"DOYOUNG." Keesokan paginya Jaehyun merangkak ke tempat tidur, sepuluh menit sebelum pelayanan muncul. Hanya itu yang bisa ia lakukan, dua puluh menit akan membunuhnya dan semalam ia memilih tidur di sofa. Mata Doyoung masih bengkak karena menangis, terlepas dari perkataan Jaehyun saat berada di hutan, semalam pria itu telah menegaskan, tidak boleh ada perubahan besar, hanya pengecualian sesekali.
"Apa?" Jawaban Doyoung terdengar masam.
"Berhentilah merajuk."
"Aku tidak merajuk," kata Doyoung. "Aku sedang berpikir."
"Tentang..."
"Betapa mustahilnya semua ini. Betapa inginnya aku pulang." Doyoung menoleh. "Kau akan pergi ke London... tidak bisakah aku ikut denganmu?"
Tidak bisa, ya, memang ada pekerjaan yang harus ia lakukan di London, tapi Jaehyun juga punya rencana. Ia tentu tidak menginginkan Doyoung di dekatnya sehingga bisa merusaknya.
"Untuk bertemu keluargaku..." Ada begitu banyak hal yang sedang terjadi, dan Doyoung hanya mendapat sedikit gambaran. Seakan-akan ia sedang dijauhkan dari mereka. "Aku hampir tidak pernah mendengar apa pun dari mereka. Aku ingin bertemu mereka, bicara dengan mereka..."
Dan itu hal terakhir yang akan Jaehyun pertaruhkan. Doyoung mempercayai mereka sepenuhnya, membela mereka sepanjang waktu, namun semakin lama semakin banyak dari mereka yang berhubungan dengan Jaehyun, Haechan dan adik Jaehyun, Mark, bersembunyi di suatu tempat bersama-sama, sedangkan sepupunya Johnny Seo telah menikahi kakak tiri Doyoung.
Jaehyun tidak bisa mengambil resiko gadis itu mengaku pada mereka, seperti yang telah dijelaskan ayahnya, ia harus menjauhkan Doyoung dari skandal mereka.
"Ada hal-hal yang harus kau kerjakan disini.
"Aku sekarat disini," sahut Doyoung.
"Berhentilah bersikap dramatis. Kau berkeras bahwa kau sibuk dengan bukumu." Suara Jaehyun mengandung kejengkelan, karena buku itu membuat Doyoung terjaga sampai larut malam setiap hari, memastikan dirinya tidur di sofa terkutuk itu pada saat wanita itu naik ke tempat tidur. Tetap saja mereka tidak bisa mendiskusikan ini lebih jauh, karena pintu kemudian diketuk dan Jaehyun menyuruh pelayan masuk.
"Hanya kopi?" Doyoung mengernyit ketika mereka berpura-pura bangun setelah pelayan membawa masuk troli. "Di mana sarapannya?"
"Kau tidak butuh waktu lama untuk membiasakan diri dengan gaya hidup di sini." Jaehyun berujar sinis. "Orangtuaku meminta agar kita bergabung bersama mereka untuk sarapan, mereka ingin membicarakan rencana pernikahan. Kau masih harus memilih desainer untuk gaunmu."
"Sepertinya itu akan sia-sia," ujar Doyoung. "Mengingat kita berdua berharap aku tidak akan mengenakannya dan lagi pula," ia mengakui, "tidak ada yang bisa kupilih, semua gaun sama saja." Doyoung mendengar rengekan dalam suaranya lalu berhenti. Benarkah ini dirinya, duduk di tempat tidur dengan pemandangan paling indah di bumi, di samping pria yang paling mempesona, dan mengeluh tentang desainer? Berulangkali ia harus mengingatkan diri, mengatakan tidak ada yang patut ia keluhkan, hanya saja ia merindukan Jaehyun. Ia sangat merindukan pria yang ia temui di London, merindukan sedikit saja hal yang ia impikan sebelumnya.
"Kenapa waktu sarapan?" tanya Doyoung, karena semuanya begitu formal. Kenapa keluarga ini bahkan harus mengatur percakapan sederhana?
"Karena ayahku ada urusan sepanjang hari dan aku akan terbang besok malam."
"Dan aku terjebak di sini..." Rengekan itu lagi, bahkan Doyoung tidak tahan mendengarnya. Ia meletakkan cangkir lalu turun dari tempat tidur, berbaring dalam bak mandi yang telah diisi oleh pelayan dan mencoba menenangkan diri, mencoba tidak memikirkan alasan sesungguhnya dari perjalanan Jaehyun ke London, seakan-akan pria seperti Jaehyun akan tidur sendiri dalam waktu lama.
Sarapan itu terasa sangat menegangkan, sejak saat Doyoung duduk dan memilih croissant favoritnya.
"Sebetulnya," kata Leeteuk ketika Doyoung mengoleskan selai stroberi di atas croissant. "Aku sudah bicara dengan juru masak dan mereka menyiapkan pilihan yang lebih ringan untukmu."
"Maaf?"
"Untuk persiapan pernikahan."
"Menurut Anda aku harus menurunkan berat badan?" Ia menunggu Leeteuk menghindari pertengkaran halus, tapi Ratu hanya tersenyum.
"Beratmu bertambah sedikit."
Doyoung tidak bisa mempercayai pendengarannya. Tubuhnya ramping, selalu ramping. Ayahnya selalu berkata ia harus menambah berat badannya.
"Sudahlah," ujar Jaehyun, untungnya kepada Ratu dan butuh kepada Doyoung.
"Aku hanya mencoba membantu. Kau tahu tekanan yang dia hadapi, orang-orang mengharapkan kesempurnaan. Aku tidak ingin Doyoung merasa canggung pada hari itu. Memang berat baginya, aku sadar itu, dia punya akses 24 jam kepada juru masak kelas atas... Aku hanya mengusulkan agar, sebelum hal itu menjadi masalah, dia menahan diri."
"Jadi, jangan lakukan itu." Suara Jaehyun mengandung peringatan, juga tatapan yang ia berikan kepada ibunya. Namun yang mengejutkan, tatapannya melembut ketika beralih kepada Doyoung. "Abaikan itu," katanya. "Abaikan saja semuanya, kau terlihat cantik." Mata Jaehyun menatap Doyoung dan wanita itu berharap untuk keseratus kali tunangan memang bersungguh-sungguh, bahwa sandiwara di depan umum ini adalah nyata.
"Kau harus memilih desainer untuk gaunmu." Leeteuk tidak benar-benar mengganti pembicaraan, tapi setidaknya dia tidak lagi membahas lingkar pinggang Doyoung.
"Aku tahu... aku hanya..." Doyoung membenci semua usulan itu, membenci mereka karena mereka hanya memberi versi yang sedikit berbeda. Ia juga diminta untuk menyingkirkan poninya agar bisa memiliki tatanan rambut lebih tradisional. "Ada beberapa lagi yang akan kulihat minggu ini. Bagaimana denganmu?" Doyoung bertanya kepada tunangannya, yang jelas sekali merasa sangat bosan dengan percakapan ini.
"Aku akan memakai seragam militer." Jaehyun melihat raut wajah Doyoung yang tidak mengerti. "Aku bertugas selalu beberapa tahun, dan karena keluarga kamilah yang dilayani oleh tentara..." Jaehyun bahkan tidak repot-repot menyelesaikan kalimatnya, hanya mengambil ponselnya yang berdering dan meneruskan percakapan.
"Itu sangat tidak sopan, Yoonoh." Raja mendongak dari koran yang sedang ia baca.
"Telepon itu penting," jawab Jaehyun. "Aku sudah menunda bicara dengan seseorang selama dua minggu. Tiffany noona baru saja memberitahuku bahwa orang itu telah menerima undangan makan malam besok.
"Itu bisa menunggu," bentak Raja.
"Entah kenapa, kurasa Yang Mulia Kim Hyunjoong tidak suka jika terus menunggu." Jaehyun bisa menyombong kepada siapa pun, Doyoung memperhatikan, bahkan kepada ayahnya sendiri. "Mengingat dia mempertimbangkan untuk membeli bisnisku, sepertinya hal yang bijak untuk memberitahu Tiffany noona agar mengatakan kepadanya kami akan sangat senang bergabung dengannya."
Mata Doyoung seketika menatapnya ketika mendengar kata "kami", tapi mungkin Jaehyun menyadari kesalahannya, karena pria itu tidak membalas tatapannya. Sebaliknya dia tampak sangat tertarik pada mangkuk gula, mengambil dua potong untuk kopinya.
"Bagaimana kabar orangtuamu?" Leeteuk pasti merasakan temperatur yang merosot tajam karena dia cepat-cepat mengalihkan percakapan.
"Mereka baik-baik saja, terimakasih." Doyoung nyaris tidak bisa bernafas, tapi berusaha sebisa mungkin untuk tetap sopan. "Aku bicara dengan ayahku kemarin." Doyoung menoleh dan memaksakan diri tersenyum kepada ratu. "Dia sangat menantikan untuk bertemu Jaehyun jika sudah selesai-"
TBc
KAMU SEDANG MEMBACA
Playing The Royal Game (JaeDo)
RandomDapatkan Doyoung mempertahankan jati diri dalam perannya sebagai tunangan pangeran dengan segala istana yang mengekang? Dan sanggupkah Jaehyun menahan desakan yang bergejolak di antara mereka mengingat pertunangan ini hanya sementara? [Remake dari n...