Trauma

5.7K 273 1
                                    

Semilir angin menyapu wajahku. Sore hari yang menampakan langit senja menemaniku. Aku menatap langit mulai berubah warna itu dari balkon kamar, mencoba mengusir semua masalah hari ini.

Aku membuang napas jengah. Setelah mendengar sepotong penjelasan dari Rangga, rasanya semakin rumit. Sayangnya Rangga hanya memberi tau soal perkelahiannya, tidak dengan alasannya yang menyebut namaku. Walau aku sudah mengancam akan kembali ke Singapura agar dia cepat buka mulut, dia hanya memberi tau Warior tidak suka melihat aku dekat dengannya.

What the hell, akupun bingung. Aku yakin Rangga tau semuanya. Tapi dia urung memberi tau.

Sebenarnya aku tau, pasti cowok itu dendam padaku, makanya dia selalu mengangguku untuk memberiku pelajaran. Aku tau semuanya. Tapi apa hubungannya dengan Rangga? Dia bahkan tidak ikut ke dalam kejadian di warung itu.

"Ade, masuk. Bentar lagi magrib."

Aku menoleh saat mendapat suara Ibu dari belakang. "Iya, Bu." Aku berbalik, menerima uluran kedua tangan Ibu yang bersiap memelukku.

"Kenapa, eum? Kok kayak banyak pikiran gitu?"

"Nggak, cuman pusing aja. Jadi anak SMA ternyata rumit ya, Bu?"

Ibu terkekeh pelan. "Jatuh cinta, ya?"

"Apasih, Bu? Apa hubungannya?"

"Yaa, takutnya lagi galau sama akang kemarin itu," ucap Ibu sambil menggoda.

"Rangga maksudnya?"

"Oh, namanya Rangga." Ibu manggut-manggut.

"Bukan Bu, dia itu temennya Fira."

"Iya, Ibu sama Bapak juga dulunya temen."

Haduh!

"Udah ah ... Ibu godain Fira terus."

Aku memasuki kamar, sementara Ibu masih tertawa pelan. Memangnya kenapa dengan aku dan Rangga? Kami 'kan hanya teman.

"Oh iya, kata tetangga sebelah pas kita ke Singapura ada yang datang ke rumah."

"Siapa, Bu?"

"Katanya cowok, banyakan gitu."

Aku tertegun. Cowok? Banyakan?

Jangan-jangan ... Warior?

◇◇◇

"Fir, gue pulang duluan boleh?" tanya Angel yang masih duduk di sampingku.

"Hm, duluan aja. Aku masih mau nyatat materi."

Benar, aku memang lelet dalam menulis materi dari papan tulis. Aku selalu pusing melihat materi dan buku secara bergantian terus berulang, mungkin juga mataku sedikit terganggu.

"Bener gak pa-pa? Kata Manda gue harus nemenin lo sampe selesai. Tapi Mom gue udah miscall terus dari tadi nyuruh pulang."

Aku menatap Angel yang masih dengan raut cemasnya. Aku tersenyum singkat. "Iya, gih kalo mau pulang. Lagian masih banyak anak-anak yang eskul, sekolah gak sepi amat kok."

"Tapi, bener gak pa-pa? Gak enak gue."

"Bener Angel." Aku kembali mencatat materi.

"Ya udah." Angel beranjak berdiri. "gue duluan, yah!"

"Hm, hati-hati Ngel!"

Kini hanya tersisa aku dan teman sekelasku yang masih melakukan hal yang sama. Sebenarnya materiku tinggal sedikit lagi, itu juga tidak masalah, aku bisa minjam buku Manda. Aku sedang menggambar sesuatu. Sebuah sketsa wajah.

"Ra, aku duluan!" pamit teman sekelasku.

"Oh, iya!" jawabku dengan sopan. Dan akhirnya, aku sendiri di kelas.

Entah karna fokus pada gambar atau bagaimana, kurasakan situasi sudah mulai gelap. Aku mengedarkan padanganku pada jam dinding. Pukul lima sore.

"Eh, kok cepet banget?"

Aku mulai membereskan semua peralatan tulisku. Sampai sebuah suara rintikan hujan di jendela membuat pergerakanku berhenti. Cepat-cepat aku mencari earphone dari dalam tasku. Sialnya, earphone itu masih di atas tempat tidur kamarku. Kurasakan tanganku mulai bergetar, degub jantungku juga sudah tak normal. Apa ini ....

JDAR!

"HUA!" Dengan refleks aku menutup kedua telingaku. Tubuhku luruh ke bawah meja, mencari tempat persembunyian. Seluruh tubuhku pun mulai dingin.

"Ku mohon jangan sekarang," isakku tertahan. Bibirku bergetar hebat, napasku mulai tersengal. Bagaimana ini? Apa aku akan mati di sini?

JDAR

Kilat menerangi kelas yang mulai gelap. Aku semakin mengeratkan pelukan pada kedua lututku.

Dar!

"IBU!" teriakku sekeras mungkin. Ku mohon, selamatkan aku. "Ibu, hikss ... tolong Fira."

DAR!

Lagi-lagi kilat itu membuat ruangan ini bercahaya sekejap. Akupun semakin terisak, menutup kedua telingaku dengan erat.

"Fira?"

Apa aku dipanggil Tuhan? Aku seperti mendengar suara.

"Fira?"

Suara itu semakin jelas.

"Fira."

"Aaaaa!"

Aku menepis sebuah tangan yang memegang bahuku. Berontak agar dia tidak memegangku lagi. Sungguh, bayangan itu kembali terlihat di ingatanku.

"Pergi! Ibu ... tolong Fira hikss ...."

"Fira, buka matamu." Suara itu kian melembut. Perlahan aku membuka kelopak mataku, samar-samar aku melihat seseorang berjongkok di depanku. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Saat air mataku jatuh, baru aku melihat sosok di depanku ini. Secercah lega muncul di benakku.

"Sanji ...."

---

To be continue 💙

Fira FlorinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang