Aku menghela napas berkali-kali. Sepanjang koridor yang aku lewati, semuanya menatapku horor. Apalagi kelas Bahasa yang berada di lantai ujung, yang berarti harus melewati koridor kelas IPA dan IPS.
Semua ini karna Migi. Ah, bukan karna dia-nya, tapi karna tanganku dan tangannya yang diikat oleh jaket yang sama. Iya, diikat! Antara tangan kiriku dan tangan kanan dia. Jadilah pusat perhatian. Aku menunduk kecil.
Begini ceritanya ....
"Eit! Mau kemana?"
Migi menahan pergelangan tanganku saat akan keluar parkiran. Benar, aku berangkat bersama Migi lagi. Sepertinya Ibuku terlalu baik lagi.
"Mau ke kelas lah!" ujarku seraya menarik pergelangan. Tapi Migi semakin erat memegangnya.
"Gak bisa gitu! Sekarang lo harus jalan barengan sama gue sampe kelas!" paksa Migi. Aku melotot tak percaya.
"Apanya? Nggak!" Aku kembali berontak ingin lepas. Dan berhasil! Saat kembali berjalan, rambut panjangku ditarik dari belakang.
"Ahk!"
"Jalan sama gue atau gak dilepas?"
"Gak dilepas!" pilihku cepat. Dia semakin menarik rambutku. "Ahh ... iya iya!"
Migi melepaskan kuciranku yang agak berantakan sekarang. "Puas?!" gertakku. Untuk berangkat bersama saja aku engan, sekarang minta lebih!
"Belum," sahut Migi. Dia kembali memegang pergelanganku.
"Ayo." Dia memimpin jalan.
"Apanya? Jalan bareng aja, gak usah pegang-pegang!"
Migi tampak menghela napas kasar, dia melepas genggamannya, beralih melepas jaket abu-abunya. Lalu mengikatkan jaket itu pada tanganku dan tangannya.
"Gak usah protes."
Dan aku langsung tertarik karna dia jalan lebih dulu. Katanya bareng, malah ditarik, tai ledig kamu Mas.
Nah, gitu guys. Miriskan?
"Sampe," kata Migi. Dia berhenti melangkah di depan kelas Bahasa 1, kelasku.
"Gak usah dikasih tau!" sungutku.
"Ya udah masuk gih."
"Ininya dulu, bocah." Aku mengangkat tanganku yang masih terikat.
"Oh iya." Migi nyengir kuda. Mirip dah.
Migi melepas ikatan jaketnya, lalu kembali memakainya.
"Dah Fira m---"
Aku langsung masuk tanpa peduli lagi apa yang dia ucapkan.
"Dah Fira manis!" teriaknya sampai menggema di kelasku.
Aku menunduk malu di bangku. Pasalnya kelas sudah cukup ramai.
"Ya Allah!" erangku frustasi.
"Napa, Fir?" tanya Angel. Dia baru datang rupanya. "Kok muka lo merah?"
"Hah?"
Aku meraba pipiku pelan, sadar apa yang terjadi. Cepat-cepat aku mengambil cermin dari tas, untuk memastikan benar atau salah.
Sial, benar kata Angel.
"Orang pacaran mah gitu, cepet merah pipinya," celetuk Manda. Aku menoleh ke belakang, dia sedang mencatat salinan tugas.
"Pacaran? Siapa?" tanya Angel. Sumpah, pipiku kembali memanas.
"Ini bocah lah!" Manda mengetuk kepalaku dengan balpoin. "Dianterin sampe kelas sama Kak Migi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fira Florin
Teen Fiction(Nulis pas jaman jamet, harap maklum). "Jika cintamu bak hujan, maka dengan senang hati aku memakai payung untuk melindungi diriku. Namun saat melihat orang lain menikmati hujanmu, aku pun ingin merasakannya." -Fira Florin. "Kau paling unik, ket...