10 B

1.4K 235 20
                                    

"Aku pasti sedang bekerja," potong Jaehyun.

"Dia juga menanyakan Anda, Yang Mulia."

"Oh."

"Anda berkata bahwa Anda mungkin juga mengunjungi London..." Doyoung mencoba mengingat-ingat percakapannya dengan Ratu Leeteuk malam sebelumnya.

"Hanya kunjungan singkat." Leeteuk tersenyum kaku. "Formal."

"Kau bisa mampir untuk minum teh!" Raja menganggap hal ini sangat lucu dan Doyoung tidak tahan lagi. Ia benci mereka semua.

"Permisi." Ia meletakkan serbet. "Aku harus bersiap-siap untuk bicara dengan desainer berikut." Ia menoleh kepada Jaehyun. "Bisakah aku bicara sebentar?" Doyoung sudah nyaris menangis. "Aku ingin meminta pendapatmu tentang sesuatu."

Doyoung menunggu sampai mereka sudah di kamar tidur dan jauh dari pendengaran untuk melanjutkan percakapan yang ia tinggalkan.

"Karena maaf saja jika aku punya pendapat sendiri!"

"Doyoung." Jaehyun sangat jenuh dengannya. "Aku tidak punya waktu untuk ini. Apa yang ingin kau bicarakan denganku?"

"Kenapa mereka sangat kasar? Apakah yang lucu jika ayahku mengundang mereka sehingga membuat ayahmu begitu kasar?"

Jaehyun hanya mengangkat bahu, dan Doyoung beralih ke hal lain yang menyiksanya, hal lain yang harus ia ketahui. "Kau akan keluar dengan Tiffany eonnie besok malam." Jaehyun bahkan memutar matanya. "Dan jangan coba-coba mengatakan itu urusan bisnis."

"Aku sudah memberitahuku, sudah memberitahu orangtuaku, dan aku muak mengatakannya, aku bukan menjalankan toko kelontong, aku bukan mencari uang dari tayangan TV. Aku memperkerjakan lebih dari dua ratus orang dan jika aku tidak mengalihkan bisnisku dengan benar maka akan ada dua ratus orang yang bisa kehilangan pekerjaan. Dan ya, Tiffany noona akan ikut denganku untuk makan malam, karena ini makan malam bisnis, karena Tuan Hyunjoong juga akan membawa asistennya."

"Jadi, kau tidak pernah tidur dengannya." Doyoung tahu Jaehyun pernah tidur dengan Tiffany, ia tahu, seperti halnya seorang wanita bisa tahu, melihat cara Tiffany mmenatapnya tawa kecil yang terdengar pada percakapan lewat Skype, ia tahu wanita itu lebih dari sekedar Asisten Pribadi. "Kau benar-benar mengharapkan aku percaya-"

"Tentu saja aku pernah tidur dengannya." Jaehyun tidak melihat apa masalahnya. "Tapi aku tidak pernah melakukannya sejak pertunangan kita, Aku harus mempertahankan sandiwara kecil sebagai pasangan yang berbahagia." Jaehyun tidak melakukan apa pun untuk menenteramkan Doyoung, menenangkannya. "Sekarang permisi, aku akan pergi ke kantor. Kau teruskan saja membicarakan urusan pernikahan..."

"Brengsek kau!"

"Oh, tapi kau tidak mau melakukannya!" ujar Jaehyun. "Persetan..." ia mengumpat. "Satu-satunya hiburan yang bisa kita lakukan selama siksaan ini, satu-satunya kesenangan yang bisa kita bagi, dan kau menutup diri." Jaehyun melihat bibir Doyoung terkatup rapat dan dua rona merah membakar pipi wanita itu. Kemudian Doyoung pergi sambil terisak.

Jaehyun memanggil pelayan, memintanya membawakan gelas dan air, tapi antacid (obat untuk sakit maag) tidak lagi bekerja. Rasa bersalah terus-menerus membakarnya, dan meski Jaehyun tidak pernah mengejar wanita setelah mereka lari, kali ini ia melakukannya, karena ia tidak bangga dengan ucapannya dan ingin meminta maaf untuk itu.


Wanita itu tidak ada di tempat tidur merek, juga di menara kecil, Jaehyun juga tidak menemukannya di dapur, tempat ia menemukan Doyoung setelah pertengkaran terakhir mereka. Tapi akhirnya ia menemukan wanita itu di kandang kuda yang di luar, masih mendidih oleh kemarahan, sedang meletakkan pelana ke atas kuda yang sangat temperamental.

"Apa yang kau lakukan?"

Doyoung tidak merasa perlu menjawab.

"Dia tidak cocok untuk ditunggangi..."

"Kau menungganginya," tukas Doyoung.

"Aku tahu caranya!"

Jaehyun menyuruh bocah pengurus kuda yang tampak cemas itu pergi dengan gerakan tangannya.

"Dia sudah memperingatkanku," kata Doyoung, "jadi jangan memarahinya nanti.

"Kau tidak bisa menungganginya."

"Tapi aku mau," kata Doyoung. "Lagi pula, sepertinya aku membutuhkan latihan ini."

Doyoung menaiki kuda itu dan merasakan kekuatan di bawahnya, dan meski keberaniannya berkurang, ia menolak menunjukkannya.

"Doyoung, kau bertingkah konyol, ini bisa berbahaya."

"Aku pernah belajar berkuda," ujarnya dari balik bahu saat berderap melintasi lapangan. "Ayahku-"

"Ini bukan kuda penurut dari kelab berkuda lokal tempatmu bergabung agar ayahmu bisa menggoda para ibu..."

Jaehyun menjijikkan, begitu menjijikkan sehingga Doyoung melaju, hanya mencoba berkonsentrasi agar tetap di atas, karena yang ia tunggangi adalah monster yang sangat kuat. Jaehyun benar, ini bukan kuda poni kecil yang ia tunggangi mengelilingi lintasan. Doyoung tidak bisa melihat karena air matanya, tidak bisa berpikir karena kemarahannya, ia hanya ingin melaju dan menjaga jarak. Dan ia ingin Jaehyun mengejarnya, ia mengakui sambil terisak; ingin pria itu bersamanya dalam semua ini, menjadi pria seperti penilaiannya dulu.

Mendadak pijakan Doyoung terlepas; ia melayang di udara dan menghantam rumput. Pendaratannya sebetulnya tidak terlalu mmenyakitkan karena ia sudah mmenderita tapi Doyoung merasakan benturan di kepalanya. Ia lega bisa menangis berbaring di rumput saat Jaehyun berlari menghampirinya, tidak perlu menyembunyikan tangisnya.

"Tetap berbaring." Jaehyun luar biasa tenang. "Di mana yang sakit?"

"Aku tidak tahu."

"Apakah kepalaku terbentur?" Jemari Jaehyun memeriksanya; ada benjolan besar yang mengkhawatirkan di kening Doyoung dan jarinya menelusuri tubuh Doyoung, bergerak pelan saat memeriksa jika ada luka. Jaehyun mengira gadis itu akan meringis atau berteriak kesakitan, tapi dia hanya berbaring di sana dan menangis.

"Sepertinya tidak ada yang patah." Doyoung mendongak menatapnya dan mungkin Jaehyun memang ketakutan, karena pria itu berkeringat. Atau mungkin itu lebih disebabkan berkuda dengan terburu-buru untuk menghampiri korbannya. "Tapi ada benjolan parah di kepalamu."

"Maaf..." Doyoung mendongak tapi ia melihat pria itu ada tiga, semuanya berputar-putar. Ia hanya menimbulkan masalah, Doyoung tahu itu, Jaehyun sama terjebaknya dengan dirinya.

"Kau tidak perlu minta maaf."

Oh, tapi ia harus melakukannya. Doyoung berpaling dan muntah di rerumputan, lebih merasa malu daripada yang pernah ia alami seumur hidup karena terlihat seperti ini. "Seharusnya aku mematahkan leherku, maka kau akan menjadi duda yang malang."

"Doyoung..."

"Maka kau tidak perlu menikah. Kau bisa terus tidur dengan semua orang dan bersikap buruk sesukamu lalu mereka akan berkata, 'Yoonoh yang malang, siapa yang akan menyalahkannya?' "

"Doyoung." Jaehyun amat sangat tenang dan Doyoung tahu ia sedang merancau. "Kepalamu terluka."

"Gara-gara kau." Pandangannya kabur saat mencoba menatap Jaehyun. "Kau membiarkanku menungganginya begitu saja." Itu ucapan paling bodoh tapi Doyoung sudah tidak peduli, ia berbaring di rumput, ucapannya melantur. "Aku bisa saja berkilo-kilo jauhnya..."

"Jika aku mengejarmu dia akan semakin melaju, mengira ini perlombaan." Doyoung sama sekali tidak tahu ketakutan yang mencengkeram Jaehyun saat ia melesat, hanya berdiri dan menyaksikan tanpa daya saat wanita itu melompat ke atas kuda yang paling temperamen. Jaehyun datang untuk meminta maaf tapi sebaliknya ia tidak punya pilihan selain berdiri dan menyaksikan apa yang tidak terelakkan, melihat Doyoung terjatuh. "Perutmu..." Jaehyun belum memeriksanya, ia bukan dokter, tapi memikirkan kaki itu menendang Doyoung membuatnya mual. Ia hanya samar-samar menyadari apa yang sedang berlangsung di belakangnya dan ia meneriakkan perintah-perintah, meminta dokter untuk menemui mereka di istana kemudian berpaling dan berkata lembut kepada wanita itu. "Ayo kita kembali ke rumah."

TBC

Playing The Royal Game (JaeDo)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang