Part 6 | Cinta Tak Bersyarat

2.8K 194 83
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

"Jika kamu hanya datang untuk sekedar singgah tanpa berniat menetap. Tolong jangan buat aku banyak berharap."

♡♡♡

Hari pertama Siska bekerja cukup menguras tenaga jiwa dan raga. Ternyata bekerja menjadi seorang apoteker itu tidak semudah apa yang dia bayangkan sebelumnya.

Terkadang dia berpikir, profesi Apoteker itu unik. Dia ada di mana-mana tapi tidak tampak di mana-mana. Dia ada di apotik, tapi yang pasien tahu di apotik adalah asisten apoteker (dalam pikiran mereka itulah apotekernya). Dia ada di rumah sakit, tapi yang orang tahu di rumah sakit itu dokter, bidan, dan perawat. Dia ada di industri farmasi, tapi pasien tidak tahu yang membuat obat itu apoteker. Dia ada di distributor farmasi Pedagang Besar Farmasi (PBF), tapi yang dikenal masyarakat adalah pengusaha.

Keberadaan apoteker sangatlah dibutuhkan, karena apa? Karena seorang dokter tidak bisa memaksimalkan tugasnya untuk menyembuhkan pasien hanya dengan mengandalkan ilmu yang dipelajarinya saja. Tapi dia juga membutuhkan obat-obatan dalam proses penyembuhan pasiennya.

Dulu Siska berpikir bahwa hanya dokter saja yang disumpah jabatan dan hanya dokter pula yang terlihat gagah dan berwibawa dengan jas putihnya. Namun, nyatanya pemikiran itu salah karena apoteker juga sama seperti dokter. Disumpah saat telah menyandang status sarjana dan tentunya jas putih juga menjadi identitas seorang apoteker.

"Kantin kuyy," ucap Shinta membuyarkan lamunan panjang Siska.

"Ayo lah gue juga laper," sahut Siska yang sudah keroncongan karena memang sudah jam makan siang.

Shinta adalah teman sewaktu kuliah Siska dulu, dia lebih dulu bekerja di rumah sakit ini sebagai apoteker. Karena memang setelah lulus kuliah dia langsung mengamalkan ilmunya melalui kerja. Maklum lah dia adalah anak rantauan jadi harus giat bekerja untuk bertahan hidup.

Mereka berdua jalan beriringan menuju kantin yang sudah padat dengan pengunjung. Siska memilih duduk di pojokkan karena memang hanya itu yang tersisa, sedangkan Shinta yang bertugas memesan makanan untuk menu makan siang mereka hari ini.

"Pesanan datang," seru Shinta heboh dengan nampan yang sudah berisi dua mangkuk bakso dan dua gelas es jeruk.

"Masih inget aja lo kesukaan gue," ucap Siska yang kini sudah asik memasukan beberapa sambal ke dalam mangkuk baksonya.

"Iya, gue gitu lho," ucapnya begitu jemawa.

"Wah ini mah lebih enak dari bakso Mang Erus di kampus kita dulu," ucap Siska antusias saat memakan baksonya.

"Haha, iyalah harga kagak bisa bohong. Secara harga nih bakso hampir dua kali lipat dari harga baksonya Mang Erus," ucap Shinta yang kini menyuapkan satu suapan besar kedalam mulutnya.

"Serius lo?" mata Siska melotot tak percaya.

"He.em" santainya. Shinta memang sudah bekerja lebih dari satu tahun di rumah sakit ini. Jadi, sedikit banyak dia mengetahui seluk beluk tentang rumah sakit ini. Termasuk harga bakso yang mahal ini.

"Bisa miskin mendadak lagi gue kalau makan bakso tiap hari di sini," canda Siska yang berhasil membuat Shinta tertawa.

"Bukannya lo udah miskin mendadak yah," timpalnya masih dengan kekehan kecil.

"Haha, iya tuh lo tau. Dan kalau gue tiap hari makan di sini bisa tambah miskin," ujar Siska lalu keduanya tertawa bersama.

"Tenang aja untuk kali ini gue yang traktir lo deh," tutur Shinta yang membuat Siska tersenyum bahagia.

Jika dulu dialah yang akan bersenang hati men-traktir teman-temannya. Tapi sekarang dia yang di-traktir. Roda kehidupan memang terus berputar.

"Boleh gabung?" suara seseorang menghentikan tawa keduanya.

"Boleh, Dok silakan," ucap Shinta mempersilakan.

"Emang gak ada bangku lain apa," gumam Siska tak suka dengan kehadiran orang yang Shinta panggil 'Dok' itu.

"Anda bisa lihat kan semua bangku di sini penuh," ucapnya begitu dingin dan formal. Siska hanya bisa mendengus sebal.

Gue acak-acak juga tuh muka, kalau tuh muka ancur setidaknya gue membantu kaum wanita melenyapkan salah satu makhluk playboy di muka bumi ini. Irfan, dia adalah Irfan. Kenapa hidup gue selalu berurusan dengan dia?

Shinta menyenggol pelan lengan Siska, "Hati-hati lo kalau ngomong. Dia dokter Edgar putra tunggal Pak Elang pemilik rumah sakit ini," bisik Shinta.

"Gue udah tau!" sahut Siska yang membuat Shinta membulatkan mata tak percaya.

"Nanti gue jelasin," lanjutnya karena melihat raut kebingungan dan penasaran dari wajah Shinta.

Siska yang selalu menampilkan kebencian dan ketidaksukaan bila di depannya. Padahal jauh di lubuk hatinya dia menyukai bahkan mencintai sosok yang kini tengah berada di hadapannya. Itu semata-mata hanya untuk menutupi rasa sukanya pada Irfan. Karena Siska tidak mau ada seorang pun yang tahu tentang perasaan dia yang sebenarnya. Dan bersandiwara seperti ini adalah pilihan Siska untuk menutupi semuanya. Walaupun konsekwensi yang harus dia terima adalah sebuah luka tapi itu sudah menjadi pilihannya.

"Ayo Shin cabut," Siska menarik paksa tangan Shinta.

Cukup, gue gak mau liat mukanya lagi.

'Dasar sok cool, sok misterius, sok laku. Logay (loba gaya/banyak gaya) lo!' beragam umpatan kasar Siska lontarkan dalam hatinya.

"Lo kenal dokter Edgar, Sis?" sesampainya di ruangan tempat mereka bekerja Shinta langsung mengutarakan rasa penasarannya.

"Dia temen zaman SMP dulu," jawab Siska malas jika harus kembali mengingat-ngingat masa putih birunya.

"Serius lo?" Shinta mengguncangkan kedua tangan Siska tak percaya.

"Iyalah ngapain juga gue boong,"

"Gila, gila, gila, demi apa lo pernah satu sekolah sama dokter Edgar?"

"Iya, dia emang gila." sahut Siska asal menanggapi kehebohan Shinta.

"Siapa yang gila, Sis?" tanyanya begitu polos.

"Lo. Puas?!" pungkas Siska kesal lalu pergi.

"Siska gue gak mau tau lo harus kasih tau semuanya tentang dokter Edgar," teriak Shinta histeris.

Hati Siska panas seketika. Saat tahu ada perempuan lain yang juga menyukai laki-laki yang dia cintai dan itu adalah Shinta temannya sendiri.

Stop! Siska stop! Jangan terus memupuk banyak harapan sama dia. Hati dia itu milik semua wanita, dia gak bisa hidup hanya dengan satu wanita. Ingat! Dia itu playboy, playboy Siska. Kalau lo terus menyimpan rasa lo, itu sama aja lo menyimpan boom waktu yang sewaktu-waktu akan meledak dan melukai perasaan lo.

Fokus, fokus. Siska terus mensugesti dirinya agar kembali fokus melanjutkan pekerjaan yang tadi sempat terpotong waktu istirahat. Come on Siska!

Selasa, 12-03-19

-Cinta Tak Bersyarat-

-Jadikan Alqur'an sebagai bacaan utama-

-Budayakan Votement!-

-Budayakan Votement!-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Cinta Tak Bersyarat  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang