"Apa maksudmu dengan itu?"
"Kau merencanakannya."
Jaehyun tidak akan bertengkar di sini, jadi ia membuka pintu, pintu apa saja, dan bergegas menyeret wanita itu masuk, tapi ia disambut oleh sepasang, well, lengan dan kaki milik sepasang manusia, dan keduanya terlalu asyik untuk memperhatikan bahwa mereka telah diganggu.
"Astaga!" Jaehyun menutup pintu dan berdiri di koridor; istana telah berubah menjadi kelab malam murahan. Ketika ia menoleh dan berharap akan melihat wajah ketakutan Doyoung, wanita itu hanya memutar mata sambil tertawa sinis dan Jaehyun sama sekali tidak senang.
"Menurutmu itu lucu?"
"Setidaknya mereka menikmatinya."
"Apakah itu tidak membuatmu jijik?"
"Menurutku itu indah." Sebetulnya tidak, Doyoung hanya ingin membuat Jaehyun syok pada saat ini, menginginkan sedikit reaksi. "Setidaknya mereka tahu bagaimana cara bersenang-senang."
Jaehyun menolak untuk terpancing. Sebaliknya, karena koridor itu kosong, ia meminta penjelasan tentang pernyataan yang membuatnya marah itu. "Apa maksudmu aku merencanakannya?" Ia tidak percaya dengan apa yang ia dengar. "Akan kupastikan ketua panitia pesta dipecat besok pagi! Tidak ada yang merencanakan ini!"
"Kau memastikan ada fotografer..." Doyoung menjelaskan.
"Untuk menunjukkan bahwa kita saling mencintai." Meskipun jawabannya kasar, Jaehyun berhenti, lalu menggeleng, karena ia tidak akan terpancing.
"Rencanamu adalah untuk mempermalukan keluargaku... memastikan bahwa besok tidak ada keraguan bahwa aku tidak pantas."
"Keluargamu sendiri yang menyebabkan semua itu," ujar Jaehyun, tapi perasaan bersalah itu melilitnya. "Ayo." Ia meraih tangan Doyoung untuk menuntunnya, tapi wanita itu tidak mau menyudahi percakapan. Di ujung koridor mereka akan berpisah, Jaehyun di suite kerajaan, Doyoung di kamar tamu, dan terlalu banyak yang harus dikatakan untuk menyudahi segalanya di sini.
"Aku ingin bicara."
"Kita akan bicara."
"Aku tidak ingin menunda sampai besok."
"Tidak akan ditunda," kata Jaehyun, kemudian, karena ia tidak punya pilihan selain memberitahu Doyoung, ia mengatakannya. "Kini setelah kita resmi bertunangan kita akan tidur bersama."
"Aku tidak mau!"
"Bukan tidur bersama..." kata Jaehyun buru-buru, dan berhasil membuat wajahnya paling tidak terlihat sedikit malu. "Aku berdebat dengan orangtuaku. Aku mencoba menjelaskan betapa kuno segalanya, dan betapa konyolnya..." Ia menatap wajah Doyoung, mata wanita itu membelalak, mulutnya terbuka untuk mengatakan sesuatu; Jaehyun bisa merasakan ketegangannya, seperti sekaleng soda yang diguncang berulang kali dan kini wanita itu bisa meledak sewaktu-waktu, meluapkan kemarahan di koridor. "Aku sedang membicarakan tentang tradisi dalam memilih istri," ia mencoba menenangkan Doyoung. "Ini usaha orangtuaku untuk menunjukkan bahwa mereka telah menuju abad ke-21. Kini setelah bertunangan kita bisa berbagi tempat tidur."
"Tidak..." Reaksi Doyoung sangat cepat, tidak perlu dipertanyakan. Tapi ketika wanita itu berbicara Jaehyun mendengar suara di belakangnya. Ia menoleh dan melihat fotografer Scandal sedang mendekati koridor, tepat ketika Doyoung meledak. "Kalau kau berpikir sedetik saja bahwa aku akan berbagi-"
Jaehyun tidak punya pilihan, hanya ada satu cara untuk membungkamnya. Ia merapatkan bibir pada bibir Doyoung tapi wanita itu menolak dan menyentakkan kepalanya, protesnya hampir berlanjut. Jaehyun menahannya di dinding mendekap wajah Doyoung dengan tangan dan menekannya.
Mendorong Jaehyun dengan bibirnya yang kaku tidak membawa hasil. Jaehyun jangkung dan kuat, maka Doyoung membuka mulutnya untuk berteriak, namun pria itu menciumnya lebih dalam; tangan Jaehyun bergerak lebih cepat daripada tangannya dan mencengkeram pergelangannya. Pria itu menahan dirinya di dinding dan ia marah sekali. Ya, pria itu memang membayarnya, tapi bukan untuk ini!
Doyoung tidak peduli jika ada fotografer, ia akan memberi foto yang bagus! Bukan tanpa alasan ia menjadi putri Kim Changmin; ia bisa berbuat kasar sesukanya, kemudian lututnya bergerak ke atas, bersiap membidik.
Hanya ada satu hal yang menyelamatkan Jaehyun, ia menghentikan ciuman itu tepat pada waktunya, refleksnya secepat kilat, dan ia menghentikan Doyoung dengan satu kata. "Jangan."
Doyoung menatapnya dan untuk pertama kali sejak mendarat di pulau celaka ini, Jaehyun balas menatapnya.
"Jangan berani-berani," gumamnya.
"Jadi, setidaknya kau bereaksi," ejek Doyoung. "Mencemaskan mahkotamu?" pancingnya, berbicara di telinga Jaehyun. "Aku terkejut mahkotamu tidak terlindungi." Doyoung sangat menyadari sorot lampu kamera, dan entah kenapa ia menahan diri, tidak menyelesaikan rencananya dan lari meninggalkan pria itu. Sebaliknya, ia berdiri di sana, karena Jaehyun tidak berani bergerak. "Atau mungkin memang sudah terlindungi..." Ia tertawa pelan, tangannya bergerak seakan-akan ingin memeriksanya dan Jaehyun mencengkeram pergelangannya lebih erat untuk menghentikannya. Bukan hanya karena kamera sedang tertuju kepada mereka, bukan hanya karena Putra Mahkota tidak boleh terlihat sedang diraba-raba di koridor, tapi karena tubuhnya kini sekeras batu.
Jaehyun menatap mata itu, yang dipenuhi amarah; ia terus menatapnya. Ia bisa mendengar napasnya sendiri yang cepat, dan kini ia bisa merasakan napas Doyoung, di setiap tarikan napas. Jaehyun tidak habis berpikir, ia menerima tantangan itu. Ia menurunkan pergelangan tangan wanita itu karena ia menginginkan tangannya, namun Doyoung tidak terlalu berani sekarang, tangan wanita itu tidak bergerak menuju target.
"Ku pikir aku akan disentuh."
"Ada kamera."
"Mereka tidak akan memotret dari dekat... Mereka tidak bisa melihat sisi itu."
"Kau menjijikkan," kata Doyoung
"Aku bisa saja bersikap menjijikkan.
Jaehyun tidak berkata apa-apa lagi, meski bukan berarti Doyoung akan mendengarnya; kepala Doyoung berputar, telinganya merona saat kepala pelayan membuka pintu di bagian sayap pribadi. Ia melewati beberapa ruangan, kemudian pintu kayu ganda terbuka dan ia melangkah masuk ke kamar tidur Jaehyun. Jika saja ia punya waktu untuk melihat-lihat, Doyoung akan menyadari bahwa ini mungkin kamar paling indah yang pernah ia lihat. Langit-langitnya tinggi dengan panel kayu rumit, perapian besar dinyalakan untuk mengusir udara dingin di akhir musim semi. Tirai dan perabotannya sangat indah, tapi Doyoung nyaris tidak memperhatikan. Tempat tidur besarlah yang paling membuatnya ketakutan, dan ia pun sangat menyadari kehadiran pelayan istana yang sedang menunggu. Ia berharap pintu akan tertutup, agar ia bisa melontarkan kemarahan secara pribadi kepada Jaehyun, karena ini sama sekali bukan bagian dari kesepakatan, tapi sebaliknya ia dituntun ke kamar ganti, kamar ganti untuknya, sepertinya, karena Jaehyun menuju kamar ganti lain.
Doyoung berdiri ketakutan ketika menyadari risleting gaunnya meluncur turun.
"Aku bisa melakukannya sendiri, terimakasih." Ia tidak membutuhkan seseorang untuk melepas pakaiannya, namun pelayan itu tidak pergi. Sebaliknya, ketika ia melangkah keluar dari gaun itu, si pelayan mengambilnya dan mengulurkan gaun tidur mungil yang sudah jelas bukan gaun tidur yang Doyoung bawa dari London.
"Aku bisa melakukannya sendiri, terimakasih," katanya sekali lagi.
"Tentu," jawab si pelayan. "Saya memerlukan perhiasannya."
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Playing The Royal Game (JaeDo)
De TodoDapatkan Doyoung mempertahankan jati diri dalam perannya sebagai tunangan pangeran dengan segala istana yang mengekang? Dan sanggupkah Jaehyun menahan desakan yang bergejolak di antara mereka mengingat pertunangan ini hanya sementara? [Remake dari n...