"Migi! Jangan mati dulu! Aku belum minta maaf!"
Aku kembali berteriak lirih. Tidak, aku tidak menangis, garis bawahi itu! Aku hanya cemas dia benar-benar mati. Tapi kenapa, aku mulai terisak?
"Fftt ... bhahaha!"
Aku menatap Migi yang juga menatapku dengan tawanya yang tanpa dosa itu. Jangan lupakan posisi kita, kepala dia yang berada di atas pahaku. Tunggu, dia tertawa?
"Lo ngomong apaan sih," ujar Migi.
Migi berusaha duduk sempurna, menghadap ke arahku yang masih duduk dalam mode loading. Sementara Migi masih tertawa, aku merasakan bibirku bergetar hebat. Dan sedetik berikutnya, isakanku keluar begitu saja bersamaan air mataku yang meluncur jatuh.
"Eh, kok nangis sih?!" panik Migi setengah mati. Tanpa peduli aku terus menaangis kencang.
"Kau pikir ini lucu, Migi?! Hikss ...." Aku membekap mulutku sendiri agar tidak keluar isakan lagi. Tapi percuma, ini sulit.
Migi terdiam sebentar, lalu menarik pinggangku menjadi lebih dekat dengannya. Sedetik berikutnya aku sudah berada dalam dekapannya. Aku semakin terisak di dada bidangnya yang terbalut kaos putih polos yang kini sudah basah.
"Maaf," bisiknya. Tangannya mengelus punggungku pelan.
"Jangan lakukan lagi," ucapku parau. Migi tak menjawab, dia malah melepas pelukannya dan menangkup pipiku yang basah. Ibu jarinya mengusap seluruh pipiku, mencoba mengilangkan jejak air mata.
"Fira, jika terasa sesak di dada saat melihat orang yang disayang menangis, apa itu normal?" tanya Migi begitu polos. Bahkan aku nyaris tertawa jika lupa dengan kondisiku sekarang yang masih sesegukan.
Aku menggeleng pelan. "Tidak, kamu 'kan gak penah normal."
Dia mempoutkan bibirnya, kenapa begitu lucu? "Tentu saja normal! Fira harus mengakuinya!" ucap Migi yang menyerupai anak kecil merengek minta permen kapas.
Aku tertawa seraya memukul wajahnya pelan. Migi kemudian tersenyum puas. Dia kembali menyapu pipiku dengan jarinya.
"Maaf, tadi tidak bermaksud. Pening itu tiba-tiba datang," katanya sambil tersenyum. "Ini cuman demam biasa, gue gak akan mati, tenang aja."
Aku kembali meninju bahunya, dia sedikit bergerak ke belekang, apa selemas itu? Aku hanya meninjunya pelan.
"Tetap saja, kamu membuatku takut."
"Takut kehilangan gue?"
Oh ghost! Baru saja aku bersyukur dia tidak banyak bergembel!
"Takut aku menjadi orang pertama yang kamu gentayangi kalau kamu mati."
Migi tertawa pelan, aku tak sengaja menatap bibirnya yang sedikit pucat membiru. Tanganku terulur begitu saja meraba dahinya.
"Mi, kenapa bisa di sini?" tanyaku masih menempelkan telapak tangan.
"Kangen Fira manis." Ya, sama seperti ucapan pertama tadi.
"Demamnya sudah berapa hari?" Migi menaikan tiga jarinya. "Udah ada penanganan belum?" Migi menggeleng pelan. Aku menghela napas. Tiba-tiba Migi memegang pergelanganku.
"Fira, kepala Migi pusing lagi?"
Aku kembali panik saat Migi menaruh dahinya di bahu kecilku. "Hya! Jangan pingsan lagi!"
"Nggak, gini aja biar pusingnya ilang," gumamnya pelan. Aku semakin panik, kenapa suaranya kembali lemas seperti ini?
"Migi bawa ponsel?" Kepala Migi mengangguk pelan. "Dimana?" Cowok itu berniat mengambil ponselnya, namun dengan cepat aku yang mengambilnya dari saku jaketnya.
Secepat kilat aku menyalakan ponsel itu. Pakai sandi, ya ampun!
"Nama lo." Migi bersuara seakan mengerti kebingunganku. Benar, Fira Florin kata sandinya. Aku tak peduli itu sekarang. Aku langsung membuka kontak, mencari satu nama. Ketemu, Sanji! Sambungan mulai terdengar. Namun Migi meramas seragam bagian punggungku begitu erat.
"Migi pusing, ahk--" tangan kiriku mengelus kepalanya pelan, sedangkan tangan kananku memegang ponsel dekat telinga.
"Ha--"
"Komplek Permata Indah jalan Nusantara, sekarang!" pekikku saat panggilan terhubung. Kentara sudah kecemasan berlipat saat Migi semakin mengeratkan cengkraman di seragamku. Apa sesakit itu?
"Warior kesana."
Panggilan terputus. Aku memasukan ponsel Migi ke saku bajunya, mencoba menenangkan Migi yang semakin menggeram sakit.
"Fira, Migi sayang Fira," racau Migi di sela ringisan sakitnya. Bodoh, masih bisa ngegembel di saat seperti ini!
"Fira jangan bentak Migi lagi."
Kini ingatanku terlempar pada tiga hari yang lalu, saat aku membentak Migi di dekat halte. Aku menggigit bibir merasa bersalah. Bukankah seseorang kadang demam karna pikirannya berat pada suatu masalah? Selama ini itulah yang ku alami.
Migi mulai terkulai lemas. Dia benar-benar menjatuhkan tubuh tingginya pada bahuku. Di saat itu pula suara knalpot motor bersahutan mendekat. Aku mendongak, itu Warior. Mereka cepat-cepat menaruh motornya sembarangan, mendekat ke arah kami. Terutama Sanji, dia membawa mobilnya tepat di depanku.
Semua anggota Warior menggotong Migi yang sudah kehilangan kesadarannya, wajahnya semakin pucat. Pintu mobil ditutup dan langsung melesat pergi dengan kecepatan yang dikatakan gila.
"Sanji .... "
Cowok yang kini menatapku hanya menghela napas, lalu menghapus air mataku yang entah sejak kapan jatuh lagi.
"Migi ...."
"Susst, Migi akan baik-baik saja."
Aku langsung runtuh, terduduk kembali. Rasanya tenagaku habis hanya untuk mencemaskan Migi tadi. Sanji jongkok di depanku, mengusap punggungku pelan.
"Kuantar pulang, Migi akan menghukum kami jika membiarkanmu sakit."
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Fira Florin
Novela Juvenil(Nulis pas jaman jamet, harap maklum). "Jika cintamu bak hujan, maka dengan senang hati aku memakai payung untuk melindungi diriku. Namun saat melihat orang lain menikmati hujanmu, aku pun ingin merasakannya." -Fira Florin. "Kau paling unik, ket...