2

9.8K 701 47
                                    

Percaya tidak, jika berjalannya hari yang baik itu berasal dari pikiran yang positif. Tak perlu terlalu dipikirkan bahwa gerbang sekolah hampir saja tertutup, atau tungkai yang hampir putus sebab berlari seperti dikejar hantu. Bahkan disaat keringatmu sudah sepenuhnya mengucur, nafasmu hampir merobek papu-paru sekalipun.

Ia tetap berusaha mematri senyum meski hampir saja terlambat dan mungkin saja tak mampu menghindar dari jeratan hukuman dari guru yang mengawasi.

Hari kemarin yang berlalu seperti dandelion yang dihembuskan angin terbang jauh tak mampu digenggam ulang kembali. Ia harus tetap mensyukuri meski entah semua itu pembalasan dari Tuhan atas bentuk dari segala usahanya. Atau hanya harapan semu nan kosong menyakitkan, yang kembali mencekik mematikan, ia sudah bertekad takkan peduli.

Langkah yang dihiasi dengan deru yang masih tersenggal ia bawa melangkah masuk dengan tangan yang mengerat pada ransel yang tak layak lagi disandang untuk menimba ilmu, sejujurnya.

Semakin terasa semangat ketika menemukan seseorang bersandar pada tiang namun tak juga menyadari kehadirannya. Yugyeom adalah satu-satunya manusia tolol dimatanya, namun juga seperti malaikat baik yang dikirim Tuhan. Hanya dia sahabat setia, tetap tak pernah bosan mengikutinya kemanapun ia pergi, meski Jungkook masih kerap bersikap menjengkelkan seperti seseorang yang tak butuh teman.

"Yugyeom."

Anak muda itu hanya mengalihkan pandangannya sekilas. Lantas kembali mengamati para siswi-siswi yang kebetulan lewat dihadapannya.

"Anak sekolah dilarang berpikiran mesum."

Yugyeom mendesis. " Mesum dari mana sih? Inikan yang disebut mencuci mata batin."

"Tidak akan ada gadis yang ingin dengan seorang laki cupu sepertimu."

"Sialan! Tidak biasanya kau menjengkelkan. Meski hari-harimu juga galak sih."

Meneliti Jungkook dari bawah hingga atas. " Kau terlihat aneh seperti hari-hari sebelumnya."

Jungkook tak bisa untuk tak mengulum senyum. Ia tertawa kecil sampai membuat lawan bicaranya terheran-heran, "ya, tentu saja. Tuhan sedang meletakkan jackpot pada kehidupan yang pahit ini."

"Huh?"

"I-itu?" Ia meringis, mengaruk dahi dengan telunjuk, "kau tahu, ini hanya tentang sebuah kebahagiaan kecil. Pada akhirnya aku bisa merasakan berbicara dengan Tae-hyung."

***
"Jadi, bagaimana bisa sibrengsek itu berbicara pada mu?"

Obrolan yang sempat terputus nyatanya masih berlanjut. Yugyeom, bocah tengik tersebut tak berniat berhenti membordir pertanyaan pada Jungkook meski anak itu terus membisu hingga usai sekolah sekalipun.

"Aku yakin telingamu tidak tertukar dengan telinga panci yang ada dirumah, bukan?"

Jungkook mendesis, "Diamlah. Aku tak suka berbicara pada orang yang tidak mengerti sopan santun."

"Hey... Aku berbuat salah apa padamu?" Anak itu masih keukeh, memasang ekspresi tanpa rasa bersalah sedikitpun. "Toh, tiada sebutan yang lebih pantas dari itu. Mana ada seorang saudara yang rela tanpa rasa berdosa menindas, bahkan menyakiti--"

"Sejauh apapun kau memaki mereka hingga membuatmu merasa puas. Namun, yang kau sebut dengan bahasa tak pantas itu adalah saudaraku. Mau bagaimana pun, mau seburuk apapun. Mereka tetap jauh lebih berharga darimu."

Yugyeom sempat terhenyak sesaat. Namun ia tak perlu menyimpan rasa sakit hati untuk sahabatnya. Tak akan pernah sampai kapan pun. Ia harap begitu.

Ia menunduk lesu, memasang ekspresi sedih yang membuat sang lawan menatapnya jijik, "kau seolah tak pernah membutuhkan aku. Baiklah, biarkan saja aku mati jikalau begitu."

THE HOPE (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang