang menghabiskan waktu bersama Haechan, namun pengepasan baju bersama Heejun-lah yang membuat Doyoung bisa melewatinya, obrolan pria itu yang tanpa henti dan senyumannya kepada Doyoung, membangkitkan sedikit rasa percaya diri yang sepertinya Heejun suntikkan bersamaan dengan setiap jarum yang dia pasang.
"Berat badanmu turun." Heejun tampak sama sekali tidak terkesan. "Doyoung..."
"Aku tidak berusaha menurunkannya." Doyoung berdiri dan menatap tubuhnya yang kurus serta kulitnya yang pucat, bertanya-tanya bagaimana mungkin dalam waktu beberapa hari ia harus berubah menjadi pengantin yang bercahaya. Ia tau tubuhnya terlalu kurus. Bahkan ratu menawarkan croissant akhir-akhir ini dan Doyoung mengambilnya. Namun kegelisahan dan perutnya yang melilit serta rasa kesepian seakan terus membakarnya. "Segalanya serta rasa kesepian seakan terus membakarnya. "Segalanya akan lebih tenang setelah pernikahan." Doyoung harus meyakinkan itu, bahwa begitu mereka lebih menyendiri, begitu ia dan Jaehyun sudah di apartemen, mereka bisa mendapatkan hidup yang normal, dan ia mungkin menemukan tempat dalam kehidupan yang tidak ia pilih itu.
"Jadi, ayo kita lepaskan ini, hari ini adalah terakhir kali kau melihatnya sebelum hari besar itu."
"Apakah aku hari mencoba yang satu lagi?" tanya Doyoung, tapi Heejun menggeleng. "Kau mungkin perlu memperbaikinya."
"Tidak perlu, gaun itu sangat tidak pas," Doyoung merasa penasaran dan kecewa, karena ia benar-benar menyukai gaun yang satu lagi. "Lagi pula, gaun itu sudah dibersihkan dan digantung."
"Aku ingin melihatnya."
"Kau akan melihatnya setelah pernikahan." Heejun tersenyum, menyibukkan diri dengan jarum dan meteran, mencoba menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah. Ia sengaja tidak membawanya hari ini; ia tahu gaun itu jauh lebih baik daripada yang llainnya gaun itu akan jauh lebih cocok untuk Doyoung, dan Heejun tidak ingin Doyoung mengetahui itu. Heejun tahu sudah cukup banyak yang harus dihadapi Doyoung, sebetulnya ia mencemaskan wanita itu. "Jadi," tanya Heejun. "Apa rencanamu? Apakah kau akan pergi untuk menghabiskan waktu bersama keluargamu?"
"Baru setelah geladi resik besok," sahur Doyoung, mencoba berpura-pura seakan hal itu tidak penting. "Lagi pula, ayahku harus syuting acara TV dan tidak berada di sini sampai saat geladi resik."
"Tapi anggota keluarga yang lain ada di sini," kata Heejun. Ia cemas melihat betapa pucatnya Doyoung, merasa gadis itu butuh menghabiskan waktu bersama keluarganya. Tapi sebaliknya, Doyoung takut bertemu mereka kalau-kalau ia menyerah dan memohon mereka agar membawanya pulang.
"Jaehyun belum akan datang sampai saat makan siang dan kurasa ada tugas kerajaan yang harus dia lakukan besok malam, tapi aku berada di hotel, jadi jika aku ingin bertemu dengannya sebelum pernikahan maka kesempatannya hanya tinggal besok sore."
"Kau akan merasa lebih baik setelah bertemu dengannya," Heejun menenangkan. "Kau akan ingat alasan kau melakukan semua ini."
Doyoung tersenyum dan menjawab ia berharap begitu, tapi hari-hari setelah Jaehyun pergi adalah hari yang sepi dalam hidupnya. Ia menatap ke luar jendela, bisa melihat kegiatan di luar istana, kamera-kamera yang sedang dipersiapkan, palang-palang pembatas ditempatkan, semuanya bersiap untuk hari yang semakin dekat.
"Doyoung." kata Jaehyun di telepon. "Bagaimana persiapannya?"
"Baik," jawab Doyoung. "Aku baru saja melakukan pengepasan terakhir pada gaunku. Bagaimana keadaan di sana?"
"Aku sangat sibuk," kata Jaehyun. "Aku sangat menantikan libur satu bulan penuh. Apakah semua sudah diatur?"
"Kurang-lebih," ujar Doyoung.
"Bukumu?"
"Hampir selesai," kata Doyoung.
"Benarkah? Bagus sekali." Jaehyun memang terdengar bangga. "Apakah aku boleh membacanya?"
"Tidak," sahut Doyoung. "Aku ingin ayahku yang pertama kali membacanya... Sebetulnya..." Ia terdiam. "Tidak penting."
"Penting atau tidak?" Jaehyun selalu langsung ke pokok masalah.
"Penting."
"Jadi?"
"Aku tidak mengira akan selesai begitu cepat, tapi sekarang setelah selesai aku berharap untuk memberikannya kepada Ayah di hari pernikahan, dan menjilidnya, tapi tidak banyak toko buku di Santina."
"Kau harus menjilidnya dengan benar."
"Ini baru naskahnya pertama, bahkan belum selesai." Doyoung tidak bisa menuliskan bagian akhirnya, tidak ingin menutup nya dengan pernikahannya, namun begitu banyak yang telah terjadi, begitu banyak perubahan dalam keluarganya.
"Kirimkan kepadaku dan aku akan meminta untuk dijilid."
"Kau tidak akan membacanya?"
"Doyoung" Jaehyun tertawa letih. "Aku tidak punya waktu untuk tidur, apalagi membaca." Ketika Doyoung tidak mengatakan apa-apa Jaehyun menyudahi percakapan itu. "Kirimkan sekarang dan aku akan meminta Tiffany noona mengerjakannya. Aku akan menemuimu besok."
"Tentu." Doyoung menutup telepon, bertanya-tanya bagaimana ia menikah dengan seorang pria dalam waktu dua hari dan mereka masih bercakap-cakap dengan kaku. Mungkin Jaehyun merasakan hal yang sama karena hampir setelah ia memutuskan sambungan berbunyi lagi."
"Jaehyun...?"
"Maaf, hanya aku..." terdengar suara ceria Taeil. "Kami mencari Doyoung!" Ia mendengar sorak-sorai di belakangnya. Ia mendengar Taeyong dan Seungcheol, Winwin dan Haechan, semua meneriakkan namanya. "Tentunya kau bisa kabur untuk satu malam."
"Rambutku harus-"
"Doyoung..." Haechan berbicara di telepon. Dibandingkan yang lain, ia tahu persis betapa pihak istana bisa sangat menyulitkan. "Tunggu saja di sana, aku akan meminta Mark mengirim mobil untukku dan kami semua akan datang ke istana untuk menjemputmu!"
Ia mengirimkan e-mail untuk Jaehyun, mempertimbangkan untuk memberitahu pria itu, tapi memilih tidak melakukannya, lagi pula Jaehyun akan berusaha menghalanginya. Ia senang saudara-saudaranya datang untuk menyelamatkannya, menghabiskan malam bersama mereka, mendengarkan mereka tertawa, membicarakan kabar terbaru mereka.
Aneh bahwa ia merindukan Jaehyun dengan segala yang sedang berlangsung.
Begitu rindunya, sehingga esoknya, segera setelah bangun, ia menelepon Jaehyun, meski tahu pria itu sedang di pesawat.
"Dia sedang sibuk." Doyoung jengkel karena Tiffany yang menjawab nomor pribadi Jaehyun
"Bisakah aku bicara dengannya?"
"Dia secara khusus meminta agar tidak diganggu," jawab Tiffany angkuh. "Dia sedang berbaring."
Dan Doyoung mencoba tidak memikirkan kamar tidur di pesawat jet pribadi yang membawanya ke sini. Mencoba tidak memikirkan Jaehyun dan Tiffany di ruang tertutup.
Sulit untuk melakukannya.
Terutama karena besok Doyoung akan menikah dengannya.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Playing The Royal Game (JaeDo)
RandomDapatkan Doyoung mempertahankan jati diri dalam perannya sebagai tunangan pangeran dengan segala istana yang mengekang? Dan sanggupkah Jaehyun menahan desakan yang bergejolak di antara mereka mengingat pertunangan ini hanya sementara? [Remake dari n...