"SEHARUSNYA tidak lama lagi." Tiffany menutup telepon.
"Kita tidak terlalu membutuhkan Yoonoh..." kata Raja, karena ia ingin geladi resik itu berakhir, bahkan sangat menantikan kembali ke istana bersama istrinya! "Dia sudah tahu tempatnya. Pastikan saja keluarga Kim sudah tahu-"
Doyoung menahan diri memberikan balasan tajam. Ia sangat muak dengan sindiran-sindiran seakan hanya Santina yang tahu persis bagaimana melakukan berbagai macam hal. Persetan, siapa yang membutuhkan pengantin pria pada geladi resik pernikahan?
"Di mana dia?"
Tiffany tidak berkata apa-apa, lagi pula ia tidak pernah menghiraukan Doyoung sebelumnya.
"Aku akan keluar mencari udara segar."
Doyoung melangkah kkeluar menghirup udara malam yang dingin. Ia begitu ingin bertemu Jaehyun, hanya untuk mendapatkan keyakinan. Ia terlonjak sedikit ketika Tiffany berjalan ke sisinya.
"Mereka ingin mengulangi langkah-langkah sekali lagi. Aku akan menjadi Jaehyun."
Doyoung tidak bisa memikirkan hal lain yang lebih buruk. "Aku akan menunggu, terima kasih."
"Raja ingin ini diselesaikan." Tiffany juga tidak benar-benar menyukai Doyoung.
"Kalau begitu dia harus menelepon putranya."
"Jaehyun sudah tahu di mana tempatnya... Demi Tuhan, Doyoung, apa kau benar-benar perlu membuat kehebohan? Ayo teruskan saja."
"Di mana dia?"
"Menurutmu di mana?"
Pada saat itu sebuah mobil menepi-bukan mobil kerajaan, bukan mobil Jaehyun, tapi mobil yang tidak Doyoung kenali. Ia berdiri di balik bayang-bayang kantor gereja, menyaksikan belahan jiwanya, menyaksikan Jaehyun, di kursi penumpang, sedang menoleh kepada si pengemudi. Tidak ada keraguan pada kelembutan pria itu-ia melihat Jaehyun mengulurkan tangan dan mendekap wajah si pengemudi. Tidak ada keraguan pada kasih sayangnya saat Jaehyun membungkuk dan mencium gadis itu di bibir dan kemudian di kening... dan kepala mereka beradu selama sesaat sebelum Jaehyun menjauh.
"Siapa itu?" Doyoung benci karena harus menanyakannya kepada Tiffany.
"Ten." Doyoung hampir bisa mendengar sambil menahan emosinya terlepas. "Kupikir dia bersama adikmu," sambung Tiffany. "Tidak diragukan lagi Jaehyun meyakinkannya bahwa tidak ada yang akan berubah." Doyoung bisa mendengar kegentiran dalam suara Tiffany.
"Apakah dia meyakinkan hal yang sama terhadapmu?" Doyoung tidak tahan untuk tidak bertanya.
Mata yang dipenuhi kebencian menoleh kepadanya. "Apakah kau pernah berpikir sekejap saja bahwa cincin kawin akan menghentikannya? Lihat sekelikingmu, Doyoung. Kau mendapatkan pangeran, kau mendapatkan gaun, kemegahan, serta gelar. Nikmatilah, nikmati setiap menitnya, tapi semua itu tidak akan menghangatkanmu pada malam hari."
"Memang tidak," balas Doyoung. "Itu tugas suamiku!"
Tapi Tiffany hanya tertawa; dia berdiri di sana dan tertawa. "Kau ini!" Dia bahkan tertawa lebih keras. "Kau benar-benar tidak mengerti, ya? Orang-orang mungkin mengira mereka menyukaimu sekarang, tapi Jaehyun tahu hal itu tidak akan bertahan selamanya. Lihat saja dirimu, Doyoung, kau bukan apa-apa. Keluargamu bukan apa-apa baginya. Dan cepat atau lambat mereka tidak akan berarti apa-apa bagi rakyat-hanya duri yang memalukan."
Doyoung berdiri di sandi mencoba menahan amarahnya, mencoba mengingat dirinya yang dulu yang bisa memikirkan jawaban pedas, Doyoung sang putri Kim Changmin, yang akan berbalik dan meninju wajah Tiffany.
"Rakyat tidak akan menyalakannya sedikit pun jika dia terus melakukannya." Sayang sekali, pada saat itu Seulgi memilih keluar dari pintu samping dan mencari-cari di tasnya, sambil terbatuk sedikit, sebelum menyalakan rokok. "Nah, Ten..." Tiffany mendesah sedih. "Ten wanita yang berkelas-well, dulu, sampai dia bertemu dengan para Kim. Dengan Ten, setidaknya Jaehyun harus berhati-hati. Kalian semua akan menerima sisanya."
"BBaiklah Sayang." Changmin muncul. "Di mana tunanganmu itu?"
"Aku di sini." Jaehyun melangkah masuk.
"Sudah waktunya." Raja mendengus dan bergabung bersama mereka, saat Jaehyun memberikan ciuman singkat di pipi Doyoung, tapi itu hanya untuk sandiwara, yang sangat Doyoung ketahui.
"Dari mana kau?"
Jaehyun mengernyit, karena ia tidak pernah harus menjelaskan dirinya sebelum ini dan ia jelas tidak akan memulainya sekarang. Tempat ini sama sekali bukan terbaik untuk memberitahu calon pengantinnya bahwa ia telah melewatkan waktu bersama mantan tunangannya-dan ia jelas tidak akan mengatakannya dalam kondisi Doyoung yang sedang sangat rapuh. Jaehyun bisa melihat tubuh Doyoung gemetar, dan ia juga tidak menyukai perubahan pada diri wanita itu: poninya lenyap, diselipkan di belakang telinganya; Jaehyun bisa melihat tulang selangkannya menyembul keluar dari dadanya. Ia benci dengan apa yang dilakukan oleh keluarganya-apa yang telah ia biarkan.
"Ada urusan yang harus kuselesaikan. Ayo." Jaehyun meraih siku Doyoung dan mereka mengambil posisi di altar untuk geladi resik. Ia bisa merasakan wanita itu gemetar oleh emosi. Seharusnya ia tidak meninggalkan Doyoung sendirian menghadapi semua ini. Jaehyun mengira ia telah menolong Doyoung, memberi wanita itu waktu sebelum mereka dipaksa ke dalam penyatuan yang tidak diinginkan tunangannya itu, tapi sebaliknya ia telah membuat Doyoung rapuh.
"Urusan apa?" tanya Doyoung. Jaehyun mendengar nada tajam di akhir kata "apa" dan ia menginginkan Doyoung kembali, ia ingin Kim Doyoung kembali.
"Pada saat ini, kalian akan berpegang tangan..." pastor berkata.
"Urusan apa?" tanyanya lagi.
"Bukan urusanmu."
"Menjadi urusanku jika kau..." Dan apa gunanya-apa gunanya menantang Jaehyun? Apakah hidupnya akan seperti ini? Menunggu di balik bayang-bayang, berbaring di tempat tidur dan bertanya-tanya di mana Jaehyun, dan pria itu bisa begitu terbuka, begitu tidak peduli. Doyoung mencintai Haechan, sangat mencintai adiknya, tapi ia juga mencintai dirinya sendiri.
Ia harus lebih mencintai dirinya. Ia tidak bisa melakukan ini.
"Himne akan dinyanyikan..." pastor terus berceloteh.
"Tidak." Suaranya pelan, begitu pelan sehingga tidak ada yang memperhatikan, dan Doyoung mengatakannya lagi.
"Tidak." Obrolan berhenti dan ia menatap wajah tunangannya yang kaku, mencium aroma parfum yang bukan miliknya pada udara di antara mereka, dan suaranya tegas ketika ia berkata lagi.
"Aku tidak bisa menikah denganmu."
Doyoung lari dari gereja, masuk ke mobil dan memohon kepada sopir yang terperangah agar pergi.
"Gugup." Changmin menyeringai, cepat-cepat menenangkan semua orang.
"Ya, dia hanya cukup," timpa sang raja.
"Aku tidak yakin..." Taeil melihat kepedihan di wajah adiknya saat dia lari dari gereja. Ia menatap Haechan. "Apakah aku harus pergi Dan bicara dengannya?"
"Aku akan bicara dengannya," kata Changmin
"Mungkin lebih baik jika wanita yang melakukannya." Seulgi menawarkan, karena hal terakhir yang dia inginkan adalah Doyoung membatalkan semua ini. Ia sudah memilih gaunnya Dan senang karena Kim punya hubungan dengan keluarga kerajaan. "Yuri?"
Namun Jaehyun sudah meninggalkan gereja
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Playing The Royal Game (JaeDo)
RandomDapatkan Doyoung mempertahankan jati diri dalam perannya sebagai tunangan pangeran dengan segala istana yang mengekang? Dan sanggupkah Jaehyun menahan desakan yang bergejolak di antara mereka mengingat pertunangan ini hanya sementara? [Remake dari n...