"Seperti yang sudah kukatakan, terimakasih, tapi kau tidak perlu melakukannya."
"Setidaknya habiskanlah minumanmu," kata si orang asing. "Sayang sekali jika menyia-nyiakannya."
Sangat disayangkan sebetulnya.
Mungkin aku bisa membawanya, Doyoung berpikir liar, membayangkan dirinya melangkah di jalanan dengan setengah botol minuman di tangan, meratapi situasinya. Ia tersenyum ketika membayangkannya, bukan tersenyum kepada pria itu, tentu, namun pria itu beranggapan demikian, karena dia kemudian menjentikkan jari ke arah bar dan meminta satu gelas lagi. Doyoung duduk marah ketika si pelayan menuangkan pria itu segelas sampanye miliknya.
"Aku hanya ingin menikmati minumanku dengan tenang," katanya tanpa basa-basi.
"Kalau begitu mendaftarlah," usul pria itu.
"Ha ha!"
"Atau," tawar pria itu, "kau bisa menjadi tamuku, yang berarti kau duduk denganku. Aku tidak akan melakukannya dalam keadaan lain." Doyoung bertekad tidak tinggal cukup lama.
"Lagi pula," sambutan pria itu meskipun Doyoung tidak menjawab, "kau tidak tampak sedang menikmatinya. Bahkan, selain saat bersulang ke jendela, kau tampak sama merananya denganku." Doyoung mengamatinya dan melihat bahwa setelan mewah yang dikenakan pria itu bukan sekadar berwarna gelap, tapi warnanya hitam, begitu juga dasinya. Bukan hanya pakaiannya, tapi dari warnanya yang murung, jelas sekali dia baru saja dari pemakaman. Kini setelah pria itu berada di dekatnya, Doyoung bisa mencium aromanya, dan pria itu tidak beraroma seperti pria-pria di bar. Bukan hanya wangi nikmat yang membuatnya tidak biasa; aromanya juga sangat bersih, tidak ada kata lain untuk menjelaskannya. Mata jernih dan anehnya Doyoung merasa lebih santai, karena tentunya pria ini bukanlah pria yang biasa menuntut perhatian, dan ia sendiri toh tidak sedang terburu-buru untuk pergi ke suatu tempat.
"Apakah kau terbiasa memaksa seperti ini?"
Pria itu berpikir sejenak. "Tidak." Dia minum sedikit dan sepertinya memikirkannya lagi. "Tidak pernah. Aku hanya melihat kau tampak begitu muak kemudian ketika pelayan datang dan kupikir..."
"Kau akan menghiburku?"
"Tidak." Pria itu mengangkat bahu. "Ku pikir kita bisa merana bersama. Jangan melihat, tapi ada sekelompok wanita..." Dia memberi isyarat dengan kepala dan sesuai permintaannya Doyoung tidak melihat tapi ia tahu siapa yang dimaksud pria itu. Ia mendengar tawa genit mereka, dan dengan mudah menebak tawa itu ditujukan kepada pria itu. "Salah satu dari mereka sepertinya bertekad bergabung bersamaku."
"Kurasa kau tidak akan mendapatkan kesulitan menolak perhatian yang tidak diinginkan." Tidak seperti aku, Doyoung menambahkan, tapi ia memang tidak terbiasa dengan pria yang berusaha menarik perhatian, jadi, mungkin bukan pria-pria tampan. Namun mengetahui cara untuk menghindari perhatian yang tidak diinginkan tentunya suatu keharusan bagi pria itu jika berada di jalanan, karena ke mana pun dia pergi, jelas sekali dia membuat banyak kepala menoleh.
"Biasanya, aku tidak akan kesulitan." Pria itu tidak mengatakannya dengan sombong, hanya menjelaskan fakta. "Hanya hari ini." Doyoung memperhatikan setelannya. "Aku hanya ingin minum, berpikir, mendapatkan ketenangan, mungkin sama seperti kau..." Dan karena Doyoung juga memilih untuk mendapatkan ketenangan, ia juga akan diam.
"Oke." Doyoung tersenyum masam. "Aku bisa diam."
Pria itu pasti seseorang yang penting, karena Doyoung hanya diberi semangkuk kecil kacang, tapi kini setelah pria itu bergabung bersamanya, ia dimanjakan oleh banyak mangkuk kecil dengan aneka macam isi. Doyoung tidak peduli jika ia terlihat rakus; gemuruh dalam perutnya mengingatkannya bahwa ia belum makan apa-apa selain seisi roti panggang kecil yang ia makan dengan terburu-buru menuju kereta bawah tanah kira-kira tujuh jam yang lalu.
"Sebaiknya aku mendaftarkanmu," ujar pria itu. "Aku terkejut kau mendapatkan meja. Biasanya mereka sangat..." Pria itu tidak menyelesaikan kalimatnya, tapi ucapan yang menyiratkan bahwa ia tidak pantas berada di sini membuat Doyoung merah padam sampai ke ubun-ubun.
"Selektif!" Doyoung menyelesaikan kalimat pria itu, dan sekali lagi meraih tas. Ia tidak membutuhkan bantuan pria itu dan jelas tidak membutuhkan hinaannya. Hari ini terbukti bukanlah hari yang terbaik.
"Teliti." Pria itu tersenyum melihat kemarahan Doyoung, senyum menawan yang cocok untuknya, senyuman pertama yang Doyoung lihat darinya, dan senyuman itu mengubahnya, mengubah wajah angkuh serta tertutup itu dengan cara yang ia sukai. Hanya senyum kecil, bukan senyum lebar, entah bagaimana Doyoung tahu pria itu jarang memperlihatkannya. Tentu saja, pikirnya, karena dampaknya sangat menaklukkan. Membangkitkan kesadaran, sehingga mendengar entah bagaimana terasa sangat sulit, karena perkataan yang menyinggung Doyoung beberapa detik yang lalu kini tidak lagi penting saat pria itu berbicara. Doyoung harus mengingatkan diri bahwa beberapa detik yang lalu ia merasa jengkel, memaksa dirinya agar tidak duduk di sini seperti orang idiot dan balas tersenyum. "Maksudku mereka biasanya sangat teliti."
"Kalau begitu kau dimaafkan." Dan terlepas dari usaha kerasnya, Doyoung menyadari dirinya balas tersenyum.
"Siapa namamu?"
"Doyoung," sahutnya. "Kim Doyoung."
"Aku Yoon..." pria itu ragu sejenak. "Jaehyun."
Dan Doyoung menyaksikan pria itu beranjak pergi, mengembuskan napas lega, karena jika ia menyebutkan namanya, biasanya orang akan mengeryit atau mengenali namanya. Keluarganya sering menjadi bahan pemberitaan mengejutkan, dan meskipun Doyoung secara keseluruhan terbebas dari skandal dan gosip yang mereka timbulkan, marga Kim biasanya akan mengarah kepada... "Apakah Anda putri Kim Changmin?"
Jaehyun menuju buku tamu dan menandatangani nama gadis itu pada kolom tamu. Ia hampir saja memberitahukan nama aslinya. Sebenarnya itu bukan rahasia, tapi biasanya, terutama di London, ia akan memperkenalkan diri sebagai Jung Jaehyun, pengusaha sukses, bukan His Royal Highness Pangeran Jung Yoonoh. Jaehyun menduga kesalahan itu karena ia sedang duduk di sini memikirkan Santina, memikirkan pembicaraan penuh amarah dengan ayahnya belum lama ini. Ia menyadari dirinya juga merasa lelah, dan itu tidak biasanya, karena kelelahan adalah hal yang jarang ia alami. Tapi akhir-akhir ini Jaehyun merasakannya, dan hari ini, sewaktu berdiri di gereja, rasa lelah melandanya dan benar-benar menguras tenaganya. Jaehyun tidak menyadari bahwa ia sedang sedih; pemakaman tidak membuatnya sedih dan ia telah menghadiri banyak oemakaman. Lagi pula ia nyaris tidak mengenal tuan Shindong.
Jaehyun mendaftarkan Doyoung kemudian berjalan kembali ke arah wanita itu. Tadi ia melihat Doyoung datang dan bisa memahami kesalahan si pelayan, sering kali pintu terbuka dan sebelum ditanyai tentang keanggotaan orang-orang akan mundur, menyadari kesalahan mereka. Tapi wanita itu, atau Doyoung, setelah memandang sekeliling sejenak, langsung melepaskan mantel kemudian menggantungnya. Dia tampak percaya diri, dengan pembawaan yang santai terhadap keadaan di sekelilingnya sehingga Jaehyun tahu si pelayan berasumsi dia anggota.
Jaehyun duduk, kemudian ia berubah pikiran dan berdiri untuk melepas jasnya. Si pelayan nyaris tersandung saat bergerak untuk mengambilnya.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Playing The Royal Game (JaeDo)
AcakDapatkan Doyoung mempertahankan jati diri dalam perannya sebagai tunangan pangeran dengan segala istana yang mengekang? Dan sanggupkah Jaehyun menahan desakan yang bergejolak di antara mereka mengingat pertunangan ini hanya sementara? [Remake dari n...