Amarah telah sepenuhnya menguasai diri. Dinginnya malam bahkan tak jua mampu untuk surutkan. Dibalik senyum yang mengerikannya itu, tersimpan beribu-ribu kesakitan yang kini telah menjelma menjadi dendam. Sosok yang ada pada balik pintu tampak menyebulkan kepala, menatapnya dengan sorot ketakutan, tangannya bahkan sampai gemetar. Dengan segenap tenaga ia tendang pintu dihadapannya, hingga sosok yang ada dibalik pintu tersebut terantuk keras sampai terjatuh.
Ia daratkan pukulan pada tubuh ringkih tersebut dengan kekuatan yang tak main-main. Sosok dihadapannya tersebut seketika mengerang tertahan bahkan airmatanya mulai menggenang. Tapi, pemandangan tersebut sedikitpun tak membuat rasa belas kasihan itu muncul. Justru dengan melihat orang yang ada dihadapannya tampak begitu menderita, ia merasakan kepuasan tersendiri.
"Tuan, Maaf." Nada bicaranya terdengar sangat pelan bahkan nyaris hilang.
"Kau sudah ingkar berhari-hari dari perjanjian yang telah disepakati. Sekarang, bayar hutangmu, brengsek!"
Bugh!
Ia kembali melayangkan pukulan pada tulang pipi sosok tersebut, walau temaran lampu redup, Namjoon masih dapat menangkap ada darah yang mengalir pada sudut bibirnya.
"A-aku akan membayarnya. Beri aku waktu, Tuan. Hanya sampai esok. Aku janji."
Sosok tersebut tak lain ialah Jungkook. Memohon belas kasihan sedikit saja. Namun, sepertinya takdir memang senang mempermainkan hidupnya.
"Aku sudah muak dengan kata-katamu itu. Kau sudah mengatakannya lebih dari sepuluh kali. Sekarang aku tak ingin lagi mendengar apapun itu alasannya!"
Namjoon bangkit, lantas melayangkan tendangan pada perut Jungkook. Sampai membuat anak itu meringkuk kesakitan. Ia melangkahi Jungkook begitu saja. Lantas mengobrak-abrik barang-barang Jungkook. "Kalau sampai aku tak menemukan sepeser uangmu. Maka kau harus tanggung akibatnya, sialan!"
Namjoon masih terus menggeleda isi kamar Jungkook. Ruangan yang tadinya rapi, telah menjadi berantakan. Bahkan lampu belajar yang menjadi satu-satunya penerangan dikamar Jungkook ikut menjadi sasaran. Beruntung lampu tersebut masih hidup meski lehernya hampir patah.
Ia menggeram, memejamkan mata menahan amarah yang sebentar lagi akan meluap. Lantas kembali menatap Jungkook yang kini menatapnya takut. Anak itu sampai mundur beberapa senti. "Kau sendiri yang mengatakan, jika dirimu tak bisa mengangsur segala kerusakan barangku yang telah kau perbuat. Kau akan merelakan tubuhmu untuk ku jadikan samsak."
Namjoon kembali menendang dada Jungkook hingga membuatnya kembali tersungkur menyedihkan. "Kau pikir, berapa lama aku harus menunggu barangku jadi, huh. Aku bahkan memesannya langsung dari prancis. Kau harus ingat bahwa barang ku lebih berharga dari pada kau! Bahkan sekalipun kau menjual tubuhmu, kau takkan bisa mengganti itu semua!"
Ia terus melayangkan pukulan dan tendangan pada tubuh ringkih Jungkook hingga berdarah-darah. Jungkook semakin babak belur, bahkan kini ia memuntahkan darah. Namun, Namjoon masih enggan untuk berhenti. Hingga tangan ringkih yang telah ia injak dengan kekuatan yang tak main-main mencoba meraih kakinya.
"Tuan, bagaiamana dengan nyawaku? Apa aku bisa membayarnya dengan nyawaku? Jika memang itu mampu mengganti segala kerugian yang sudah aku perbuat. Maka bunuh saja aku, Tuan. Bunuh saja aku, Namjoon Hyung."
***
"Senyum hangat untuk hiasi kelabunya angkasa. Hyungdeul, semoga Tuhan selalu tuangkan kebahagiaan di keluarga kita."
Matanya menatap sendu pada sebuah potret yang berisi enam orang dengan pakaian formal yang tengah berbahagia. Rasa hangat itu selalu bisa ia dirasakan setiap kali nertanya bertemu dengan potret yang terpajang ditengah-tengah rumah megah mereka. Namun, kini semua telah berbeda. Kehangatan itu telah sepenuhnya menguap. Digantikan dengan rasa dingin yang mampu mencengkram kuat jantungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE HOPE (✓)
FanfictionJeon Jungkook harus hidup diantara orang-orang yang membencinya karena kesalahan besar yang tak disengaja. Tapi, semua itu tak membuatnya gentar dan masih tetap berharap bisa medapatkan maaf dari semua kakaknya dan bisa hidup bahagia bersama. Meskip...