2. Starting Grid.

397 43 46
                                    

Ara menenggak botol minuman dingin itu dengan ganas. Haus rasanya, berkendara lebih dari 3 jam tanpa arah. Ara menengok ke sekitar minimarket itu sambil menghela napas.

Ara memang senang menyendiri seperti ini. Pacar? Hah, Ara mana punya. Dia bohong ketika Aru tanya tadi. Abangnya itu suka ribet sendiri, jadi Ara jawab seenaknya saja biar cepat.

Ara senang menyendiri dan melakukan hal-hal yang ia suka, salah satunya... kebut-kebutan. Iya, Ara tau kok kalo itu berbahaya. Ara juga tau kalo dia perempuan, dan hal ini nggak lazim. Tapi mau gimana lagi, Ara senang ngebut. Menurutnya, aliran adrenalin yang mengalir di darahnya saat ngebut itu menyenangkan. Thrilling and exciting, kalo kata orang-orang.

"Pulang ah," gumam Ara bermonolog. Gadis itu kembali menstarter motornya dan mulai membelah jalanan senja itu, kali ini tidak secepat biasanya. Baru beberapa menit Ara melaju, seorang pengendara motor lain yang ada di depan Ara memotong jalur gadis itu dari kanan. Motor Ara nyaris tersenggol, membuatnya hampir jatuh.

"WOY!" seru Ara kesal. Mata Ara menyipit menatap si pengendara motor ugal-ugalan itu dan menyadari bahwa motor yang menyalip dia tidak memiliki spion. Dengan geram, Ara ngebut mengejar motor itu.

"NGEBUT BOLEH, BEGO JANGAN!" maki Ara keras di samping motor yang tadi memotong jalannya. Pemuda yang mengendarai motor itu tersentak. Kedua matanya yang terlihat dari balik helm full-face itu memancarkan kekagetan.

"LAIN KALI SPIONNYA DIPAKE YA MAS. BIAR NGGAK MATI!" tambah Ara dan ngebut mendahului pemuda itu yang masih shock. Ara nyengir lebar.

Mampus biar tau rasa, gumamnya dalam hati, merasa menang. Ara memelankan laju motornya ketika berhenti di lampu merah. Ia bersiul-siul cukup keras, membuat beberapa pengendara motor meliriknya. Tapi Ara tidak peduli.

Beginilah Ara. Hobinya ngebut, mulutnya kasar, emosian, dan cuek terhadap sekitarnya. Tapi tenang, Aradewi Pahleva juga punya banyak hal baik kok dari dirinya. Cuma mungkin... belum keliatan aja.

Lampu berubah hijau. Ara langsung belok kanan, mengambil jalan tercepat ke rumahnya. Tiba-tiba saja terdengar bunyi klakson melengking tajam dari sisi kanannya, membuat Ara kaget bukan main dan refleks mengerem. Klakson motor dan mobil di belakangnya bersahut-sahutan, beberapa meneriakkan sumpah serapah kepada Ara yang tiba-tiba saja berhenti.

"Ap—" Ara baru membuka mulut ingin memaki, ketika seorang pengendara motor muncul di sampingnya. Menatap Ara tajam lewat helm full-face yang ia kenakan.

Hah, sialan. Ini mas-mas yang tadi gue teriakin bukan sih?

Pengendara motor itu berhenti di samping Ara, tidak mempedulikan sahut-sahutan klakson lain yang jalannya terhalang karena mereka.

"Lo punya spion tapi nggak bisa pake lampu pas mau belok, sama aja tololnya."

Satu kalimat singkat itu menusuk Ara telak-telak. Ara tidak sempat berkomentar lagi, karena pemuda itu langsung pergi begitu saja.

"Woy, goblok lo! Lampu ijo malah berhenti, buta ya?!" suara supir angkot di sebelah Ara membuat gadis itu sadar. Ara cuma menoleh dan mengacungkan jari tengahnya kepada supir angkot itu.

Dengan wajah yang panas karena menahan marah, Ara langsung melaju begitu saja, sekencang mungkin pergi dari situ. Kepalanya penuh makian untuk pemuda kurang ajar tadi, dan tanpa disadari, Ara menarik gas makin dalam.

"Sialan!" maki Ara tertahan. Ara semarah ini, bukan karena apa-apa. Meskipun hobinya kebut-kebutan, Ara paham segala peraturan lalu lintas. Makanya, ia paling kesal ketika melihat motor-motor yang tidak sesuai standar. Pengendara tidak pakai helm lah, spion dibalik menghadap langit lah.

Dan saat ini, selain marah kepada pemuda tadi, Ara juga marah pada dirinya sendiri. Bisa-bisanya Ara lupa menyalakan lampu sign saat mau berbelok—padahal sebelumnya Ara mengata-ngatai pemuda tanpa spion itu. Marah, malu, semuanya bercampur jadi satu.

Ara semakin ngebut, kecepatan motornya sudah hampir mendekati 100km/jam. Tapi ini belum ada apa-apanya, di kecepatan seperti ini Ara justru sedang bersiap-siap untuk merasakan adrenalin yang sesungguhnya.

Sayangnya, sebuah mobil yang melaju beberapa meter di hadapannya tiba-tiba berhenti. "Ck, lagi enak ngebut padahal," gumamnya.

Ara menurunkan kaca helmnya, dan memutuskan untuk menyalip saja. Tanpa mengurangi kecepatan, Ara membanting motornya ke kanan dan terus melaju—kali ini tarikan gasnya sudah mentok, bersiap menuju kecepatan di atas 100km/jam.

BRAKKKKK.

Ara terpelanting ke depan, tubuhnya melayang sepersekian detik sebelum akhirnya terbanting ke aspal dengan suara keras. Ara tersedak, wajahnya menghantam aspal lebih dulu—untunglah Ara sempat menutup kaca helmnya. Ada sesuatu yang hangat mengaliri wajahnya, namun ia tidak bisa merasakan apa-apa selain itu.

Ara sadar motornya telah menabrak sesuatu. Belum sempat mencerna apa yang terjadi, tiba-tiba ada yang menimpa punggungnya keras sekali. Ara tidak bisa menggerakkan lengan dan kakinya, ia juga tidak bisa mengangkat wajahnya meski ingin. Kepalanya berdenging dan terasa berat.

Ara cuma bisa mendengar suara-suara yang abstrak; jeritan, suara benda berat yang bergeser, dan sepertinya... tangisan? Ara tidak tahu. Ara berusaha membalik tubuhnya, ia nyaris tidak bisa bernapas dalam posisi seperti ini. Tapi dalam usahanya berbalik, Ara justru merasa tubuhnya sedang diseret seseorang. Kepalanya terbentur sesuatu, kembali berdenging keras.

Lalu gelap.

Lalu gelap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


*Starting Grid: Kumpulan titik start dimana pembalap berkumpul sebelum memulai balapan, satu grid terdiri dari tiga pembalap.

a/n
belum apa-apa udah nabrak aja ya ckck.
btw, fun fact: literally semua yang tertulis di chapter ini, adalah kejadian yang kualami sendiri :" basically... Ara adalah aku. HAHAHA.

120 KM/JAM [Yook Sungjae Special] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang