"Ini bukan jalan ke rumah!" teriak Ara di sela-sela deru angin yang berhembus keras. Sungjae tidak menggubrisnya, tetap melaju namun dalam kecepatan sedang.
"SUNGJAE! Lo bawa gue kemana?!"
Sungjae meringis, suara Ara keras sekali memekakkan telinganya. Lagi-lagi pemuda itu mengabaikan Ara. Toh sebentar lagi mereka sampai.
Sungjae memang tidak membawa Ara pulang. Ara bakal dapat masalah kalau ketauan pulang dini hari seperti ini. Dan lagi, ia perlu bicara dengan Ara.
Iya, dia perlu bicara. Karena Sungjae sudah menetapkan hatinya.
"Gue lompat nih ya kalo lo nggak ngasih tau kita mau kemana!!"
Astaga Tuhan, batin Sungjae lelah. Gadis ini keras kepalanya bukan main, emosian, kasar, galak nggak tanggung-tanggung... Tapi selalu dan selalu, Sungjae justru membawa dirinya semakin dekat dengan Ara. Seperti ada magnet yang menariknya kuat ke sekitar gadis itu.
Sungjae selalu sulit menggunakan akal sehatnya jika menyangkut gadis itu. Rasanya ia selalu bertindak tanpa berpikir dua kali. Contohnya seperti sekarang. Setelah dipikir-pikir lagi, untuk apa juga dia bersikap sok pahlawan dengan menarik Ara pulang? Ya biar saja kalo memang dia mau balapan, kan Sungjae juga bukan siapa-siapanya Ara.
Ah, sialan. Ternyata gue selemah ini.
"SUNGJAEEEEE!!!!"
"BERISIK!" seru Sungjae akhirnya. Ara langsung terdiam. Sungjae memelankan laju motornya dan tidak lama kemudian berbelok memasuki sebuah perumahan yang masih lengang. Cuma ada beberapa unit rumah disana, sisanya hanya tanah berumput yang luas.
"Jae.. Ini dimana sih, kenapa kesini?" Suara Ara terdengar pelan. Tanpa disadarinya, jemari Ara meremas pinggiran jaket Sungjae.
Sungjae berbelok ke salah satu gang di perumahan itu, dan lurus terus menuju daerah paling belakang. Tiba-tiba ia berhenti di dekat tembok yang membatasi perumahan itu dan mematikan mesin motornya. Ara masih belum bergerak. Suasana sangat sunyi, nyaris mencekam.
"Ja-jae.."
"Turun," perintah Sungjae membuat Ara mau tidak mau menurutinya. Hilang sudah keinginannya untuk marah-marah. Kenapa Sungjae membawanya kesini?
Sungjae turun, menarik tangan Ara untuk mengikutinya berjalan ke ujung tembok pembatas itu. Di ujungnya, ada sebuah lekukan besar yang terbuat dari tanah. Lekukan itu membentuk tangga alami dan mengarah ke luar tembok, ke sebuah langkan yang cukup luas.
Ara baru menyadari perumahan itu terletak di dataran tinggi, sehingga ketika ia dan Sungjae berdiri di langkan itu Ara bisa melihat pemandangan kota di bawahnya, lengkap dengan cahaya lampu dari rumah-rumah dan gedung yang ada.
"Wuah..." serunya tertahan. Tanpa melepaskan genggaman tangannya, Sungjae berjalan ke ujung langkan, mengambil sesuatu yang tampak seperti kasur gulung.
"Bantuin gue," ujarnya membuat Ara menoleh. Gadis itu langsung menggelar kasur gulung yang sudah kempes itu. Di dalamnya ada dua selimut yang terlipat rapi. Ara langsung menegakkan tubuhnya lagi.
"Lo mau ngapain, kok ada ginian segala?!" ujarnya curiga. Sungjae hanya menghela napas dan merapikan kasur itu sendirian. Ia lalu menjatuhkan tubuhnya, duduk di atas kasur itu menghadap ke arah pemandangan malam kota. Ia menengok ke arah Ara, menepuk-nepuk kasur di sampingnya.
"Duduk," ujarnya kembali memerintah dengan satu kata seperti biasa, membuat Ara jengkel.
"Bisa nggak sih yang manis dikit nyuruhnya, nggak cuman 'ayo', 'turun', 'duduk', gitu doang," omelnya sambil duduk di samping Sungjae yang tidak menanggapi. Mereka berdua terdiam untuk beberapa saat, menikmati lampu-lampu kota di malam hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
120 KM/JAM [Yook Sungjae Special] ✔
Fanfiction[Birthday Project: Yook Sungjae] Ketika Ara, gadis galak yang hobi kebut-kebutan itu bertemu Sungjae, pemuda dengan kepribadian dingin-tapi-hangat yang mampu 'menenangkan' Ara. Sebaliknya, kehadiran Ara dalam hidup Sungjae membuat pemuda cuek yang t...