Answer

5.7K 256 2
                                    

Drtt

Drtt

Cowok itu mendesah pelan. Sudah berapa kali ponsel di bawah bantalnya itu bergetar. Dia bahkan baru tidur subuh tadi karna acara prom night malam tadi menyita waktu tidurnya. Dia memilih mengacuhkan ponselnya, lagi.

Drtt

Drtt

"Shit!" Umpatnya segera duduk. Dia menatap layar ponselnya. Semua panggilan tak terjawab dari anggota Warior.

"Si tai, ngapain mereka nelpon gue sebanyak ini di pagi buta?"

Drtt

Nah, ponsel itu kembali bergetar. Rival. Dia langsung mengangkatnya.

"Hm," dehemnya bak bangun tidur.

"Nauzubilah, Migi! Lo belum bangun jam sebelas siang gini? Setan kesiangan lo?" pekik dari sebrang.

"Napa?" tanya Migi tak bersemangat. Tampak di sebrang terdiam seperkian detik.

"Lo ke taman Florin deh sekarang."

Migi terlonjak kaget. "Florin? Fira? Udah pulang?!"

Di sebrang tampak diam, lalu mendesah kesal. "Heh kadal buntung! Gue kata taman Florin, bukan Fira Florin. Lo kalo bangun biasain pasang kuping dulu."

Bahu Migi yang naik karna semangat langsung turun seketika.

"Ngapain?"

"Si tai, ngirit banget lo kalo ngomong. Udah lupa lo sama ketemuan kita? Lumutan ini!"

Migi tampak berpikir di waktu kantuknya. "Oh, yang mau bahas universitas?"

"Sailoh, au lah bangsat, kesel gue. Cepet dateng, atau gue kirimin banci ke rumah lo."

Seketika Migi terlonjak takut.

"Berani lo mati di tangan gue. Otw!"

Migi menggaruk kepalanya dulu, lalu beranjak ke kamar mandi. Setelah beberapa menit, dia keluar dengan balutan kemeja berwarna hitam, celana jeans putih. Dia menatap dirinya di cermin dan mengacak rambutnya, menambah kesan maskulin.

Saat akan mengambil kunci mobil, dia menatap tanggal kalender yang dilingkari. Dia tersenyum kecut.

"Tanggal 10 yang ke enam."

Ya, sudah enam bulan gadisnya pergi berobat. Dia mengusap tanggal itu lalu bergegas pergi. Dari pada didatangkan banci oleh teman-temannya.

---

Migi menatap langit dari tempat duduknya di tengah taman. Sedikit mendung. Lalu berdecak pelan.

"Ni sembilan bocah pada kemana elah? Nyuruh gue nunggu di sini. Gak takut gue diculik nenek gayung apa?"

Entah sudah gerutuan ke berapa, Migi sudah sangat kesal. Sudah tiga puluh menit dia menunggu.

Dia kembali menatap langit. Ah, dia teringat akan gadisnya.

Tiba-tiba sebuah payung menutupi awan mendung yang sedang ia tatap. Dia merengut bingung, payung itu seperti disodorkan dari belakang. Dia menoleh untuk memastikan. Dan, waktu seakan berhenti.

"Fira ...."

---

"Fira ...."

Aku tersenyum lebar, bergerak untuk berdiri di depan Migi. Cowok itu tampak masih syock.

"Halo, Migi manja."

Perlahan, Migi merekahkan senyumannya. Ya, bahagia mulai tersirat dari wajahnya.

Rintik hujan mulai membasahi payung milikku. Tanpa gerimis lagi tapi langsung deras. Migi langsung berdiri panik.

"Cepat pulang!" paniknya seraya menarik tanganku untuk segera pergi. Namun aku tetap diam di tempat.

"Fira, ayo!"

Aku menggeleng pelan membuat Migi kebingungan sendiri. Perlahan tanganku melepas genggaman payung sampai terlepas sempurna. Membiarkan hujan membasahi kulitku.

Migi terlonjak kaget. Dia segera meletakan telapak tangannya di atas kepalaku.

"Lo ini apa-apaan?! Ayo cepet pulang!"

Aku lagi-lagi menggeleng. Tersenyum menanti reaksi Migi selanjutnya.

"Fira ...." suara Migi melirih, dia menatapku penuh arti. Aku mengagguk pelan. Sedetik kemudian dia kembali tersenyum lebar.

"Yeah!! Fira sembuh!!" pekik Migi dengan girangnya. Dia sampai melompat-lompat karna senang.

"Migi sayang Fira!" teriaknya kemudian, membuatku melotot kaget. Dia terkekeh sambil menatapku, kemudian mempertipis jarak kami, memeluk pinggangku dengan lembut.

"Rindu Fira manisnya Migi."

Aku hanya bisa tersenyum di balik pelukan ini.

"Jadi, apa yang Fira pilih? Menikmati hujan bersama Migi atau menikmati bintang bersama ...."

"Pertama," sahutku cepat. Migi menatapku bingung.

"Ramon bagaimana?" tanya Migi. Aku tersenyum simpul, lalu melepas pelukan kami.

"Itu." Migi mengikuti telunjuk ku. Di sanalah berdiri dia, Ramon Baskara. Dia memegang payung untuk melindungi tubuhnya.

Ramon ikut tersenyum lebar seraya berjalan mendekati kami.

"Dia bahagia sama lo, Bro."

Migi terdiam.

"Lagian tiga puluh menit lagi gue bakal terbang ke Amrik, balik karna bokap gue harus kerja di sana. Dan gue rasa bahagianya Fira ada di lo."

Migi mengangguk yakin.

"Jaga dia, Gi. Kita percaya bahagia Ratu hati kita ada pada lo."

Lagi, Migi mengangguk yakin. Kita, kenapa ada kata Kita? Karna Migi tau, bahwa yang menyatakan perasaan padaku bukan dirinya saja.

"Florin, ajak Migi melihat bintang. Rindukan aku kalo perlu."

Aku tersenyum simpul, lalu mengagguk pada akhirnya.

"Teruslah bahagia, Florin."

Tak tahan, aku mendekatinya untuk memeluknya dengan erat. Ramon sampai melepas payungnya, ikut basah seperti aku. Sama, dia mengelus punggungku pelan.

"Jaga diri baik-baik. Ram pergi dulu," ucapnya lalu mengecup pucak kepalaku begitu lama. Dia melepas pelukannya.

"Nih gue balikin, muka lu kayak bebek nyebur got," ledek Ramon seraya menggeser tubuh ku. Aku tertawa renyah.

"Gue pergi yah, awas lo, jaga ade gue!"

"Gak perlu lo ingetin, kewajiban suami ya gitu- aduh!" Migi meringis saat aku mencubit pinganggnnya, enak saja suami.

"Bye! Ramon Baskara yang tampan pergi dulu."

"Najis," ledek Migi, lalu tertawa pelan.

Berdamai dengan masa lalu, itu langkah pertama untuk menyusun masa depan.

"Ayo, kita main ujan-ujanan!" pekikku.

Untuk saat ini, aku bisa merasakan terpaan air yang jatuh dari langit ini dengan leluasa, tanpa adanya rasa sakit dan dengungan. Dan satu hal yang menjadi bahagia hujan sepenuhnya aku dapatkan, seseorang yang menjadi alasan aku berani menyentuh hujan. Migi Prasetya.

---

Fira FlorinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang