11 A

1.3K 219 7
                                    

DOYOUNG tidak bisa keluar sewaktu Jaehyun pergi, bukan karena instruksi tegas dari istana, namun lebih karena benjolan di keningnya. Maka ia hanya bermalas-malasan di istana, mencoba tidak membayangkan Jaehyun keluar dengan Tiffany yang dingin itu. Ia menelepon Haechan, tapi hanya disambungkan ke mesin penjawab, dan Taeil juga tidak membalas e-mailnya. Doyoung mendongak ketika pelayan mengetuk pintu kamar.

"Haejun ada disini."

"Heejun!" koreksi suara lantang yang agak feminin. Doyoung begitu bosan melihat-lihat gaun pengantin, terutama karena ia tidak punya rencana untuk mengenakannya. Ia harus benar-benar berusaha terlihat antusias saat Heejun berjalan masuk dan ia menunggu, menunggu para asisten di belakang pria itu membawa contoh-contoh bahan berwarna putih, tapi yang ada hanya pria itu, bahkan tidak ada buku sketsa.

"Mereka selalu begitu," Heejun berkata sambil memperkenalkan diri. "Mereka mengira hal itu membuatku lebih terdengar eksotis!" Ia juga berasal dari London, dan Doyoung nyaris memeluknya saat mendengar aksen yang dia kenali. "Jadi, ayo kita mulai. Apa yang ada dalam benakmu?" tanyanya. Doyoung menarik napas dalam-dalam, bersikap memberikan jawaban yang pantas ketika Heejun memotongnya. "Sebetulnya, aku sudah diberitahu dengan singkat. Renda Santina putih, membosankan, membosankan..."

Salahkah jika Doyoung terkikik?

"Berpotongan ramping di pinggang semata kaki, ekor yang panjang..." Heejun memutar mata dan mungkin melihat kilau air mata di mata Doyoung. "Ini hari pernikahanmu, Sayang-" dia mengulurkan tisu "- Aku berjanji akan membuatmu terlihat cantik."

"Aku tahu." Doyoung mendengus. "Maaf, aku tidak tahu apa yang salah denganku." Ia menepuk kening, mencoba menyalahkan memarnya.

"Mungkin hanya karena menikah dengan Putra Mahkota Santina," kata Heejun bijak. "Pasti itu beban yang sangat berat bagi seorang gadis biasa." Dan ia mengucapkan kata biasa dengan baik hati, sangat berbeda dengan Jaehyun, tapi kata itu muncul lagi, bersamaan dengan lebih banyak air mata.

"Kau tahu, ada dua macam gaun," kata Heejun. "Yang satu sebagai cadangan jika desainku yang inovatif dengan renda Santina berpotongan ramping di bagian pinggang sampai ketahuan media."

Heejun membuat Doyoung tersenyum. "Kurasa mereka tidak mau jika aku mengenakan sesuatu yang mungkin agak mengejutkan."

"Tapi aku masih tetap harus membuat pilihan," Heejun menjelaskan. "Mungkin itu akan membuat pengepasan gaun lebih menyenangkan. Bagaimana kalau kau bisa benar-benar mendapatkan gaun yang kau inginkan..?"

Doyoung tidak pernah benar-benar memikirkannya.

"Pikirkanlah," kata Doyoung. "Bagaimana kalau kau bisa mendapatkan gaun yang sempurna untukmu?"

"Entahlah..." Itu ide baru, tapi Doyoung menyingkirkannya; ia jelas tidak akan mengaku kepada Heejun.

"Desainer yang baik harus sama percaya dirinya dengan dokter, dan," Heejun menambahkan, "aku tidak menuliskannya, kau hanya perlu memberitahuku impianmu dan aku akan menciptakannya."

Apakah menyedihkan bahwa Heejun membuat hari-harinya lebih cerah, terutama dengan kepergian Jaehyun? Doyoung menikmati kunjungan-kunjungan pria itu, senang mengobrol dengannya. Saat memar di kepalanya menghilang, hilang juga keengganannya. Doyoung mau berdiri di kamar tidur untuk diukur dan mengepas gaun, kemudian, ketika asisten Heejun pergi dengan gaun terbungkus dan rencana desain, ia memberitahukan gaun impiannya. Ia memejamkan mata dan membayangkan berjalan di altar menuju suami yang mencintainya, dalam gaunnya.

"Gaun itu akan memukau," kata Heejun. "Dan aku akan mulai mengerjakannya malam ini, aku sudah tidak sabar. Kau akan menghadiri konser malam ini."

"Memang."

Jantung Doyoung berdebar gembira, bersemangat karena kunjungan Heejun. Doyoung sudah menelpon untuk memberitahu bahwa dia sedang dalam perjalanan pulang dan malam ini Doyoung akhirnya akan bertemu Haechan.

"Apa yang kau kenakan?"

Doyoung mendesah dan menarik keluar gaun linen pucat dengan jaket ketat di bagian atas. Ia tidak terlalu tersinggung ketika Heejun mendengus. "Aku akan memakai sepatu bertumit tinggi ke sana, tapi aku membawa pumps untuk ganti."

"Ini konser musik rock," kata Heejun.

"Aku tahu."

"Ayo ikut aku!"

"Ke mana kita pergi?"

"Berbelanja, tentu."

"Aku tidak bisa..." Doyoung teringat terakhir kali ia meninggalkan istana tanpa pemberitahuan, tapi Heejun sama sekali tidak khawatir.

"Aku akan menelepon butiknya dulu. Kau pergi berbelanja dengan desainermu, apa lagi yang seharusnya dilakukan calon putri kerajaan?"

"Bisakah kita berhenti untuk minum kopi?" tanya Doyoung.

"Tentu." Heejun tersenyum. "Dan makan kue!"

Mereka pun pergi, dan itu hari yang paling menyenangkan, berbelanja dan tertawa-tawa dan kemudian, dengan tangan penuh belanjaan, mereka berhenti di kafe yang sekarang merupakan tempat favorit Doyoung. Kali ini mobil menunggu di luar.

Sekali lagi si pemilik kafe menutup tokonya.

"Kuharap itu tidak memengaruhi penjualannya," kata Doyoung setelah mereka memesan.

"Omong kosong!" seru Heejun. "Penjualannya akan berlipat-lipat, semua orang akan makan dan minum di sini, mengetahui di sinilah tempat yang dipilih oleh calon putri kerajaan." Heejun tersenyum sedih, kemudian menceritakan kekasih yang mematahkan hatinya dan kini ingin kembali dengannya. Sangat menyenangkan duduk di sana dan mendengarkan masalah pria itu, dan bukan berfokus pada diri Doyoung sendiri.

"Mungkin dia menyadari dia mencintaimu," Doyoung mengusulkan.

"Aku hampir terkenal!" sahut Heejun. "Berkat merancang gaunmu. Kangta selalu menuduhku membosankan, bahwa rancanganku tidak menghasilkan cukup uang." Ia menatap Doyoung. "Kini dia memutuskan dia merindukanku, aku ingin percaya dia mencintai aku, bukan versi glamor diriku."

Heejun berbicara ke hatinya dan Doyoung mengerti.

"Aku ingin dia mencintai diriku yang sebenarnya."

Kalimat itu terus berulang-ulang di kepalanya, lagi dan lagi, saat Doyoung tiba kembali di istana.

Ia berganti pakaian yang jauh lebih mahal daripada yang bisa ia beli dulu, tapi dengan gaya seperti yang dulu ia kenakan.

Doyoung sudah siap berpakaian dan sangat gugup saat ia turun serta menunggu Jaehyun pulang, sebelum mereka berangkat ke konser.

"Doyoung!" Ratu tersenyum ramah kepada. "Tidakkah kau seharusnya bersiap-siap? Sopir Yoonoh baru memberitahu kami dia akan tiba di sini sebentar lagi dan langsung pergi dengan helikopter."

"Aku sudah berganti pakaian." Doyoung menelan ludah.

"Kau memakai jins!"

"Dan sepatu bot," ujar Doyoung. "Keren, kan?" Sepatu bot itu memang hebat, bahan kulitnya selembut mentega; sepatu itu sangat sempurna, sangat keren sehingga Doyoung sampai ingin memberinya nama.

"Ayah Anda..." Seorang pelayan mengulurkan telepon dan Doyoung menyambarnya seakan-akan hidupnya bergantung kepadanya. Ayahnya tidak menelponnya selama berminggu-minggu, dan setiap kali ia menelepon, Changmin selalu sedang keluar, tapi sangat melegakan bisa mendengar suaranya.

"Bagaimana kabarmu?"

"Hebat!" ujar Doyoung. "Aku sudah lama tidak mendengar kabarmu, Ayah. Kenapa Ayah meneleponku lewat telepon ini?" Ia tahu Jaehyun sudah tiba, tapi sudah lama sekali sejak ia bicara dengan ayahnya sehingga ia pindah ke ruang lain untuk melanjutkan percakapan.

TBC

Playing The Royal Game (JaeDo)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang