25. Pit-Box.

171 24 20
                                    

Sungjae mengayuh sepedanya secepat mungkin. Ara melonjak-lonjak di belakang Sungjae, sedari tadi berusaha menebak-nebak kenapa Sungjae buru-buru seperti ini.

"Makasih pak," Sungjae mengembalikan sepeda itu dan kembali pada Ara yang ekspresinya jelas bingung. Sungjae tersenyum.

"Ayo," ajaknya lalu menarik tangan Ara dan berjalan cepat kembali ke halte tempat mereka turun tadi. Tidak seperti perkiraan Ara bahwa mereka akan naik bis lagi, Sungjae malah berjalan melewati halte, terus menanjak ke jalan besar.

"Jae? Mau kemana sih ini?" tanya Ara sedikit kesulitan mengikuti langkah Sungjae yang panjang-panjang. Sungjae tidak menjawab pertanyaan Ara dan terus berjalan. Ara mengintip jalanan di depannya yang semakin menanjak. Kontainer-kontainer besar dan kapal-kapal di pelabuhan makin jelas terlihat.

"Kita mau ke pelabuhannya?" tanya Ara lagi. Sungjae masih belum menjawab. Trotoar tempat mereka berjalan berhenti di ujung tanjakan, dan jalan kembali melandai. Ara menyentakkan tangan Sungjae.

"Sungjae jawab ih—"

"Ck, nggak sabaran banget sih lo," kata Sungjae memotong ucapan Ara. Ia berhenti dan menarik gadis itu mendekat. "Tuh, liat."

Ara terkesiap kaget. Ia berdiri menatap pemandangan paling menakjubkan yang pernah dilihatnya. Matahari pecah sempurna di ujung laut, menyebarkan warna-warna yang bercampur indah; merah, jingga, semburat keunguan, merah muda, dan biru langit. Laut terhampar di bawahnya, biru keemasan ditimpa mentari senja. Suara debur ombak menyapa bibir pantai terdengar jelas, bersahutan dengan bunyi mesin kapal di pelabuhan, membuat harmoni unik yang menarik.

"Woah..." Ara tidak bisa berkata-kata. Sungjae berdiri di samping gadis itu, tersenyum bangga bisa memperlihatkan ini semua pada Ara.

"Bagus kan, Ra," ujarnya disambut anggukan bersemangat Ara. "Ini namanya Jembatan Awan."

Ara menoleh ke sekitarnya, dan baru menyadari ternyata mereka memang berada di atas sebuah jembatan besar. Ia menatap Sungjae takjub.

"Serius? Kok uwu banget namanya?"

Sungjae terkekeh. "Nggak sih, gue aja yang ngasih nama begitu."

"Duileee.. Melankolis juga ya lo, jembatan aja dikasih nama."

"Gue sanguinis sih," balas Sungjae membuat Ara memutar kedua bola matanya. Sungjae cuma tertawa. Keduanya kembali menatap lukisan Tuhan di depan mereka, terdiam selama beberapa saat.

"Thanks ya, Jae."

Sungjae menengok. Ara sedang tersenyum, matanya masih tidak lepas dari senja yang memudar. Gadis itu berbalik dan menatap Sungjae, tersenyum makin lebar.

"Thanks udah ngasih liat gue ini semua."

Sungjae mengerjapkan matanya, ia dapat merasakan jantungnya memukul-mukul keras melihat senyum Ara. Bener-bener Ra, batin Sungjae, lo tuh nggak baik buat kesehatan jantung gue.

Sungjae mengalihkan pandangan, berusaha menetralkan detak jantungnya. Tapi bibirnya menyunggingkan senyum kecil.

"Merinding gue Ra," ujar Sungjae membuat Ara mengernyit.

"Kenapa? Dingin emang?"

"Bukan," Sungjae melirik Ara lalu nyengir. "Gue merinding denger lo ngomong makasih gini. Biasanya kan lo ngomel-ngomel, emosian, ngamuk..."

"HIH!" Ara mendorong bahu Sungjae sebal, ekspresinya merengut membuat Sungjae terbahak.

"Nah ini baru Ara yang gue kenal."

Ara menggumam tidak jelas, ekspresinya masih terlihat jengkel. Ia menatap Sungjae sambil memicingkan matanya.

"Tapi lo sendiri juga lagi aneh," kata Ara. "Biasanya lo cuek, jaga image banget, dingin, ngomong seperlunya... Sekarang jadi banyak ketawa gini."

120 KM/JAM [Yook Sungjae Special] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang