29. Red Flag.

143 23 16
                                    

Ara duduk termenung menatap tubuh Aru yang terbaring di atas kasur rumah sakit. Mata Aru memejam, dadanya terlihat naik-turun dengan teratur berkat ventilator yang terpasang. Ara mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Aru, mengusapnya perlahan. Abang kesayangannya itu masih belum sadarkan diri setelah operasi beberapa jam lalu.

"Bang.." ujar Ara lirih. "Kenapa bisa jadi kayak gini sih.."

Ara menghela napas dengan berat. Hatinya sedih melihat Aru dalam kondisi begini, tapi Ara tidak bisa menangis. Ara tidak tahu kenapa, yang jelas air matanya tidak bisa keluar meski ia ingin. Gadis itu beringsut mendekat dan menyandarkan kepalanya di sisi Aru. Tiba-tiba saja ia teringat penjelasan dokter yang menangani Aru tadi, tepat sebelum operasi dilaksanakan...

*

"Saudara Hanandaru dibawa ke rumah sakit dengan ambulans, sekitar pukul 3 sore," ujar dokter Bima pada Ara di ruangannya. Dokter muda berperawakan tinggi jangkung dan berkacamata itu mengatupkan kedua tangannya di atas meja, terlihat sangat serius.

"Berdasarkan keterangan dari petugas dan kesaksian orang-orang di lokasi, Hanandaru ditabrak mobil lain dari samping dengan kecepatan penuh. Sepertinya ia sempat kehilangan fokus dan tidak memperhatikan lampu lalu lintas..."

Ara mengepalkan kedua tangannya selagi dokter Bima bicara. Sejujurnya ia masih belum bisa berpikir dengan jernih, tetapi Ara berusaha keras mendengarkan.

"Saat dibawa ke rumah sakit, ia mengalami pendarahan di kepala akibat benturan dan memar-memar seluruh tubuh," jelas dokter Bima. Kali ini ia menghela napas sejenak sebelum memulai lagi. "Sebuah keajaiban bahwa tidak ada tulang yang patah. Tetapi benturan itu menyebabkan pendarahan di kepalanya. Hanandaru harus segera dioperasi untuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan."

Ara termenung mendengar penjelasan dokter Bima. Gadis itu menatap lurus-lurus ke atas meja ketika bicara, suaranya lirih nyaris tidak terdengar.

"Setelah operasi... semuanya bakal baik-baik aja kan, dok? Bang Aru bakal sehat lagi kan?"

"Itu yang kami semua inginkan untuk Aru," Dokter Bima menjelaskan dengan sabar. "Tapi kami belum tahu bagaimana kemungkinan kedepannya. Yang jelas, Aru butuh operasi segera, setidaknya untuk saat ini. Karena—"

"Apa... kemungkinan terburuknya, dok?" potong Ara membuat dokter Bima kembali menghela napas.

"Kita belum tahu bagaimana nantinya, Ara. Saya masih harus melihat perkembangannya, tapi—"

"Tapi...?"

Dokter Bima tidak meneruskan kalimatnya. Ara akhirnya mendongakkan kepala, menatap wajah dokter Bima di hadapannya.

Tanpa perlu dokter itu katakan, Ara sudah tahu. Ara sudah tahu apa kemungkinan terburuknya.

*

"Ra..."

Ara membuka matanya kaget. Ia langsung menegakkan tubuhnya, refleks menoleh ke arah Aru yang masih tertidur. Ara kembali memejamkan matanya sembari menghela napas panjang, rasanya tadi jantungnya sempat berhenti berdetak sepersekian detik.

"Sori, gue ngagetin ya?" ujar Sungjae yang berdiri di samping gadis itu. Ara mendongak.

"Nggak... Gue kira... Ah, nggak papa," kata Ara, tersenyum kecil dan menggeleng. Ia mengalihkan pandangannya dan mengernyit melihat langit yang sudah gelap dari kaca jendela. "Ini jam berapa, Jae?"

"Jam 11 malem, Ra," ujar Sungjae membuat Ara terbelalak. Ia berdiri dari kursinya dan menghampiri jendela, celingukan bingung.

"Jam 11??" ulang Ara dengan nada tidak percaya. Gadis itu menoleh ke arah Sungjae lagi. "Kenapa lo masih disini?"

120 KM/JAM [Yook Sungjae Special] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang