Dan untuk kedua kalinya, aku berdiri tak tau harus apa. Pertama, ketika di depan markas Warior, dan yang kedua di sini. Tepat di depan pintu kelas 12 IPS 1.Aku meneguk ludahku sendiri. Kurasa keputusan yang kuambil beberapa menit yang lalu salah. Keputusan untuk mencarinya.
Aku menggaruk kepala resah. "Balik ke kelas aja dah," celetukku seraya memutar tubuh. Baru dua langkah, sebuah tangan menahanku pergi. Sontak aku menoleh.
"Ngapain di sini?" tanya Sanji. Dia memasukan kedua tangannya di saku celana. Kok makin ganteng?
"Yeh, malang bengong!" Tangan besarnya mengusap wajahku pelan seraya terkekeh.
"O-oh. Ini ...."
"Migi 'kan?" Tebaknya cepat. Oh, tepat syekalih kakak pipit ini . "Dia ada di rooftop jam pulang gini," lanjutnya.
Ah, jadi begitu. Pantas waktu itu aku bertemu dengannya di rooftop.
"Perlu gue anterin?" Aku menggeleng cepat.
"Cuman mau tau keadaan dia, Kak. Kata Ibu kemarin dia bantuin aku pas ... kumat."
Sanji tersenyum kecil. "Lo tenang. Migi gak selemah itu."
"Bukan itu." Aku menunduk menatap ujung sepatu. "Aku cuman takut dia jijik sama aku kar-- ...."
"Ngomong apa?"
Kepalaku langsung menoleh saat mendengar suara yang memotong ucapanku. Orang itu bersandar di tembok dengan permen gagang yang membuat pipi putihnya menyembul bulat. Dia menatap ke arahku lalu mengeluarkan permen dan membuangnya.
"Jangan ngomong gitu lagi," ucapnya. Dia berdiri tepat di depanku, memasang senyum yang ... wah! Senyum setan!
"Tapi--"
Dar!
Bagai petir di siang hari saat tangan Migi menutup mulutku. Sontak aku bungkam di tempat.
"Pulang, nanti keburu ekhm ... air turun dari langit."
Migi menggerakan bahunya merasakan tak enak. Apa dia sudah paham sejauh itu atas keadaanku?
"Ka- kalo gitu aku pulang duluan." Dengan cepat aku memutar tubuhku, berajalan tanpa kembali menoleh.
Saat tiba di kelas, aku langsung mengambil tas dan kembali keluar kelas. Namun saat di pintu, ada sosok yang mengagetkanku.
"Astagfirallah, Migi!"
"Ehe ... pulangnya bareng gue. Yuk!" Migi menarik tanganku tanpa menunggu persetujuan. Sepanjang jalan sampai parkiran aku hanya diam, padahal Migi sudah berkoar ini dan itu. Aku tidak percaya dia bisa seceria ini. Bukankah dia sosok cowok tinggi yang dingin?
"Helmnya buat gue aja yak, nanti kena tilang," ucapnya seraya memakai helm full face itu.
"Bilang aja ketombean," celetukku. Tawa Migi pecah begitu saja.
"Duh, Fira manis yang galak bisa lawak juga." Migi memencet hidungku gemas.
"Ish! Apaan sih kamu!" Tepisku cepat. Migi kembali tertawa.
"Ayo naik!" perintah Migi saat dia sudah duduk nyaman di atas motor besarnya. Aku naik tanpa menerima telapak tangan Migi untuk bantuan. Dih, kesempatan tu anak.
Dalam perjalanan pun kami tetap diam. Migi fokus dengan kemudinya. Saat aku melihat sekitar, lho ... komplek aku kelewat.
"Gi, ini kita mau kemana? Komplek aku kelewat."
Bukan menjawab, Migi malah menambah kecepatan motornya. Aku sampai memegang tasnya erat karna kaget. Tanpa disangka, Migi menarik tanganku menjadi memeluk pinggangnya. Aku tertegun, ini sama seperti yang Sanji lakukan waktu itu.
Motor Migi memasuki daerah perumahan yang hampir semua megah setelah dilewati. Lajunya kian memelan, lalu berhenti di depan pagar yang menjulang tinggi. Rumahnnya pun bagai istana disney bagiku.
Migi membunyikan klakson, lalu pagar itu terbuka dengan perlahan. Saat sudah cukup untuk motor, Migi memasukan motornya ke halaman rumah itu. Ya ampun, kenapa besar sekali. Saat benar-benar berhenti, aku secepatnya turun.
Setelah melepas helmnya, Migi menatapku lalu tertawa keras.
"Lo sejak kapan punya rambut singa?" tanyanya di sela tawa.
"Hah?"
Lagi-lagi aku terkejut bukan main. Tangan Migi merapikan rambutku yang entah kenapa. Lalu tersenyum lebar. "Tetep manis kok."
"Mau ngapain ke sini?" tanyaku.
"Masuk aja, yuk!" Migi akan menarik tanganku, tapi aku menjauh.
"Gak mau."
"Banyak temen gue kok, Warior juga lagi kumpul."
Aku melotot kaget. Apa-apaan ini? Jadi aku akan bertemu Warior itu, dan aku hanya sendiri yang tak tau mereka siapa. Bisa-bisa aku jadi santapan mereka.
"Tapi, nanti aku gak kenal mereka," elakku sepintar mungkin. Migi membuka mulutnya akan kembali bicara.
"Masuk aja." Ucapan seseorang mengurungkan niat Migi bicara. Mataku menangkap sosok Sanji. Dia berjalan mendekat sambil tersenyum kecil.
"Kita gak sebrengsek itu mainin cewek."
Setelah itu, Sanji pergi memasuki rumah besar itu. Aku beralih menatap Migi.
"Tuh, Kakak gue jadi bersabda 'kan? Ayo!"
Kali ini aku menurut saja dibawa kemana. Semakin dalam semakin kagum pula diriku. Tapi ada yang aneh. Sepi.
Kami menaiki tangga sampai menemukan pintu. Setelah pintu itu dibuka, angin menerpa wajahku.
Ah, sejak kapan ada tempat seindah ini?
Ya, aku berada di rooftop yang sudah berubah drastis. Menjadi lebih kreatif. Bahkan ada banyak sofa dan tempat olahraga.
"Gengs, gue bawa ceweknya," teriak Migi.
Hah? Maksudnya?
◇◇◇
KAMU SEDANG MEMBACA
Fira Florin
Teen Fiction(Nulis pas jaman jamet, harap maklum). "Jika cintamu bak hujan, maka dengan senang hati aku memakai payung untuk melindungi diriku. Namun saat melihat orang lain menikmati hujanmu, aku pun ingin merasakannya." -Fira Florin. "Kau paling unik, ket...