5 C

1.7K 292 7
                                    

Ada sesuatu yang istimewa saat berbaring di sana pada pagi hari, menunggu pelayan, sesuatu yang agak menyedihkan, karena di sini, pada pagi ini, semuanya akan berakhir.

Hari ini, Doyoung akan mendengar dengan detail betapa tidak pantas dirinya, dan memang begitulah rencananya, tentu. Hanya saja hal itu menyakitkan, lebih dari dugaannya, dan Doyoung tahu ia harus menyimpan perasaannya. Tapi setidaknya, untuk saat ini, menyenangkan untuk berpura-pura hal ini nyata. Berpura-pura Putra Mahkota Yoonoh benar-benar mencintainya, bahwa tingkah laku keluarga Doyoung tidak berarti sedikit pun bagi Jaehyun, dan pria yang berbaring di sampingnya, dengan cincinnya di jari Doyoung, tidak menganggapnya sebagai calon istri yang tidak pantas. Itu pemikiran yang berbahaya.

Doyoung mencoba memikirkan pagi yang akan tiba, pertengkaran yang kemudian menyusul, penerbangan kembali ke rumah dan segera saja ia sudah akan jauh dari istana, bebas dari kebohongan, bersiap untuk meneruskan hidupnya.

Jaehyun tidak tidur, tapi merasa lebih santai daripada semalam.

Ia menyukai sisi tubuh Doyoung seperti ini, kehangatannya di tempat tidur, kelembutan yang mengejutkan. Tubuh wanita itu memang ramping, dan aroma yang sangat sempurna keharuman yang tidak Jaehyun kenal.

"Tidakkah mereka akan mengharapkan kita sedang berciuman?" tanya Jaehyun tiba-tiba, karena ciuman Doyoung selalu mengejutkannya, ciuman yang sepertinya membuat wanita itu menggelenyar, dan kini, pagi ini, tubuh Jaehyun mendambakan bibir Doyoung.

Meskipun Doyoung tetap berbaring diam, batinnya bergulat, karena ia begitu menginginkan Jaehyun, menginginkan ciumannya, menginginkan sedikit dari apa yang tidak pernah benar-benar ia miliki.

"Mungkin!"

Jaehyun memutar tubuh Doyoung agar mereka berhadapan. Bibirnya tidak mencium Doyoung; sebaliknya, selama sesaat mereka hanya saling menatap dan seakan mereka mengucapkan selamat tinggal. Doyoung merasakan sengatan air mata.

"Aku tunangan yang sangat buruk."

"Kau akan menjadi tunangan yang hebat," kata Jaehyun. "Seandainya aku bukan bangsawan." Jaehyun menyibak poni dari mata Doyoung dan mengecup keningnya, hal paling lembut yang pernah ia lakukan sampai saat ini. Tapi lebih dari itu, Jaehyun menciumnya lagi, kemudian mencium mata Doyoung, mengecup bulu mataya yang lembab dan mencoba menjelaskan, tanpa bertengkar, betapa mustahilnya hal tersebut. "Keberadaanmu di sini seperti angin segar."

"Aku nyaris tidak pernah bertemu denganmu," kata Doyoung.

"Dan memang begitulah nanti..." Jaehyun menatap Doyoung. "Kau hebat." Pria itu tetap diam dan Doyoung tahu bahwa ini benar-benar perpisahan. Mulut Jaehyun bergerak ke bibirnya yang menanti, dan pria itu menciumnya dengan menyeluruh, satu telinga mendengarkan pintu. Tapi kemudian pintu terlupakan karena betapa menyenangkan, hangat, dan mendalamnya ciuman ini, merasakan pria itu melilit kakinya dan menahannya; Jaehyun mencium sampai tubuh Doyoung menjadi lebih terjaga daripada yang pernah ia rasakan, dan jemarinya mencengkeram bagian belakang kepala pria itu.

"Seseorang..." Doyoung berusaha mengingatkan Jaehyun.

"Mereka akan mengetuk," jawab Jaehyun, dan ia merasakan wanita itu lebih banyak lagi . Tangannya bergerak ke pinggang wanita itu.

Ketuklah pintu, mohon Doyoung dalam hati.

"Kurasa kita terlupakan," ujar Jaehyun, kali ini senang dengan kelalaian pelayan. "Mereka pasti sibuk pagi ini..." Tangannya menelusuri paha tunangannya dan mencium bibir wanita itu. Ia membiarkan tangan Doyoung menjelajahinya dengan hati-hati, lalu mendengar suara gaduh pada koridor di luar. Doyoung juga mendengarnya, karena wanita itu seketika menjauhkan tangan, berguling ke samping lalu memejamkan mata, siap berpura-pura tidur, namun jantungnya berdebar-debar dan tubuhnya bergairah sepenuhnya.

Doyoung sangat syok oleh kejadian itu, hampir menginginkan pintu terbuka, sehingga bisa meneruskan tugasnya dan bukan menyerah kepada kenikmatan yang diberikan Jaehyun. Karena nyaris saja aku melakukannya, pikir Doyoung sambil memejamkan mata lebih rapat, terkejut oleh penahanan dirinya. Mereka menunggu pintu terbuka, namun suara gaduh itu tidak terdengar lagi, tidak ada seorang pun di luar, dan mereka tetap berbaring pada kesunyian.

"Kita tidak bisa melakukannya," ujar Doyoung ketika tangan yang hangat meluncur di pinggangnya. "Mereka akan disini sebentar lagi."

"Aku tahu," sahut Jaehyun, tapi pria itu bergeser lebih dekat, tubuhnya yang bergairah menyentuh tubuh Doyoung. Tangan Jaehyun merayap ke tubuhnya. Kemudian bibir Jaehyun mencium bahunya, Doyoung merasakan tenggorokannya tercekat.

Jaehyun tidak pernah kehilangan akal sehatnya, tidak pernah.

Namun, saat berbaring di tempat tidur raja, dengan Doyoung di sisinya, selama sesaat ia kehilangan akal sehatnya. Beratus-ratus tahun sejarah, mungkin, menciptakan bisikan lantang yang menenggelamkan akal sehat, karena ia mencium aroma pinus dari perapian semalam dan derak kayu yang berjejer di dinding.

"Kita tidak bisa..." Kata-kata Doyoung bertentangan, karena tubuhnya seakan terbakar oleh tangan Jaehyun.

"Mereka akan mengetuk." Jaehyun tidak peduli jika seluruh Santina memergoki mereka. Pada saat itu ia tidak peduli. Jaehyun bisa merasakan hawa panas dari pipi wanita itu ketika Doyoung menoleh kepadanya. Ia mencium Doyoung dengan penuh gairah.

"Jaehyun, jangan..."

Jaehyun menyadari tiga hal.

Dalam satu detik, ada tiga hal.

Kata jangan, ketika gadis itu bergairah, tentunya itu hanya berarti permohonan; ketukan di pintu yang memberitahunya bahwa privasi mereka akan segera terganggu; juga marah dengan permainan gadis itu, karena ciuman yang berakhir, kenikmatan sesaat, marah pada rasanya...

... pada permainannya.

TBC

Playing The Royal Game (JaeDo)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang