Pelajaran selesai. Bel istirahat pun sudah berbunyi. Namun aku masih di dalam kelas, menelungkupkan kepala di atas meja. Bingung, ya ... sejak malam itu aku kebingungan dengan pernyataan dari mulut Migi. Kenapa dalam waktu seminggu ada dua orang yang menyatakan perasaanya padaku? Merumitkan. Dan keduanya tak ada yang menuntutku untuk menjawab. Keduanya membuatku pusing.
Sekelebat ingatan muncul, ketika Sanji menggenggam kedua tanganku. Menyanyi bersama untuk menghilangkan rasa takutku. Tiba-tiba senyum tipis terbit dari bibirku.
"Sanji ...." gumamku pelan. Aku tampak berpikir sejenak. Kemudian mengangkat kepalaku dengan cepat. "Ya! Sanji!" seruku seperti mendapat ide. Memang aku mendapat ide! Namun bahuku kembali turun saat ingat sesuatu.
"Tapi udah dua hari aku gak liat Migi di antara Warior. Gimana aku bisa ngobrol sama dia?"
"Apa terjadi sesuatu padanya?" tanyaku dengan pikiran yang sudah melayang entah kemana.
"Ah ... markas Warior!" Lagi, aku berseru seperti mendapat ide. Aku segera berdiri tanpa berpikir dua kali. Benar, ini jalan satu-satunya agar aku tau dia kemana.
◇◇◇
Bukannya masuk, aku malah berdiri mematung di depan gedung ini. Jika kemarin-kemarin aku datang dengan marah dan keberanian, beda halnya dengan sekarang. Aku punya rasa takut.
Aku berjalan memasuki bemper walau sambil meneguk ludah tak yakin, sampai tepat di depan pintu yang menjulang tinggi ini. Ragu-ragu tanganku terangkat, berniat mengetuk pintu. Namun belum sampai bersentuhan dengan pintu, pintu itu terbuka lebih dulu. Aku terkejut bukan main.
Cowok berjambul, Rival muncul di hadapanku dengan raut bingungnya. Aku semakin tak yakin.
"Ngapain?"
Mulutku mulai terbuka, tapi entah nama siapa yang akan kusebut, Migi atau Sanji?
"Eh, cari siapa?" tanya dia lagi.
"Sanji."
Eh, kok?
Rival memgangguk singkat, kemudian kembali masuk tanpa menutup pintunya. Beberapa menit kemudian pintu itu terbuka lebar, menampakan Rival dan Sanji di belakangnya.
"Halo, Fir." Sanji tersenyum simpul. Aku mengangguk kecil. Rival berjalan melewati kami berdua, memberi akses privasi pada kami.
"Kenapa ke sini?"
Duh, jawab apa aku ini?
"Eung ... Migi .... " Aku menatap Sanji yang masih menunggu aku bicara. "Apa dia baik-baik saja?"
Sial! Bukan itu yang ingin aku tanyakan! Namun kenapa Sanji tersenyum lagi.
"Dia gak masuk sekolah. Tadi pagi gue disuruh ke rumahnya karna demam. Katanya sih gara-gara keujanan pas kemarin lusa."
Aku tertegun, demam? Berarti ketika malam itu terjadi, karna hujan turun dengan deras saat aku sampai rumah. Ketika aku dan dia ... bisa dikatakan berseteru? Apa sampai seperti ini efek dari kejadian itu kepada seorang Migi Prasetya?
"Sust, kok bengong?" Sanji melambaikan telapak tangannya di depan wajahku.
"Eh, iya. Gitu ya?" Aku menggaruk belakang kepala. "Kalo gitu aku balik ke kelas dulu, bye Sanji."
"Oh, ok. Hati-hati, Fir."
Aku melambaikan tangan sebelum berbalik. Apa benar dia demam karna aku? Tunggu, apa yang aku lakukan? Kenapa aku ingin tau dia kenapa? Ini sudah gila!
◇◇◇
Pulang sekolah. Aku berjalan sendiri menyusuri perkomplekan rumahku. Aku memang selalu jalan kaki setelah naik angkot bersama Manda dan Angel untuk sampai rumah.Aku mendongakkan kepala saat menemukan sepasang sepatu tepat berada di depan sepatuku. Langkah kakiku terhenti dan tertegun.
Migi?
Ya, cowok itu tengah berdiri di depanku. Dengan cengiran bodohnya itu. Dan satu lagi, matanya yang sayu itu.
"Kam- " Migi meletakan telunjuknya di depan bibirku. Aku yang sadar langsung menepisnya tak suka. Migi tersenyum kecil, bibir itu tampak pucat pasi.
"Kangen Fira manis," ucapnya begitu lemas. Bahkan terdengar seperti bisikan.
"Udah aku bilang aku bukan gul-- EH!"
Tubuh Migi tiba-tiba tumbang ke depan. Aku yang tidak siap hanya menahannya agar tidak mendarat dengan trotoar keras ini. Sial, dia terlalu berat, aku sampai ikut terduduk untuk menyangga tubuh jangkungnya. Ada yang aneh dengan suhu tubuhnya.
Panas.
"Mi," panggilku cemas. "Lo masih sadar gak?"
Bodoh, mana ada dia jawab. Aku membenarkan posisinya, membuat pahaku sebagai bantal kepalanya.
"Duh, beneran panas, gimana ini?" Aku mengguncangkan bahunya. "Mi, bangun. Kamu gak mau aku lempar ke tengah jalan 'kan?"
Hening, Migi tetap diam. Aku semakin risau. Jangan-jangan dia mati?
"Migi, bangun." Oh sial, suaraku mulai parau. Aku tidak boleh menangis! Tidak!
"Migi!" teriakku untuk menghilangkan suara parau itu. Namun bukan hilang, malah terdengar lirih.
"Migi! Jangan mati dulu! Aku belum minta maaf!"
---
To be continue 💙

KAMU SEDANG MEMBACA
Fira Florin
Roman pour Adolescents(Nulis pas jaman jamet, harap maklum). "Jika cintamu bak hujan, maka dengan senang hati aku memakai payung untuk melindungi diriku. Namun saat melihat orang lain menikmati hujanmu, aku pun ingin merasakannya." -Fira Florin. "Kau paling unik, ket...