6 A

1.7K 279 11
                                    

"AKU minta sarapan diantar jam tujuh." Jaehyun duduk di tempat tidur dan mengangkat sebelah lutut untuk menyembunyikan apa yang sudah jelas saat Doyoung berbaring di sana dengan mata terpejam. Doyoung berharap dirinya sedang tidur, berharap seperti halnya Jaehyun bahwa sarapan dibawakan tepat waktu, bahkan satu jam terakhir tidak terjadi. Ia mendengar suara kasar pria itu, dan tahu itu tidak ada hubungannya dengan sarapan yang terlambat.

"Saya minta maaf, Pangeran Yoonoh. Ratu berkata-"

"Ratu sudah berhenti mengaturku sejak aku makan sendiri bertahun-tahun yang lalu," bentak Jaehyun.

"Tentu, Yang Mulia." Pelayanannya membungkuk. "Apakah ada yang lain?"

"Tidak ada," bentak Jaehyun. "Aku tidak mau diganggu."

Ia nyaris tidak menunggu sampai pintu tertutup, terlalu terbiasa dengan pelayan, terlalu siap untuk bertengkar, untuk mencoba bersabar.

"Waktu yang sangat buruk, Doyoung."

"Kurasa kita tidak sedang membicarakan tentang pintu?" Jaehyun bahkan tidak bergurau sedikit pun. "Dengar..."

"Tahukah kau betapa...?" Jaehyun sangat sulit menahan diri agar tidak berteriak. "Terkadang sangat terlambat untuk mengubah pikiranmu."

"Aku tahu itu."

"Beberapa pria..."

"Aku tahu!" Suara Doyoung melengking, pipinya seolah terbakar. Ia hanya tidak bisa memberitahu Jaehyun yang sebenarnya, bahwa pria itu akan mengetahui ia masih perawan, bahwa tidak pernah ada pria lain, dan meskipun Doyoung sangat menginginkannya, ia takut mungkin akan terasa sakit. Doyoung membenamkan wajah di tangan sesaat; ia mengerti jika Jaehyun marah, karena ia juga marah dengan dirinya sendiri. Ia orang terakhir yang bisa memperdaya seorang pria; namun saat bersama Jaehyun begitu mudahnya ia terhanyut dan mengikuti, terus terhanyut sampai tersesat sepenuhnya, membalas ciuman-ciuman, mendengarkan tubuhnya dan bukan pikirannya. Tidak, Doyoung tidak bisa menimpakan semua kepada Jaehyun, tidak bisa memberitahu pria itu bahwa dia satu-satunya pria yang membuatnya terbakar, pria yang kini akan tinggal selamanya dalam mimpinya. Sebaliknya Doyoung mengatakan alasan yang lebih masuk akal, karena sekarang sangat jelas, meski saat itu tidak. Bahkan, pikiran itu tidak ada dalam benaknya pada saat itu, tapi ia mengatakannya kini seakan-akan telah memikirkannya.

"Kita tidak memakai pelindung."

Jaehyun memejamkan mata selama sesaat dan menarik napas dalam-dalam.

"Mungkin akan mempersulit segalanya, Pangeran Yoonoh kecil, anak..." Doyoung malu dengan subjek yang terburu-buru ia pilih.

"Kau tidak memakai pil?"

"Tidak, aku tidak memakai pil. Aku tidak berkencan dengan siapa pun, dan aku jelas tidak akan minum pil hanya untuk berjaga-jaga..." Doyoung menoleh. "Pernahkah kau mendengar seorang pangeran yang masuk ke dalam bar...?"

"Ha ha!" Jaehyun tidak suka dengan gurauannya.

"Lagi pula-" potong Doyoung tajam, jauh lebih aman jika memegang kendali "- bukan hanya karena kehamilan."

"Aku tidak perlu ceramah tentang seks yang aman," desis Jaehyun.

"Sebetulnya, Jaehyun, kurasa kau perlu." Menyenangkan sekali menjadi si penceramah, pikir Doyoung, mengingat betapa malunya dirinya tadi dan sekarang malah bersikap sok bermartabat. Tapi sorot mata Jaehyun yang tajam seakan menghempaskan tubuhnya, membawanya kembali ke tempat tidur dengan tatapan pria itu yang berkilat-kilat; Doyoung bisa melihat kecemasan di masa Jaehyun, sedikit bersalah bisa memancing respon seperti itu.

"Aku minta maaf..." Jaehyun mengumpat pelan, tangannya menyusuri rambut dengan kasar. Ia bergeser ke samping dan duduk di tepi tempat tidur, dengan kepala di tangan. "Aku selalu berhati-hati, tanpa kecuali. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan."

Playing The Royal Game (JaeDo)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang