8. Warm Up Lap.

218 34 9
                                    

Ara menghembuskan napas berkali-kali dengan stabil. Keringat mulai bermunculan di wajahnya, namun kaki-kaki ramping Ara masih terus berlari dengan ritme yang sama sejak 30 menit lalu. Hari masih cukup pagi, baru pukul lima. Tapi Ara sudah kembali melakukan rutinitasnya yang biasa: jogging memutari kompleks.

Ia cukup merindukan rutinitasnya satu ini. Gara-gara kecelakaan tempo hari, Ara jadi tidak bisa jogging seperti biasa dan harus istirahat di rumah. Untung kondisinya cepat pulih, mungkin karena kecelakaannya tidak terlalu parah. Atau karena ia segera dibawa ke rumah sakit oleh...

Ara menggelengkan kepalanya. "Kok jadi dia lagi sih?" gumamnya dan berlari semakin cepat, berharap bayangan wajah menyebalkan pemuda itu segera hilang dari pikirannya.

Ketika melihat lapangan basket kompleks, Ara berhenti sejenak untuk mengatur kembali napasnya yang mulai tersengal. Ia memperhatikan sekelilingnya dan melihat seseorang sedang senam ringan di dekat bench panjang.

"Lea?" panggil Ara. Perempuan yang tampaknya seumuran dengan Ara itu menoleh dan melambaikan tangannya sambil nyengir lebar. Ara bergegas menghampirinya.

"Hai, Ra!" sapa Lea. Ara ikut nyengir melihatnya. Lea adalah tetangga Ara, yang sesungguhnya tidak begitu ia kenal dekat karena jarak rumah mereka yang terpisah jauh. Tetapi Ara dan Lea cukup sering bertemu di kampus, meski keduanya ada di fakultas yang berbeda.

"Kok tumben jam segini udah lari, Le?" tanya Ara, melirik botol minum dan handuk kecil yang tersampir di bench. Lea menggeleng.

"Masih lari, lebih tepatnya," ujar Lea meralat ucapan Ara. Ara berdecak, terdengar sedikit takjub.

"Lo masih nggak bisa tidur ya, kalo malem?" tanyanya. Ara sedikit banyak tau tentang Lea yang—katanya—mengidap insomnia itu, meskipun Ara nggak ngerti insomnia itu kayak apa. Ara tau Lea sering berlari malam-malam, dini hari lebih tepatnya, dan baru pulang ke rumah di jam-jam subuh seperti ini.

Lea cuma meringis kecil dan mengangguk. "Ntar gue tidurnya pas kalian lagi pada sarapan."

Ara tertawa. "Untung masih liburan, Le. Kalo nanti udah mulai semester baru gimana dong lo?"

"Nah itu, belom ketemu solusinya nih," ujar Lea ikut tertawa. Gadis itu mengambil botol minum dan handuknya. "Gue cabut dulu deh ya, takut ketiduran di jalan. Dah, Ra, selamat jogging!"

Ara tertawa lagi mendengar kelakar Lea, dan melambaikan tangannya. Lapangan basket sepi lagi. Kali ini giliran Ara yang melakukan senam kecil, melemaskan otot-otot tangan dan kakinya.

"Wah, abis ini bubur ayam kang Dadang enak kayaknya," gumam Ara bermonolog. Ia masih sibuk meregangkan ototnya, kali ini mengangkat satu kaki dan memeluknya di depan dada. "Hmm, bubur ayam apa soto ya..."

"Oy."

Ara menengok, terlalu kaget sampai-sampai kakinya terjatuh begitu saja dan ia nyaris kehilangan keseimbangan. Ara buru-buru berdiri tegak lagi dan menatap galak seseorang yang menginterupsinya itu.

Siapa lagi kalau bukan Yook Sungjae.

Pemuda itu berdiri di belakang Ara, dengan celana basket bergaris hitam dan kaos putih polos. Sepertinya ia baru saja selesai jogging. Rambutnya sedikit basah, begitu juga dengan sisi-sisi wajahnya. Kedua tangannya ia masukkan di saku, dan matanya menatap gadis itu dengan tatapan meremehkan seperti yang pernah Ara lihat sebelumnya.

Dalam kondisi sedang kesal dengan cowok ini pun, akal sehat Ara masih jalan. Se-menyebalkan apapun pemuda itu, satu fakta yang nggak bisa Ara sangkal: Sungjae itu ganteng. Matanya bagus, rahangnya tegas dan manly banget. Bibirnya...

120 KM/JAM [Yook Sungjae Special] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang