18. Braking Marker.

177 24 18
                                    

"Gue mau jadi siapa-siapanya elo, Ra."

Sejenak hening menyelimuti mereka. Ara berusaha bicara, tapi ia hanya bisa membuka mulutnya secelah, matanya mengerjap bingung mendengar penuturan Sungjae.

"Jadi siapa-siapanya gue... Maksudnya?"

Sungjae berdeham membersihkan tenggorokannya yang tiba-tiba gatal. Udah terlanjur, sekalian keluarin semuanya aja. Sungjae mendesah sebelum mulai bicara—rasanya dia tidak pernah segugup ini sepanjang hidupnya.

"Maaf kalo akhir-akhir ini sikap gue bikin lo bingung. Sepenuhnya salah gue. Tapi... gue kayak gitu karena gue takut, Ra."

Ara menggeser duduknya lebih dekat ke arah Sungjae tanpa sadar. "Takut apa?"

Sungjae tidak langsung menjawab. Ia malah memalingkan wajahnya, kembali menatap pemandangan lampu kota yang berkelap-kelip itu. Ara menunggu dengan sabar, tidak sedetikpun mengalihkan pandangan dari wajah Sungjae.

"Kata Hyuk, gue bukan orang yang perhatian sama orang lain. Gue emang cenderung cuek, nggak pedulian, paling cuma beberapa orang yang emang bener-bener berarti buat gue, baru gue peduli. Tapi sama lo..."

"Gue kenal lo aja baru beberapa minggu, Ra. Gue sadar, awalnya gue bener-bener nggak habis pikir sama semua sifat lo. Emosian, kasar, marah-marah terus kerjaannya nyemprot orang-orang.."

"Heh," dengus Ara menahan diri untuk tidak menendang Sungjae. Kok dia berasa lagi dikata-katain sih ini?

"...tapi kemarin, gue ketemu sisi lain lo yang bikin gue sadar, 'Oh, Ara juga sama aja kayak kita semua. Sama-sama punya luka yang dipendem. Sama-sama sedang berusaha bertahan menjalani hidup.' Elo Ra, yang biasanya tangguh dan galak, tiba-tiba keliatan rapuh. Tiba-tiba... keliatan nggak berdaya."

Ara menunduk, memainkan jari jemarinya dengan perasaan yang sedikit berat. Sungjae seperti bisa menembus hatinya, memahami apa yang ia rasakan. Padahal Ara hanya membuka sedikit bagian dirinya.

Sungjae memutar tubuhnya menghadap Ara lagi. "Gue nggak suka liat lo yang kayak gitu, Ra. Itu yang bikin gue takut. Gue takut, semakin gue deket sama lo, semakin gue perhatian sama lo, gue akan jadi orang yang mencoba segala cara buat ngelindungin lo. Mencoba segala cara untuk bikin lo kuat. Padahal mungkin, lo nggak butuh itu. Karena faktanya gue bukan siapa-siapa lo, Ra."

Sungjae mengulurkan tangannya, mengaitkan jemarinya pada jemari Ara dan mengusap lembut punggung tangan gadis itu. Ara tersentak sedikit, tapi tidak berkomentar apa-apa. Ia bisa merasakan aliran hangat menjalar dari genggaman Sungjae, terus menuju tubuhnya.

"Makanya, gue bilang gue mau jadi siapa-siapanya elo. Supaya gue punya alasan buat semua tindakan gue," ucap Sungjae. Gila nih jantung gue bisa diem bentar nggak sih, berisik banget mampus, Sungjae menelan ludahnya berusaha menenangkan diri. "Boleh kan, Ra?"

Mata Ara masih tertunduk menatap jemarinya yang digenggam Sungjae. Pikirannya berdesing sejak tadi, bingung harus berbuat apa. Ara sendiri sadar kalo dirinya juga sudah terlalu dekat dengan pemuda itu. Buktinya, Ara merasa kehilangan sosok Sungjae waktu dia nggak menyapanya atau mengajak Ara ngobrol. Sungjae sudah jadi bagian dari kesehariannya, yang nggak begitu ia sadari sebelumnya. Meski sering adu mulut, bersikap seenaknya, tapi akhir-akhir ini memang cuma Sungjae yang selalu ada.

Ara menghela napas. Ia menarik genggaman tangannya dari Sungjae, dan beralih menepuk-nepuk pelan tangan pemuda itu. Ara menatap Sungjae, tersenyum simpul.

"Makasih udah jujur sama gue, Jae. Akhirnya gue paham yang lo rasain, dan nggak bingung sendirian kayak kemarin-kemarin. Gue juga minta maaf, kalo sikap ketus dan emosian gue bikin lo susah..." Sungjae menggeleng sudah ingin membantah, tapi Ara mengangkat tangannya; ia belum selesai bicara. "Gue sebenernya malu ngakuin ini, tapi... gue nyaman sama lo."

120 KM/JAM [Yook Sungjae Special] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang