17 A

1.6K 213 9
                                    

"KAU tidak punya rokok?" Jaehyun melihat Mark mengernyit. "Hanya bergurau," kata Jaehyun, tapi ada kegelisahan yang menggerogotinya saat menunggu mobil yang akan membawa mereka ke gereja.

"Khawatir dia tidak akan muncul?" ledek adiknya.

"Tidak," saut Jaehyun, karena bukan itu yang membuatnya khawatir. Ada kegelisahan yang melandanya akhir-akhir ini, rasa sakit di perutnya yang membuatnya menelan antacid lalu menunggu perasaan itu lenyap-tapi tidak berhasil.

"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Jaehyun, jengkel melihat adiknya memencet-mencet telepon.

"Hanya memastikan keadaaan Haechan," sahut Mark. "Dia akan gugup untuk bernyanyi pada resepsimu malam itu." Mark mendongak. "Maaf. Aku seharusnya mengurus pengantin pria. Kupikir kau tidak keberatan, kau sama sekali bukan tipe orang yang gugup."

"Tanyakan kepada Haechan bagaimana keadaan Doyoung," kata Jaehyun.

"Aku hanya bergurau tentang dia mungkin tidak muncul." Mark menyeringai, tapi bukan itu yang menjadi perhatian Jaehyun saat adiknya menunggu jawaban Haechan. Namun sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak dia mengerti.

"Haechan bilang dia sudah mengucapkan selamat tinggal pada kak Doyoung..." Mark tidak melanjutkan, sebaliknya ia menyeringai mendengar apa pun yang dikatakan Haechan.

"Dia membuatmu bahagia?" tanya Jaehyun.

"Kakak sudah tahu itu."

"Aku tidak tahu," kata Jaehyun, dan selamat sedetik rasanya seakan Mark adalah pria yang lebih tua, lebih bijaksana, mengetahui sesuatu yang tidak pernah ia lihat. "Kau mencintainya?"

"Ya," sahut Mark, tidak terlalu terkejut dengan pertanyaan kakaknya, karena dalam keluarga ini, cinta tidak berkuasa.

"Bagaimana kau bisa tahu?"

"Terlepas dari fakta dia wanita pertama yang berenang di air mancurku?" Mark tersenyum simpul. "Aku belum pernah bertemu wanita seperti Haechan. Wanita itu membuatku gila. Dan ya, butuh beberapa saat untuk menyadari bahwa 'gila' sebetulnya adalah cinta." Ia menatap kakaknya. "Aku nyaris kehilangan dia, Kak. Jangan melakukan kesalahan yang sama seperti diriku."

"Aku menikahinya hari ini," jawab Jaehyun.

"Kupikir kita sedang membicarakan cinta," sahut Mark. "Dan di keluarga ini, hal tersebut adalah sesuatu yang sama sekali berbeda. Ayo," sambungnya. "Pengantin pria tidak boleh terlambat."

Jaehyun menelepon, singkat saja, mendengar kebingungan di ujung lain, tapi memilih untuk tidak memberi alasan.

"Pastikan semuanya berjalan lancar," kata Jaehyun, kemudian menutup telepon dan naik ke mobil, menatap kosong keluar jendela saat mereka berkendara menuju gereja. Ia mencoba tidak memikirkan senyum Doyoung, rasa tubuh wanita itu di tempat tidur di sampingnya, dan air mata tunangannya semalam. Mencoba tidak memikirkan kehidupan yang memerangkap wanita itu, kehidupan yang tidak dia inginkan, pernikahan tanpa cinta yang hanya dilakukan untuk rakyat.

Jalanan dipenuhi orang-orang yang melambai dan bersorak, tapi mereka tidak mengharapkannya untuk melambai ataupun tersenyum, karena Jaehyun sangat jarang melakukannya, tapi ia melihatnya-melihat wajah-wajah penuh pengharapan, melihat foto-foto Doyoung yang mereka acungkan. Mereka rakyatnya, dan enggan atau tidak, mungkin lebih cepat daripada yang ia inginkan, kini ia akan mengambil peran, dan seperti semua hal yang ia lakukan, ia akan melakukannya dengan sempurna.

Jaehyun dan pengantinnya akan membawa kehidupan di Santina.

Penantian itu seakan tidak berakhir, dan terlepas dari ucapannya yang berani kepada adiknya, Jaehyun bertanya-tanya apakah Doyoung berubah pikiran, apakah di menit-menit terakhir wanita itu akan meninggalkannya berdiri di altar. Tapi kemudian ia mendengar musik berganti, obrolan penuh semangat di gereja di belakangnya, dan kemudian suara gesekan saat tamu-tamu berdiri. Jaehyun tidak berpaling; sebaliknya, ia memandang ke depan, momen yang sangat ia takuti sepanjang hidupnya kini ada disini. Namun saat ia mendengar para tamu terdiam, perutnya yang seharusnya semakin melilit kini seakan pulih, kerinduan dan kehampaan seperti mengisinya...

Jaehyun teringat hari ia bertemu Doyoung; kesendirian yang melilit tubuhnya saat duduk di kelab yang digantikan oleh percakapan paling jujur yang pernah ia lakukan-bagaimana suatu sore bersama wanita itu telah membuat dunia seakan tepat.

Dan ia memejamkan mata karena tidak bisa memahaminya.

Kemudian ia membuka mata lagi, dan pikiran itu masih sama.

Pukul delapan lewat dua menit saat Doyoung mulai berjalan ke arahnya, Jaehyun jatuh cinta pada pengantin wanitanya.

Aku telah mencintainya sejak lama, Jaehyun tersadar saat ia menoleh untuk melihat wanita itu, menghabiskan waktu berhari-hari mencoba tidak mengakui apa yang bagi dirinya adalah mustahil.

Dan Jaehyun mengira akan melihat Doyoung yang terluka dengan tubuh gemetar dan gelisah-namun wanita itu tersenyum, sedikit pucat, memegang lengan Changmin erat-erat saat dia berjalan menuju Jaehyun. Tapi Doyoung berjalan dengan mata terbuka lebar dan kepala terangkat tinggi.

Pikiran Jaehyun pasti sedang menipunya.

Ia, seperti biasa, sangat tenang saat berhadapan dengan Doyoung, menyadari kamera-kamera yang tertuju kepadanya, menyadari dalam pernikahan seperti ini tidak boleh ada kejutan, bahwa sampai saat formalitas berakhir nanti malam, ini adalah tugasnya.

Dan setiap kamera menangkap senyuman lambatnya, melihatnya berpaling kemudian kembali lagi. Jaehyun terus menatap, rona merah menyebar dari leher hingga ke telinganya, karena tentunya semua orang bisa melihat-karena, jika ia mengerling sekilas, jika ia membuat Doyoung sedikit kehilangan fokus, saat itu hampir seperti malam pertunangan mereka. Doyoung seperti sedang berjalan menghampirinya dalam gaun tidur, renda yang membungkus tubuh menghilang ke dalam bahan sifon di bagian lengan dan pertengahan pahanya, sifon itu seperti lenyap di kaki dan lengannya. Renda itu renda Santina, dan senyuman rahasia mengembang di wajah Doyoung saat pengantin wanitanya yang modern melangkah menghampirinya. Doyoung kembali dan hati Jaehyun serasa terlilit oleh cinta dan kebanggaan saat wanita itu bergabung bersamanya dan menatapnya dari balik poni.

"Doyoung..." Jaehyun bisa merasakan kamera-kamera yang tertuju kepadanya. Ia ingin mengatakannya di sini, tapi pastor sudah mengambil alih, himne pertama sudah dinyanyikan dan waktu terus berjalan. Jaehyun tersiksa mengetahui Doyoung menikah dengannya tanpa tahu bahwa ia mencintai wanita itu.

Namun tidak menyiksa bagi Doyoung untuk berdiri di sana.

Ia menatap Jaehyun dan mengucapkan kata-katanya dengan jelas.

Ia akan mencintai Jaehyun sampai mati, katanya, karena itu memang benar, bahkan meski mereka akan berpisah.

Kemudian Doyoung menunduk, bukan karena malu, tapi karena jauh di dalam dirinya, ia tidak bisa menatap mata Jaehyun saat pria itu berbohong-dan apakah Jaehyun harus mengucapkan sumpahnya dengan begitu jelas, apakah dia tidak perlu bimbang dan terdengar begitu meyakinkan? Doyoung merasakan pegangan tangan pria itu mengencang dan ia mendoangak, melihat mata Jaehyun yang tajam; Jaehyun aktor yang hebat, karena hanya Doyoung satu-satunya orang di ruangan itu yang tahu sebenarnya.

Tidak ada waktu untuk bicara, karena segala sesuatunya telah diatur. Foto-foto di tangga gereja dan satu momen kecil yang tidak direncanakan ketika Doyoung melangkah menuju keramaian, melempar buket bunganya kepada orang-orang, mengembalikan bunga yang telah mereka berikan untuknya-bunga kecil yang ia bawa pulang setelah berjalan-jalan di kota, kelopak bunga kecil yang telah mencerahkan begitu banyak harinya yang sepi.

TBC

Playing The Royal Game (JaeDo)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang