Berubah

5.3K 277 1
                                    

Pagi ini aku sudah rapi dengan seragam khusus di hari jum'at, baju putih dikeluarkan dan rok abu semata kaki. Aku ikatkan rambut dengan satu cepolan bulat di atas. Menaburkan bedak bayi sedikit. Sudah, cukup bagiku.

"Ibu, Bapak."

"Pagi, de," balas Bapak.

"Pagi, sayang."

"Sarapan apa pagi ini?" tanyaku antusias.

"Nasi goreng sosis kesukaan Fira," jawab Ibu seraya memberiku satu piring nasi goreng lengkap dengan sosis bakar.

"Wih ... makasih Ibu."

Aku mulai makan dengan hikmat. Kadang Bapak terkekeh hanya karna ada noda kecap di bibirku.

Ting tong

Aku dan Ibu menatap satu sama lain. Bingung.

"Siapa yang bertamu pagi-pagi, Bu?"

"Ibu juga gak tau. Gak mungkin dari butik ke sini."

Ya, Ibuku bekerja di butik, dan Bapak memiliki satu cafe coffe.

"Biar ade yang buka."

Aku segera bangkit, sedikit berlari karna bel itu terus berbunyi.

"Ya, cari sia--" Bibirku terbuka lebar menatap satu cowok di depanku. "Anda ngapain di sini?!" sentakku kaget.

Migi memamerkan gigi putihnya sambil melambaikan tangan. "Halo, Fira manis. Selamat pagi."

"Gila Anda?" tanyaku sinis.

"Iya nih, bisa sembuhin gue, gak? Dengan senyuman manis lo gitu," balasnya seraya mengedipkan sebelah mata.

"Manis, manis ... emang Anda pikir saya gula!"

"Bukan, lo 'kan tebunya."

Ya Allah, cowok ini kerasukan apa?

"Mending lo pe--"

"Siapa ade? Cepet berangkat udah siang." Suara Ibu mulai mendekati pintu. "Eh, ada siapa ini?"

"Pagi, Ibu." Migi itu langsung menyerobot melewatiku, menyalami Ibu dengan sopan.

"Pagi, temen Fira, ya?"

"Migi Prasetya, pacarnya Fira, Bu."

Aku melotot kaget. "Heh! Ngaco kamu! Bukan Bu, ngarang dia."

"Elah ... calon deh kalo gitu." Migi menyenggol lenganku. Aku berdecih pelan.

"Bu, ade berangkat sekarang." Aku mengambil alih tas yang Ibu pegang.

"Eh, bareng Migi bukan?"

"Boleh, Bu?" tanya Migi dengan mata berbinar. Ibu mengangguk sambil tersenyum. Heh! Kalo Ibu tau pria ini penyebab pembulian itu, diserbu sapu lidi pantat kau Migi!

"Gak usah! Fira bisa naik angkot." Aku cepat-cepat menyalami tangan Ibu, bergegas keluar halaman rumah.

"Ade, gak boleh gitu. Migi udah ke sini jauh-jauh lho. Ikut dia gih."

Aku merengut dalam hati. Kebaikan Ibu terlalu tinggi levelnya, sampai tertipu wajah topeng si jangkung.

"Fira Florin ... Ibu gak pernah ngajarin gak sopan sama kamu yah."

Baik, kau menang hari ini Migi Prasetya!

"Ya udah," putusku dengan malas. Migi tersenyum puas. Awas kau!

"Kami berangkat dulu, Bu. Assalamualaikum." Migi kembali menyalami Ibu. Sopan sih, tapi tukang gembel, eh ... gimbal ... aishhh ... gombal maksudnya!

Migi menyalakan motor besar berwarna hitam itu. Knalpot khas berbunyi cukup menggema. Dia memberi tangannya untuk membantuku naik, namun aku tak menerimanya, modus!

"Berangkat, Bu." Migi kembali bersuara. Ibu mengangguk pelan.

"Hati-hati. Jagain anak Ibu, nak Migi."

"Pasti, Bu."

Migi menjalankan motornya keluar halaman rumah. Aku tetap kesal, melipat kedua tanganku di depan dada.

Brumm

"Ya Allah!" pekikku kaget.

Migi menancap gasnya lebih dari normal.

"Pegangan, bel bunyi sepuluh menit lagi."

Aku memegang erat tasnya. "Ck, peluk pinggang gue!" teriaknya.

"Hah?"

Belum sempat mengerti, dia kembali menambah kecepatan membuatku refleks melingkarkan kedua tanganku sesuai yang ia pinta.

Benar, saat gerbang terlihat satpam siap menutup gerbang. Namun Migi menekan klakson sampai berbunyi memekikan telinga. Satpam itu kembali mendorong gerbangnya kaget.

"Makasih, Pak!" seru Migi.

Migi menghentikan motornya tepat di parkiran motor. Aku langsung bergerak turun tanpa meminta izin. Saat hendak pergi, tanganku ditahan.

"Makasihnya mana?"

Aku mendelik kesal. "Siapa yang maksa pergi bareng?" Aku menepis tangannya sampai terlepas, melanjutkan jalanku yang tertunda.

Masih pagi, mood ku sudah berantakan. Ini semua gara-gara si jangkung itu!

Tapi satu yang aku bingungkan, dia berubah.

---

To be continue 💙

Fira FlorinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang