17 C

2.9K 246 34
                                    

"Ketika kau tidak bisa melihat wanita lain," sambung Jaehyun. Dan mungkin Doyoung memang ingin mendengar ini. "Karena meski itu selalu berhasil sebelumnya, kini kau mendapati yang kau inginkan adalah dia?" Jaehyun melanjutkan dan benak Doyoung berputar. "Ketika kau meminta adikmu untuk mengirim pesan karena kau bukan ingin tahu apa yang sedang dia lakukan, tapi apakah dia baik-baik saja?"

Doyoung membuka mata dan menatap Jaehyun.

"Ketika kau memaki dirimu berulang kali, ketika kau berbaring pada malam hari dan mengecam satu pilihan katamu, karena ketika kau berkata 'biasa'—" Jaehyun mendengar Doyoung terkesiap, merasakannya terbakar oleh rasa malu dan ia membenci diri sendiri karena mengatakannya?"

"Kenapa kau tidak memberitahuku?"

"Aku tidak tahu." Jaehyun berbaring di sana, satu menit pun, aku mengira aku mungkin mencintai istriku." Jaehyun berpaling kepada Doyoung. "Itu bukan suatu bagian..."

"Seperti menjelaskan pelangi kepada orang buta." Doyoung melihat Jaehyun mengernyit dan ia tersenyum. "Itu pepatah. Maksudnya, bagaimana kau bisa menjelaskan sesuatu yang tidak dimengerti orang lain."

Jaehyun melihat ke masa lalunya, kehidupannya yang kaya dan istimewa, dan kini setelah cinta itu berbaring di sampingnya, hidup dalam dirinya, ia mengerti kata-kata Doyoung. "Karena semua perkataan orangtuaku tentang keluargamu, karena semua hal yang telah kukatakan," Jaehyun mengakui, "ada begitu banyak cinta di sana. Dan aku mencintaimu," kata Jaehyun. "Aku memang mencintaimu."

"Kapan..." Kali ini giliran Doyoung.

"Kira-kira pukul delapan lewat dua menit," Jaehyun mengakui. "Ketika aku mengucapkan sumpahku, aku bersungguh-sungguh."

Dan Jaehyun mencium Doyoung, karena ia tidak bisa tidak menciumnya. Ciuman yang berbeda dari yang pernah ia lakukan, karena ciuman-ciuman itu selalu menjadi pendahuluan, tapi hari ini tidak. Jaehyun mencium Doyoung, merasakannya, dan mencintai wanita itu dengan bibirnya. Dan karena ia mencintainya dalam benaknya, karena ada masa yang panjang di hadapan mereka, karena ia ingin melakukan ini dengan benar, Jaehyun menjauh.

"Tidurlah."

"Bagaimana aku bisa tidur sekarang?"

"Kau sedang letih," kata Jaehyun.

"Tidak lagi."

"Doyoung." Jaehyun-lah yang menjauh, karena tubuhnya sangat bergairah dengan wanita itu di sampingnya, sangat menginginkannya, tapi ia bertekad dan dibebani tanggung jawab. Satu jam sudah berlalu dan waktu yang mereka miliki paling banyak hanya satu jam. Hubungan mereka sebelum ini sangat jauh dari kata sempurna bagi wanita itu, karena tangannya, mulutnya yang kasar, dan Jaehyun setidaknya ingin melakukan ini dengan benar.

"Beristirahatlah sekarang," katanya, "lalu malam ini..." Ia nyaris tidak bisa menunggu, tapi untuk Doyoung ia akan menunggu. "Aku ingin menidurimu dengan sepantasnya." Dan terkadang otak dan lidahnya bergerak lebih cepat daripada yang diterjemahkan mulutnya, namun jika ucapan itu kasar dan tidak seperti apa yang ia maksud, tawa Doyoung menujukkan bahwa wanita itu tidak tersinggung.

"Kau akan meniduriku dengan sepantasnya, ya?"

"Ya." Jaehyun memyeringai. "Sekarang istirahatlah. Atau..." Ia tidak sabar untuk memberitahu Doyoung. "Sebenarnya aku akan memberimu ini nanti malam." Jaehyun meraih ke nakas.

"Aku tidak membutuhkan hadiah..." Memang, terutama ketika Jaehyun membuka laci dan mengeluarkan kotak beledu. Doyoung memang mencintai pria itu, sangat bahagia dan sulit untuk percaya bahwa Jaehyun juga mencintainya, tapi ia sudah menerima begitu banyak perhiasan hari ini. Sungguh, perhiasan yang paling ia cinta dan akan selalu ia cintai adalah zamrud yang dibelikan Jaehyun pada hari mereka bertemu.

Playing The Royal Game (JaeDo)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang