3. Crash.

331 42 37
                                    

Begitu Ara membuka matanya, gadis itu langsung merasakan sakit yang teramat sangat di bagian belakang kepalanya. Ara langsung meringis, refleks memejamkan matanya lagi.

"Ra??"

Suara Aru di sampingnya membuat Ara kembali membuka mata. Ia berusaha menoleh ke sisi kanannya, tetapi kepalanya lagi-lagi berdentum hebat, membuat Ara mengurungkan niatnya itu. Aru mengulurkan gelas berisi air, namun Ara mengangkat tangannya, menolak.

"Bang," panggilnya dengan suara serak. "Gue kenapa?"

"Nabrak. Kecelakaan," ujar Aru singkat. "Ini di rumah sakit."

Ara mendesah. Pantas saja badannya sakit semua.

"Kok lo ada disini bang? Lo yang bawa gue ke rumah sakit?"

"Nggak. Gue juga ditelpon tadi. Langsung kesini dari rumah."

Ara menyadari kalimat Aru yang pendek-pendek. Abangnya itu nggak langsung ngomel kayak biasanya kalo Ara kecelakaan—entah itu karena jatoh, ditabrak, atau nabrak. Kali ini nadanya berbeda. Kemungkinannya cuma kecelakaan yang Ara alami cukup parah... atau kali ini abangnya itu sudah hilang sabar menghadapi Ara.

"Gue baik-baik aja kan ya, bang?" tanya Ara pelan, memastikan. "Ini nggak berasa ada yang patah atau apa sih.. Tapi siapa tau kan. Kata dokter apa?"

Aru tidak langsung menjawab pertanyaan Ara yang terkesan bercanda. Ara manyun, abangnya beneran marah kayaknya kali ini.

"Nggak bisa ya, nggak ngebut?"

Tuh kan, keluh Ara dalam hati. Ara lebih memilih abangnya itu merepet ngomel panjang lebar ketimbang satu-dua kalimat doang tapi auranya serius gini.

"Kenapa doyan banget kebut-kebutan gini sih, Ra? Gue kayaknya nggak perlu lagi bilang bahaya dan lain sebagainya, gue yakin lo udah ngerti," lanjut Aru. Ara masih diam, menatap langit-langit ruangan kamarnya.

"Lo bisa cerita sama gue kalo lagi ada masalah," ujar Aru, nada suaranya melembut. "Lo bisa cerita kalo ada pikiran. Jangan diem dan malah jadi kayak gini, Ra. Lo nggak nganggep abang lo ini apa gimana?"

Ara memutar kedua bola matanya. "Lo kira gue ngebut karena ada masalah?"

"Kalo bukan itu terus karena apa?"

Ekspresi wajah Ara mengeras. "Kalo kayak gini aja lo nggak ngerti berarti lo nggak bener-bener memahami gue, bang."

Aru menghela napas. Ia memutuskan mengalah, lagi. Susah ngobrol sama Ara kalo anaknya lagi batu begini, batin Aru. Nanti aja, kalo dia udah baikan mungkin gue akan coba ngomongin hal ini lagi.

"Lo belom jawab pertanyaan gue bang. Kata dokter apa?"

"Nggak ada apa-apa kok. Kepala lo kebentur, berdarah. Badan lo ketiban motor. Tapi ya udah, gitu aja. Paling lebam doang besok," jawab Aru. Ara manggut-manggut sebisanya. Ara sudah terlalu sering ngebut dan terlalu sering kecelakaan, sampai-sampai kepala terbentur dan biru-biru di seluruh badan bukan lagi hal baru baginya.

"Terus ngapain gue masih disini?"

Aru mendelik. "Ya kan lo pingsan, pinteeer. Duh punya adek satu gini amat."

"HAH? Gue pingsan, bang? Gue? Seorang Ara bisa pingsan?" ujar Ara tidak percaya, membuat Aru terkekeh geli, tidak menjawab pertanyaan retoris itu. Ara termenung sejenak tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu.

"Bang," panggil Ara lagi. "Tadi lo kesini karena ditelpon? Jadi yang bawa gue ke rumah sakit siapa?"

Aru mengusap dagunya. "Hm.. Tadi sih yang nelpon gue cowok. Tapi dia nggak nyebut nama. Terus waktu gue sampe sini juga dia udah nggak ada."

Ara mengerutkan keningnya. "Lo nggak tanya suster atau siapa gitu?"

"Mana kepikiran, Ra. Denger lo kecelakaan gue langsung buru-buru kesini, cuma nanya ruangan lo dimana. Nggak kepikiran nanya yang lain-lain," ujar Aru. Ia merogoh kantongnya dan mengeluarkan kunci mobil, mengulurkannya di depan wajah Ara. "Saking buru-burunya, gue kesini bawa kunci mobil tapi naik taksi. Kurang perhatian apa abang lo ini sama lo, Ra?"

Ara terkikik geli. "Itu mah bukan perhatian, emang bego aja lo nya."

"Yeee kurang ajar ya," kata Aru tapi akhirnya tertawa juga. Sejurus kemudian ekspresinya tampak berpikir. "Tapi tadi waktu gue ditelpon sama pahlawan lo itu, suaranya enak deh, Ra."

Ara memutar kedua bola matanya. "Apaan sih suara enak, emang nasi goreng? Lagian pahlawan apa coba, yang ada juga gue malu kali bang. Apalagi kalo bener cowok yang nyelametin gue. Lo yakin nih cowok?"

"Yakin Ra, itu makanya gue bilang suara dia enak. Ganteng gitu suaranya."

Ara mendengus mendengar kalimat abangnya. "Ini apa lagi suara enak, suara ganteng. Yang kecelakaan gue apa lo sih bang, kok jadi lo yang ngelantur gini. Abis kejedot apaan lo?"

"Elah dengerin dulu!" Aru melotot. "Waktu ngabarin gue, dia ngomongnya kalem banget, nggak kedengeran panik sama sekali. Adem lah suaranya. Coba elo yang ada di posisi dia, pasti udah teriak-teriak nggak karuan, cempreng pula suara lo," Aru malah ngatain. Ara menjulurkan tangannya, ingin menabok abangnya itu tapi cuma dibalas kekehan Aru.

"Kenapa gue bilang pahlawan, ya coba aja nggak ada dia. Lo bisa ditinggal gitu doang di jalanan, sekarang kan udah jarang ada orang baik."

"Ya lo juga tau dari mana yang nolongin gue ini orang baik-baik, bang?" sahut Ara sarkas. Aru menghela napasnya.

"Makanya, jangan ngebut. Biar gue nggak perlu khawatir lagi," tambah Aru pelan, dengan nada berharap bisa melanjutkan petuahnya. Ara mendesah.

"Bang, udah ah," sahut Ara malas. Aru nyengir pasrah.

"Iya, iya. Udah, tidur lagi aja lo. Istirahat."

Ara sudah akan memejamkan matanya, ketika tiba-tiba saja Ara teringat satu pertanyaan yang dari tadi ingin ditanyakannya kepada Aru.

"Eh, ngomong-ngomong bang... Gue nabrak apaan sih sampe kayak gini?"

Aru langsung tergelak mendengar pertanyaan Ara, membuat gadis itu mengernyit heran. "Kok malah ketawa? Gue serius nih!"

"Beneran mau tau?" tanya Aru di sela tawanya. Ara menatap abangnya tajam, menunggu. Aru mengangguk dan terbatuk-batuk sejenak sebelum melanjutkan.

"Lo nabrak becak."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


*Crash: Benturan yang menyebabkan pembalap terjatuh dari motornya saat balapan motor sedang berlangsung, bisa terjadi pada sesama pembalap atau benturan tunggal.

a/n
apa kabar ya pak becak yang kutabrak :(

120 KM/JAM [Yook Sungjae Special] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang