1 A

13.3K 706 10
                                    

LEBIH baik aku tidak punya pekerjaan, kata Doyoung kepada diri sendiri.

Tak seorang pun yang patut mengalami itu.

Namun saat ia berjalan kehujanan di bawah langit London yang kelabu, mengambil jalan bawah tanah menuju beberapa agen perekrutan karyawan, kemarahan yang diakibatkan bosnya terang-terangan merayunya lalu memecatnya karena tidak menyerah mulai berganti dengan ketakutan.

Ia membutuhkan pekerjaan itu.

Sangat membutuhkannya.

Tabungannya telah terkuras habis oleh pengeluaran keluarganya yang sangat besar. Seringkali Doyoung merasa gajinya yang kecil di perusahaan penerbitan seakan menopang separuh keluarga Kim. Ya, ia memang anak membosankan yang bisa diandalkan di keluarga, tapi mereka sepertinya tidak keberatan bergantung kepadanya jika hidup yang ceroboh membuat mereka masalah. Baru minggu lalu ia meminjamkan uang kepada ibu tirinya, Seulgi, hampir lima ribu pound tunai untuk utang kartu kredit yang tidak diketahui ayahnya. Sungguh menggelikan berpikir bahwa mungkin kini keluarganya yang harus membantunya.

Hari itu hari yang suram, tanpa ada tanda-tanda bahwa saat itu adalah musim semi; sebaliknya udara terasa dingin dan basah. Doyoung menjejalkan tangan semakin dalam ke saku mantelnya, jemarinya mencengkeram selembar lima puluh pound yang ia tarik dari mesin ATM. Jika bosnya menolak membayarnya besok, hanya itulah yang ia miliki sampai ia benar-benar.

Tidak!

Aku pernah mengalami yang lebih buruk daripada ini, pikiran. Sebagai putri Kim Changmin ia sudah sangat terbiasa berurusan dengan petugas pengadilan, tapi ayahnya selalu berhasil bangkit; tidak pernah membiarkan hal tersebut menyurutkannya. Doyoung tidak akan terpuruk, persetan, jika ia memang terpuruk, maka ia akan melakukannya dengan mengagumkan!

Sambil mendorong pintu bar, Doyoung melangkah masuk dengan kepala terangkat tinggi. Kehangatan menyambutnya sewaktu masuk, dan ia melepas mantel kemudian menggantungnya, rambutnya yang basah dan dingin menetes-neteskan air di punggung. Biasanya ia tidak akan menghibur diri dengan memasuki sembarang bar, tapi tetap saja, setidaknya bar itu hangat dan ia bisa duduk untuk berpikir.

Doyoung merasa percaya diri ketika keluar dari kantornya dengan bermartabat. Dengan pengalaman kerjanya, ada banyak agen yang menelepon selama beberapa tahun terakhir dan menawarkan pekerjaan lepas.

Betapa terkejutnya ia ketika mengetahui agen-agen itu tidak sedang ingin memperkerjakan siapa pun, karena krisis finansial dan perubahan dalam industri mengakibatkan tidak ada pekerjaan yang menunggunya.

Tak satu pun.

Jadi, ada beberapa peluang, tapi kalau dihitung-hitung hanya sekitar tiga jam per bulan.

Per bulan!

Doyoung baru hendak menuju bar tapi setelah memandang sekeliling, tempat itu memiliki meja-meja untuk melayani tamu, jadi ia menuju salah satu sudut kecil lalu duduk di sofa empuk. Terlepas dari tampilannya yang suram dari jalanan, bagian dalam bar itu ternyata sangat bagus dan harga-harga yang ada di menu menegaskan fakta itu.

Ia mendongak ketika mendengar suara tawa, sekelompok wanita berpakaian indah sedang menyeruput koktail. Mau tak mau Doyoung merasa iri melihat keceriaan mereka. Sewaktu matanya bergeser dari para wanita yang sedang bergembira itu, Doyoung terpaku sejenak. Di sana, di meja di dekat mereka, tampak sibuk dalam dunianya sendiri, duduklah pria paling tampan yang pernah ia lihat. Pria itu berpakaian serba hitam, rambut cokelat tebalnya dan memperlihatkan wajah sempurna, kakinya yang panjang terjulur dan pergelangannya bersilang. Meskipun posisi duduknya terlihat santai, sewaktu pria itu menatap ke dalam gelasnya, dia tampak termenung, kerutan di antara alisnya menunjukkan dia sedang berpikir keras. Kerutan itu semakin dalam ketika suara tawa kembali meledak dari meja para wanita. Tepat ketika pria itu mendongak dan menangkap tatapannya, Doyoung sangat bersyukur karena teralihkan oleh pelayan yang mendekatinya.

"Apa yang bisa saya bawakan untuk Anda?" Doyoung hampir saja memesan segelas anggur lokal, atau mungkin meminta apakah mereka bisa membawakannya setekoh teh dan sepotong sandwich, karena ia benar-benar harus mencoba beberapa agen perekrutan lain, tapi persetan, ada batasan penolakan yang bisa diterima seorang gadis dalam satu hari dan ia mungkin akan hidup dengan teh serta sandwich untuk waktu yang lama!

"Sebotol Bollinger, tolong." Itu pesanan yang sangat mahal bagi Doyoung, dan juga tidak biasa. Ia sangat berhati-hati menggunakan penghasilannya.

Si pelayan tidak bereaksi; sebaliknya dia bertanya untuk berapa gelas.

"Hanya satu."

Ia juga diberi semangkuk kacang!

"Sedang merayakan sesuatu?" tanya si pelayan sewaktu menuangkan minumannya.

"Semacam itu," Doyoung mengakui, kemudian setelah ditinggal sendiri ia memutuskan bahwa ia memang sedang merayakan. Merayakan bulan demi bulan di mana ia harus menerima lirikan-lirikan terselubung bosnya dan komentar-komentar menjijikkan. Sangat sepadan untuk merayakan berakhirnya semua itu, sehingga Doyoung mengangkat gelas ke jendela, ke arah tempat kerjanya dulu.

"Bersulang!"

Ketika berpaling Doyoung mendapati si Pria Tampan sedang mengamatinya, tidak menatap, hanya sedikit penasaran, dan ia tidak menyalahkan pria itu. Lagi pula, ia baru saja bersulang ke jendela. Doyoung tersenyum simpul kepada pria itu kemudian kembali berpikir, mengeluarkan bolpoin dan buku catatan serta nomor-nomor telepon yang selalu ia bawa hingga membentuk daftar panjang. Ia bertekad, bertekad, bahwa pada akhir minggu ia akan kembali bekerja.

Setelah minum hampir separuh botol, Doyoung tidak lagi merasa berani. Bahkan, setengah botol sampanye dan perut kosong membuat emosinya menggelegar. Ia hampir menangis, terutama ketika si pelayan menghampirinya.

"Anda belum tanda tangan sewaktu masuk," ujar si pelayan, dan bahkan sebelum dia melanjutkan Doyoung tahu apa yang akan terjadi dan dalam hati meringis ketika tersadar. "Anda anggota, bukan?" Doyoung merasa rona merah menjalar di pipinya. Tentu saja tempat yang ia masuki itu kelab pribadi, bukan sembarang bar yang bisa ia masuki begitu saja. Tepat sewaktu ia ingin meminta maaf dan mengeluarkan lima puluh pound-nya lalu pergi, suara yang sama menyenangkannya dengan tampang si pemilik suara menyelamatkan Doyoung dari rasa malu.

"Kenapa kau bersembunyi di sini?" Sebuah suara dalam dan hangat membuat Doyoung dan si pelayan menoleh. Ia mendapati diri menatap mata orang asing yang tadi termenung dan tetap tenang ketika Doyoung mengerjap bingung. Pria itu berpaling dan menyapa si pelayan. "Maaf, dia tamuku. Aku akan mendaftarkan sebentar lagi." Si pelayan membuat mulut untuk mengucapkan sesuatu, lagi pula, Doyoung sudah duduk di sana sendirian kira-kira setengah jam dan pria itu sama sekali tidak berusaha bergabung bersama tamunya, tapi mungkin dia pelanggan favorit, atau mungkin karena pembawaannya yang mengesankan, karena si pelayan meninggalkan mereka tanpa berkomentar.

"Terimakasih," ujar Doyoung sewaktu pria itu mengambil tempat duduk di hadapannya. "Tapi tidak. Aku akan membayar tagihanku..." Doyoung hendak beranjak pergi, tapi ketika pria itu bergerak untuk menghentikannya, dengan tangan terulur di meja, Doyoung melemparkan tatapan yang memberitahu pria itu bahwa sentuhan yang tidak diinginkan adalah perbuatan yang sangat bodoh. Dengan segala yang telah ia alami hari ini, Doyoung memiliki energi tertahan untuk melampiaskan kemarahannya pada orang asing ini.

TBC

Playing The Royal Game (JaeDo)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang