"Hai."
Satu sapaan itu terus mengiang di kepalaku. Bahkan aku sampai lupa bagaimana berpijak.
"Fira!"
Aku tersadar, lho, kenapa aku ada di dekapan Sanji?
"Fira! You okay?" tanya dia. Aku mengerjap bingung.
"Memang aku kenapa?"
Sanji membantuku untuk berdiri tegap. Aku baru sadar aku berada di anak tangga.
"Lo kenapa ngelamun gitu? Di tangga lagi, bahaya Fira."
Aku menatap Sanji, bahagia rasanya melihat dia secemas itu. Namun senyumku luntur saat mengingat malam itu. Huft ...
"Fira, tuh ngelamun lagi."
"E-eh? Kenapa?"
Sanji membuang napasnya. "Gue anterin pulang." Dia menarik tanganku. Aku menggigit bibir, menatap tangan kami lirih. Aku harus lupakan perasaan ini.
"Pakai," katanya seraya memberiku helm berwarna merah.
"Kamu?"
"Lo lebih penting."
Aku meneguk ludah. Lagi-lagi aku tak bisa menerima takdir ini. Aku sungguh menyukainya sejak pertama melihat. Dan kenapa takdir ini menyakitkan?
Sanji memakaikan helm itu karna aku tak kunjung menerimanya.
"Gue gak suka lo bengong gitu." Sanji mencolek ujung hidungku. "Mau cerita?"
Aku menunduk takut. Bagaimana aku menceritakannya?
"Hei?" Sanji menaikan daguku dengan telunjuknya. "Mau?" Kepalaku mengangguk pelan.
"Yuk, naik."
Sanji naik lebih dulu diikuti aku. Dia mulai menjalankan motornya keluar area sekolah. Dan di sinilah sekarang, di depan sebuah danau alami.
Kami duduk tanpa alas apapun, menatap lurus ke depan dalam diam.
"Jadi?" Sanji mulai pembicaraan.
Aku diam cukup lama ternyata. Kutarik napas dalam-dalam.
"Seseorang yang kubenci kembali datang."
◇◇◇"Ka- kamu ...."
Dia memperpendek jarak kami dengan mulai mendekat. Wajah datar itu tampak kentara di mataku. Aku mundur beberapa langkah ketika dia mulai mendekat, dan dia pun berhenti, semakin menatapku tajam.
"Diam."
Suara berat itu bak menghipnotisku. Dia mengambil bola yang aku pegang, lalu membuangnya entah kemana. Dan detik itu juga dia memelukku begitu erat. Napasku tercekat, tak tau harus apa dan bagaimana. Wangi ini, tetap sama. Hangat ini, tetap sama. Pelukan ini, tetap sama.
"Do you miss me?"
Iya.
"No." Jawabku datar.
Kami hening. Dia masih memelukku tanpa aku balas. Aku bagai boneka yang ia peluk sesuka hati dan mainkan seenak jidat. Membawaku ke setiap permainannya, lalu meinggalkanku ketika makan siang tiba. Ya, itu ibarat dia dan aku. Aku sebagai boneka, dan dia pemiliknya.
"Lepas," ucapku dingin. Dia tetap tak bergeming. "Are you deaf?"
"Yes, all about you I deaf."
"Cih!" Aku berdecak kasar.
Dia melepas pelukannya, mengusap rambutku pelan.
"Don't cry."
Ah, apa pipiku sudah basah?
Dia tersenyum sebelum berbalik pergi. Aku terisak pelan, senyuman itu yang selalu aku inginkan sejak dulu. Tapi kenapa rasanya sulit aku terima untuk sekarang. Aku bersimpuh di lapangan begitu sama, membiarkan rambutku menutupi wajah lemahku.
"I hate you, Ramon!"
"But I love you, Florin." Balas dia sebelum menghilang.
"Nggak!!"
"Fira? Fira, ini Ibu."
Aku membuka mataku dengan sempurna. Ibu tampak menatapku khawatir, begitu juga Bapak yang ikut menatapku was-was.
Dengan cepat aku memeluk Ibu dengan erat. Ibu mengelus punggungku pelan, sesekali mengecupi pucak kepalaku.
"Itu hanya mimpi, sayang. Ada Ibu di sini."
Tidak, itu nyata Bu.
"Kamu aman, nak." Bapak ikut menenangkan ku.
Aku tidak menyangka pertemuanku dengannya tadi siang sampai mengantui mimpiku.
Sebegitu besar pengaruh kehadirannya padaku. Setelah dia pergi meninggakanku di bawah derasnya hujan. Lalu apalagi yang akan ia lakukan pada hatiku yang rapuh ini?
◇◇◇
Migi mempercepat laju motornya, tak peduli dengan umpatan semua orang. Satu yang ingin ia luapkan. Amarah. Ia tak rela. Tak rela melihat gadisnya di dalam pelukan orang lain.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Fira Florin
Teen Fiction(Nulis pas jaman jamet, harap maklum). "Jika cintamu bak hujan, maka dengan senang hati aku memakai payung untuk melindungi diriku. Namun saat melihat orang lain menikmati hujanmu, aku pun ingin merasakannya." -Fira Florin. "Kau paling unik, ket...