"DEMI Tuhan, apa yang kau pikiran?" Jaehyun begitu marah sehingga untuk sesaat ia tidak mengatakan apa pun. Orang-orang menyaksikan saat pasangan itu masuk ke mobil, mengira Jaehyun akan berputar dan kembali melesat ke istana. Mereka bertukar senyum ketika mobil abu-abu tersebut menuju bukit.
Mereka sering kali melihat Jaehyun di sini, mobil rendah berwarna abu-abu yang melesat di jalan, dan mereka juga tahu, bahwa Jaehyun terbiasa mengemudi selama berjam-jam di hutan liar. Hanya saja hal itu sudah lama tidak terjadi, tapi kini pangeran mereka kembali, berbagi hutan yang ia cintai dengan calon pengantinnya.
"Apa yang kau pikirkan?" tuntutnya lagi.
"Aku diabaikan, terkurung, dan aku menginginkan beberapa jam-"
"Kau bertunangan denganku," raung Jaehyun. "Sudah kukatakan kepadamu kau tidak bisa keluar begitu saja, kau tidak boleh berjalan kaki..." Ia kemudian terdiam; saat ini lebih aman untuk berkonsentrasi ke jalanan, dan itulah yang ia lakukan. Ketika mendengar Doyoung tersentak pada beberapa tikungan tajam, Jaehyun melirik sekilas dan melihat gadis itu ketakutan. "Aku tidak mengemudi sambil marah," ia menjelaskan. "Aku sudah mengenal jalanan ini."
Sangat mengenalnya.
Jaehyun sering mengemudikan mobilnya di jalan ini ketika masih tinggal di sini, menuju satu tempat di Santina yang menenangkannya. Bahkan sewaktu masih anak-anak dan kemudian menjadi remaja pemarah, sebelum ia bisa mengemudi, ia akan berkuda pada siang hari, hanya untuk mencapai tempat ini. Ketika ia tidak tahan terkurung di istana, ketika ia tidak tahan menghirup udara yang kaku, ketika segala yang ia rasakan hanyalah tekanan, ke sinilah ia akan pergi, tempat ia bisa bernafas, bisa berteriak jika mau, bisa berpikir...
Jaehyun tahu apa yang dirasakan Doyoung, karena ia dulu juga merasakannya.
Ia menekan tombol dan atap mobil bergeser terbuka. Ketika sudah aman untuk melakukannya Jaehyun melirik lagi dan melihat wanita itu kini sudah lebih santai, matanya terpejam menikmati sinar matahari dan angin serta udara segar.
Bagi Doyoung, diamnya Jaehyun sangat berharga; ia tahu Jaehyun sudah tidak terlalu marah sekarang, meski ia tidur di samping pria itu setiap malam dan bersamanya saat makan malam, berbicara dengannya setiap hari, mereka tidak pernah benar-benar sendiri, tidak menjadi diri mereka sendiri, sejak meninggalkan London.
"Aku tahu bagaimana rasanya." Jaehyun tidak berteriak; ia bahkan tidak terlihat marah. Doyoung senang dengan perjalanan itu, menjauh dari istana. Ia masih bisa melihat istana tersebut, di kejauhan di belakang mmereka tapi ia lega dengan jarak yang terbentang di antaranya.
"Sebelum aku bisa mengemudi, aku biasa berkuda ke sini. Biasanya aku berdiri di sini dan bersumpah tidak akan kembali, meski tentu saja aku harus kembali, tapi aku berjanji aku akan pergi, dan selama beberapa tahun aku akan tinggal di London, menjalani hidupku untuk sementara waktu, sebelum aku kembali pada mereka." Mereka berjalan lebih jauh ke dalam hutan, dan Jaehyun menujukkan kepada Doyoung tempat ia mengikat kudanya. Mereka terus berjalan jauh sampai hanya bermandikan daun-daun hijau lalu duduk di rerumputan lembab.
"Kita seharusnya berpiknik," gurau Doyoung.
"Aku sebenarnya tidak berencana ke sini," kata Jaehyun, tapi senang bisa kembali berbaring di rerumputan dan melihat langit-langit di atas di antara pepohonan yang menjulang. Ia tidak menatap Doyoung saat memberitahu wanita itu apa yang seharusnya tidak boleh ia katakan, tapi tentunya Doyoung berhak untuk tahu. "Kau tahu ada kegemparan dengan menghilangnya Jungwoo..."
"Dia tidak menghilang, dia menikah dengan Lucas, sang maharaja," ujar Doyoung, karena ketika masih belia itu mendengar ayahnya akan menikahkannya, dia justru melarikan diri. "Tapi ya, memang ada kegemparan." Pangeran Vernon tiba untuk menjemput wanitanya, dan raja memutuskan bahwa Seungkwan, kakak Jungwoo yang memalukan, yang akan menikah dengannya. Doyoung tidak bisa memahami keluarga ini, tempat penampilan lebih penting daripada perasaan.
"Selalu ada kegemparan tentang Jungwoo." Jaehyun menoleh. "Kau sudah mendengar rumor? Bahwa dia bukan..."
Doyoung mengangguk; saat Jaehyun mencoba untuk lebih terbuka, ia tidak akan bermain-main dan berpura-pura tidak tahu apa yang sedang pria itu bicarakan.
"Ayah selalu keras padaku, tapi ketika aku masih muda," Jaehyun mencoba mengingat-ingat, "ada masa-masa kami pergi keluar. Saat itu rasanya lebih banyak kebebasan, atau mungkin istana sepertinya lebih besar. Kemudian Ibu mengadung anak dan meski ayahku memanjakan anak-anaknya terutama Jeonghan, dia sangat inginkan anak laki-laki. Aku tahu ayahku kecewa, dan ibuku... dia berubah." Jaehyun mencoba menjelaskan. "Mungkin kau akan menyebutnya depresi. Saat itu aku tak tahu apa penyebabnya. Tapi sewaktu aku berusia dua belas tahun aku tahu akan akan bayi lagi, yang seharusnya merupakan berita bagus. Aku mendengar mereka bertengkar, bukan hanya pertengkaran biasa!" Doyoung menoleh. "Dia berkata ibuku akan menghancurkan kerajaan, bahwa kecerobohannya akan menghancurkan rakyat... bahwa kesalahannya..." Jaehyun menatap langit dan kini bisa mendengar suara-suara mereka. "Dia berkata bukan hubungan gelap ibuku yang membuatnya kecewa. Dia mencemaskan orang-orang, kehamilan yang akan merusak-"
"Tidak," potong Doyoung. "Tentu saja ayahmu kecewa."
"Kau harus mengerti-"
"Aku memang mengerti," ujar Doyoung, "karena aku juga sudah mendengar pertengkaran semacam itu, ratusan kali, dan apa pun pendapatmu tentang ayahku, dia tidak terlalu berbeda dengan ayahmu. Aku sangat mencintainya, tapi dia memiliki standar ganda. Jika ibuku yang mempunyai hubungan gelap-"
"Ini berbeda," potong Jaehyun. "Sejak saat itu, kami harus mampu mengatasi rumor atau aib."
"Tapi hal itu nyaris tak berguna," Doyoung menujukkan. "Pers akan gempar sekarang dengan segala yang sedang terjadi. Keluargamu begitu sibuk berusaha menyimpan rahasia yang terus-menerus bocor, sibuk untuk membuktikan mereka bukan manusia, sedangkan memang begitulah mereka. Ayahmu bukan kecewa karena rakyat, dia menggunakan itu sebagai alasan untuk mengurung ibumu dalam rasa bersalah. Kau tidak akan mengurungku, Jaehyun."
"Kau tidak bisa berkeliaran begitu saja."
"Aku berjanji tidak akan pulang dalam keadaan hamil!"
"Doyoung, aku serius. Ada hal-hal yang tidak bisa diubah." Jaehyun kemudian terdiam, dan mereka berdua masih berbaring selama beberapa saat. "Apa kau mendengarnya?"
Doyoung mendengarnya, dengung suara helikopter. Mungkin bukan karena mereka, tapi tetap saja mungkin karena mereka, namun Doyoung tidak akan menyerah. "Mereka di sini karena ini kejadian yang sangat langka..." Ia menebak-nebak. "Karena mereka sangat tidak terbiasa dengan keluargamu melakukan hal-hal normal. Kita bertunangan, seharusnya kita tidak terpisahkan, kita seharusnya sedang bercinta di kaki bukit."
"Aku tidak akan pernah mempermalukanmu seperti itu," kata Jaehyun.
"Aku tahu itu." Doyoung tertawa kecil. "Sayangnya..." Kemudian ia meringis. "Aku tidak bermaksud... Aku bukan mencoba untuk mengarahkan-"
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Playing The Royal Game (JaeDo)
De TodoDapatkan Doyoung mempertahankan jati diri dalam perannya sebagai tunangan pangeran dengan segala istana yang mengekang? Dan sanggupkah Jaehyun menahan desakan yang bergejolak di antara mereka mengingat pertunangan ini hanya sementara? [Remake dari n...