"Sanji ...."
"Lo gak p--"
Aku langsung menyerbu tubuhnya, memeluknya dengan erat. Isak tangisku semakin keras.
Aku merasa lebih tenang saat sebuah tangan mengelus punggungku. Hangat, lembut, dan menenangkan.
"Duduk." Dia melepas pelukannya, menarik satu bangku untuk aku duduki. Cowok ini berjongkok di depan ku, menatap tepat ke wajahku. Kemudian dia menggenggam kedua tanganku yang masih seperti membeku.
"I'm the one I should love~ in this world, biccnaneun nareul sonunghan nae yeonghoneul ...."
Aku terdiam mendengar nyanyian itu. Lagu ini, aku tau lagu ini.
"Ijeya kkaedara~ So I love me, jom bujokhaedo neomu areumdaun geol ...."
Dia berhenti sejenak, lalu mengusap pipiku yang basah.
"I'm the one I should love."
Dia tersenyum lebar saat aku menyanyikan lirik selanjutnya. Aku sampai terpesona dengan lesung pipitnya. Tangan kirinya mengusap rambutku.
"Don't scared, I'm here with you."
◇◇◇
Hari sudah mulai gelap, lampu-lampu koridorpun sudah menyala. Kini aku berjalan pelan beriringan dengan cowok di sampingku.
Aku terkejut saat sebuah jaket berwarna merah maroon menyampir di bahuku. Dia menatapku sambil tersenyum.
"Habis hujan, dingin."
Aku hanya mengangguk patuh dan memakai jaket itu. Kami kembali berjalan dalam diam.
"Lo ...." Aku melirik dia yang berniat mengawali cerita. "Pacaran sama Rangga?"
Aku tertawa pelan, lalu menggeleng kuat. "Dia cuman temanku."
"Lalu ...."
"Lalu?" Aku menautkan alis bingung. "Ah ... itu ya ...." Kepalaku mengangguk paham apa arah pembicaraan ini.
"Aku tak suka jika temanku tersakiti, apalagi karna diriku."
"Gue paham, gue juga sama. Kalo temen kita disakitin, kita akan ngerasaain gimana rasanya," ujar Sanji. Kami terdiam beberapa detik, hanya binatang kecil yang bersahutan.
"Hm ...." Aku menepi, duduk di bangku yang ada di koridor. "Jika temanmu jatuh cinta, apa kamu akan merasakannya juga?"
Sanji ikut duduk, menatap langit yang masih menurunkan rintik hujan, namun hanya gerimis.
"Sepertinya begitu."
"Dan lo tau? Gue ngerasain hal yang sama dengan temen gue sekarang."
"Apa itu?" tanyaku mulai tertarik.
"Jatuh cinta."
Hatiku berdenyut entah kenapa. Apa karna aku menyukainya sejak pertama melihat?
"Pada orang yang sama," lanjutnya. Aku semakin meringis dalam hati, beruntung sekali cewek itu. Dan siapa yang akan menjadi saingan Sanji dalam memperjuangkan cewek itu. Sungguh, cewek itu sangat beruntung!
"Dan cewek itu lo, Fir."
Uhuk! Aku tersedak ludahku sendiri. Rasanya aku mulai budek, tadi dia bilang apa?
"Tapi gue gak bisa perjuangin lo." Dia menatap ke arahku sambil tersenyum pahit. Lalu kembali menatap ke atas langit. "Gue gak bisa khianatin Tuhan gue dengan memilih orang yang gue sadari cinta sama dia beberapa hari yang lalu."
Aku semakin bingung. Kenapa jadi seperti ini pembahasannya? Bukankah tadi sedang membahas cewek yang diperebutkan dirinya dan temannya. Dan entah geledek dari mana cewek itu adalah aku?
"Kita beda agama, Fir. Gue lebih sayang Tuhan gue. Jadi ... gue rasa gue berhenti di sini buat cinta sama lo."
Oh tunggu! Apa dia sedang memberi tau perasaannya sejak tadi?!
"Hahh ... gue lega bisa ungkapin ini." Sanji menarik kedua tangannya ke udara mengeliat sambil menghela napas. "Semoga lo gak benci sama gue karna gue ungkapin ini, Fir."
Oh ayolah! Kenapa lidahku kelu sekali?!
"Jadi dengan siapapun itu, gue akan selalu dukung." Tangannya terangkat mengelus pucak kepalaku. "Tapi gue gak akan terima kalo lo disakitin. Meski itu sahabat gue sendiri."
"Jadi alasan kamu diam selama ini ... adalah ini semua?" Yas! Akhirnya aku bisa bicara!
Sanji mengangguk. "Gue gak mau nyakitin orang yang gue sayang."
Aku menggigit bibir bawahku. Kenapa rasanya sakit ketika mendengar dia mengungkapkan semua isi hatinya. Karna nyatanya, dia tidak bisa memilikiku.
"So, temenan aja gimana?"
Aku meliriknya, ternyata sedang menatapku juga. Kepalaku mengangguk singkat. "Why not?"
"Sudah, ayo pulang." Sanji berdiri, menatapku sambil tersenyum. Aku mau tak mau ikut berdiri. Ini memang sudah malam, dan anehnya aku tak takut meski sekolah sudah nampak horor. Apa karna Sanji?
"Pake earphone gue, biar lo gak denger suara hujan."
Aku menunduk malu sambil menerima earphone putih itu. Malu akan kejadian di kelas tadi. Aku yang ... ahk! Bodoh, kenapa aku memeluknya?! Dan dia yang memegang kedua tangaku, bernyanyi sampai hujan benar-benar reda. Hal yang membuatku melupakan hujan selain pelukan Ibu.
Aku dan Sanji kembali berjalan menuju parkiran. Lagupun sudah mengalun, aku sungguh tidak mendengar apapun selain lagu ini.
Saat tiba di parkiran, Sanji berdiri di depanku. Dia langsung menaikan hoodie jaket yang ku pakai tanpa bicara menutup belakang kepalaku. Namun mulutnya bergerak seperti mengucapkan kata hujan.
Sanji membantuku menaiki motor besarnya. Lalu pergi keluar area sekolah dengan cepat. Tangaku yang berada dibahu lebarnya kini beralih ke pinggang karna ulah Sanji. Dia menahan tanganku agar tidak kembali ke bahu.
Aku tersenyum simpul. Meski tak bisa sama-sama berjuang, setidaknya aku tau, bahwa sekarang cintaku tidak bertepuk sebelah tangan.
---
To be continue 💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Fira Florin
Novela Juvenil(Nulis pas jaman jamet, harap maklum). "Jika cintamu bak hujan, maka dengan senang hati aku memakai payung untuk melindungi diriku. Namun saat melihat orang lain menikmati hujanmu, aku pun ingin merasakannya." -Fira Florin. "Kau paling unik, ket...