Hari ini aku dihantar Bapak ke sekolah, karna Migi tak menjemputku. Bahkan kemarin saja aku dihantar pulang oleh Sanji. Entah kemana itu anak.
"Fira!" Aku menoleh, Manda sedikit berlari menghampiriku. "Bareng."
Jadilah kami berjalan beriringan menuju gedung sekolah. Saat melewati parkiran, sebuah motor melewat ke depan kami tanpa kesan selow. Pandanganku mengikuti motor itu sampai berhenti di satu tempat parkir. Cewek berambut sebahu yang ada di boncengannya turun begitu elegan. Dan saat cowok si pengemudi membuka helm full face itu, aku mengenalinya.
"Itu Kak Migi bukan?" tanya Manda. Aku mengangguk sambil cengo.
Aku cengo, karna cewek itu, cewek yang membuliku waktu itu. Jadi mereka? Aku mengepalkan kedua tanganku begitu erat.
"Pergi, Man."
Aku pergi, menyalip mereka yang kebetulan akan sama masuk ke gedung sekolah.
"Cih, najis!" celetuk Manda saat melewati mereka. Aku tak peduli, aku tetap berjalan cepat memasuki koridor. Benarkan keputusanku kemarin? Akan kubuang rasaku untuknya.
"Bangsat banget tu cowok, bilang Fir mau gue apain?" sungut Manda dengan emosi. Aku hanya diam duduk di bangku tanpa ekspresi. Sungguh kesalahan besar aku mempunyai rasa ini padanya."Aku mau tidur, Man."
Kuletakan kepalaku di atas meja, memutarnya menjadi menghadap tembok. Kugigit bibir bawah menahan rasa sakit di dadaku. Perlahan air mataku jatuh.
"Migi, aku terlanjur suka sama kamu."
◇◇◇
Aku mengaduk mie ayam tak selera. Kejadian tadi pagi membuat moodku hancur. Manda dan Angel pun tak ada yang berani membuka bicara atau sekedar memberi celotehan lucu.
Netraku menangkap satu pemandangan tak enak lagi sekarang. Sekumpulan cowok di satu meja di depan mejaku dengan beberapa cewek berada di antara mereka. Termasuk cewek berambut sebahu yang tadi pagi. Lebih parahnya Migi merangkul leher cewek itu.
"Bos, ada Fira," ujar salah satu dari mereka.
"Weh, Adek cenayang!" pekik Tian.
Tatapan Migi bertemu dengan mataku. Tatapan yang berbeda, bahkan sangat datar. Dia langsung memalingkan muka.
"Biarin, toh bukan siapa-siapa gue."
Semua Warior langsung diam. Tian pun yang sedang berontak ingin menghampiriku langsung duduk.
"Setan," gumam Manda pelan.
Aku memegang sendok dan garpu dengan erat, menatap Migi dengan tajam.
"Kok Bos ngomong gitu? Dia 'kan Fira manisnya Bos," ucap Rival.
Migi terkekeh pelan. "Itu kemarin."
Cukup! Aku berdiri cukup keras membuat semua murid yang menonton kami menoleh serentak.
"Aku duluan, Man, Ngel."
Setelah pamit, aku pergi dari sana. Meninggalkan kantin yang suasananya mencekam bagiku.
Sementara di kantin, Sanji memasang wajah datarnya. Dia pun beranjak berdiri.
"Mau kemana?" tanya Kin.
Sanji menatap Migi dan teman-temannya satu persatu.
"Gue gak mau satu meja sama cewek yang buli Fira," ucap Sanji datar. Dia benar-benar pergi dari sana.
◇◇◇
Entah sudah berapa tisu yang aku pakai untuk mengusap wajahku yang basah. Ini sungguh bukan tipeku menangisi seorang cowok seperti Migi. Tapi aku tak bisa bohongi hatiku. Ini menyakitkan.
"Butuh bahu?"
Aku mendongak, Sanji tersenyum kecil. Dia ikut duduk di atas rumput taman belakang ini. Tangannya menarik kepalaku pelan menjadi menyandar di bahunya. Air mataku kembali luruh.
"Temen kamu gitu ya?" tanyaku di sela tangis.
"Iya."
"Kamu juga gitu?"
"Nggak."
"Yakin?"
"Nggak."
"Ih!"
Sanji tertawa pelan. Dia membereskan rambut kecilku yang berantakan.
"Udah nangisnya?"
Aku mengangguk kecil.
"Nih." Sanji menyodorkan sebuah coklat. "Katanya bisa balikin mood."
Aku menerimanya dengan senang hati, langsung membukanya.
"Lo masih inget ucapan gue waktu itu?" tanya Sanji masih menerawang ke depan. Aku menggeleng dengan mulut penuh coklat.
"Yang gue gak bisa berjuang." Seketika aku langsung mengangguk. "Lo inget yang gue gak rela lo disakitin?"
"Inget."
"Gue rasa sekarang gue lagi gak rela."
"Meski itu temen kamu sendiri?" tanyaku memastikan. Dia mengangguk pelan.
"Gue ngedukung lo buat bahagia, bukan buat sakit hati kayak gini." Sanji menatapku, mengusap pipiku yang masih basah. "Karna kalo lo bahagia, gue bahagia. Tapi kalo lo sakit, gue lebih dari itu, Fir."
Sanji mendekatkan wajahnya menjadi lebih dekat. Lalu mengecup pucak kepalaku, begitu lama.
"Izinin gue balas ketidakrelaan ini."
Aku menggeleng tak setuju.
"Please, gue janji gak sampe bunuh dia."
"Sanji!" pekikku. Dia tertawa keras.
"Serius amat sih, nggak kok."
Sanji kembali menarik kepalaku untuk bersandar di bahunya.
"Sanji ...."
"Hm."
"Makasih."
"Hm, karna gue sayang."
---

KAMU SEDANG MEMBACA
Fira Florin
Teen Fiction(Nulis pas jaman jamet, harap maklum). "Jika cintamu bak hujan, maka dengan senang hati aku memakai payung untuk melindungi diriku. Namun saat melihat orang lain menikmati hujanmu, aku pun ingin merasakannya." -Fira Florin. "Kau paling unik, ket...