Epilog | Cinta Tak Bersyarat

4K 174 51
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم

"Cintai seseorang dengan sewajarnya. Namun, cintai Sang Pencipta lebih dari segalanya."

♡♡♡

Suasana khas pedesaan dan kehidupan masyarakat yang kental dengan kearifan lokal cukup terasa di sini. Satu hal yang membuat jatuh hati adalah pemandangan dan bentang alamnya yang mempesona. Sederhana namun penuh keindahan. Menatap ke arah kejauhan terlihat deretan bukit yang seolah-olah memagari sawah. Untuk melihat ujung sawah kita perlu berjalan menyusurinya. Sawah-sawahnya dipenuhi padi yang meninggi berwarna hijau menyejukan mata. Ujung-ujung daunnya yang meruncing bergoyang tertiup semilir angin.

Perempuan dengan balutan ghamis panjang serta khimar lebar terlihat tengah berdiri menghadap pemandangan indah di depan matanya. Dia memang selalu menghabiskan waktu pagi bersama bentangan sawah dan luasnya langit biru yang memayungi. Rasanya sesak di dada menghilang dan menguap begitu saja, saat netranya bertemu pandang dengan ciptaan Allah yang begitu mengagumkan. Andaikan tidak ingat dengan tugasnya untuk mencari uang, mungkin gadis berusia dua puluh enam tahun itu akan dengan senang hati berdiam diri di sana.

"Teh Siska!" teriakan nyaring yang keluar dari bibir mungil adiknya membuat dia menoleh seketika. "Apa?"

"Dipanggil Ibu," ucapnya memberitahu.

Tanpa banyak bertanya lagi wanita dengan balutan ghamis berwarna biru langit, dan khimar abu-abu itu melangkahkan kaki menuju rumah yang berada tak jauh dari tempatnya berada. "Ada apa sih?" tanya perempuan bernama Siska pada adik satu-satunya.

Shakira hanya mengedikan kedua bahunya tak peduli lalu menjawab, "Enggak tau."

Sepasang kakak beradik itu jalan berdampingan. Tinggi badan Shakira yang memang tak begitu jauh dengan sang kakak, membuat Siska begitu nyaman menyampirkan sebelah tangan kanannya di atas bahu sang adik. Keduanya tak henti-henti mengoceh, saling meledek adalah hal biasa bagi mereka. Sampai tak terasa kedua perempuan yang hanya berjarak beberapa tahun itu tiba di depan rumah sederhana bercat hijau.

"Mobil siapa?" seloroh Siska pada si bungsu Shakira.

"Yang jelas mobil orang lain, Teh. Kita mana punya mobil bagus kaya begitu," katanya seraya mendongak, menatap wajah ayu sang kakak yang tengah menampilkan senyuman tipis.

Dengan gemas Siska mengacak pelan kepala adiknya yang tertutup hijab. "Doain aja. Kalau usaha Teteh lancar insya allah kita bisa beli mobil," ujar Siska kembali menarik kedua sudut bibirnya.

Gadis yang baru lulus SMA itu memeluk erat pinggang kakaknya. Lantas berkata, "Aamiinnnnnnn."

"Ibu tungguin dari tadi malah ngobrol di sini." Penuturan Ratih menghentikan obrolan keduanya.

Siska hanya menyengir kuda lalu mengambil punggung tangan ibunya untuk disalami. "Apa emang? Tumben nyariin aku."

"Udah ah jangan banyak nanya. Ayo masuk," ajak Ratih dengan segera menggandeng putri sulungnya.

Rumah sederhana tanpa tingkat bernuansa pedesaan yang sangat kental. Terlihat jelas dari tatanan bangunan dan juga desain arsitekturnya. Ruang tamu yang hanya dilengkapi dengan beberapa sofa panjang dan juga satu televisi layar datar itu terlihat sedikit ramai karena kedatangan tamu.

"Ada siapa, Bu?" tanya Siska berbisik saat netranya sudah menangkap punggung tegap seorang laki-laki. Tak ketinggalan ada sepasang suami istri yang mengapit pria tersebut.

"Yuk duduk," ajak Ratih tanpa mau repot-repot menjawab pertanyaan putrinya.

"Maaf lama," tutur Ratih saat sudah mendudukan bokongnya di atas sofa. Sedangkan Siska hanya mampu menunduk dalam dengan perasaan cemas tak keruan. Firasatnya buruk.

Cinta Tak Bersyarat  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang