Sejauh hidupnya berjalan, sejauh waktu yang telah berlalu. Yoongi memang sadar betul, bahwa yang selama ini yang dicarinya ialah sebuah pembenaran yang entah sampai kapan ia temukan, disaat kala kebenaran jelas-jelas terlihat nyata didepan matanya.
Detik ke menit berlalu, berganti jam, bahkan hari, bulan dan tahun-tahun telah terlewati. Sebuah kenyataan pahit yang merenggut kebahagian keluarga yang sempurna. Harus ia relakan dengan digantikan sosok adik yang bahkan sama sekali tak ia harapkan kehadirannya.
Ia menatap sosok yang saat ini tengah menutup rapat matanya. Takdir mengatakan bahwa mereka adalah saudara sekandung.
Jungkook juga anak Mama.
Jungkook juga adik kandungnya.
Jangan pernah mengira hidup dibersamai dengan dendam akan terasa nyaman dan menyenangkan. Tak bisa dipungkiri bahwa ia merasa sedikit sesal dalam hati melihat kondisi memprihatinkan si bungsu. Yang harus menderita seumur hidupnya karena siksaan dari mereka. Namun, kesakitan yang sudah terlanjur dalam membekas membuatnya menjadi gelap mata.
'Dia juga menderita sama seperti Jungkook, benar. Itu harus digaris bawahi. Toh, Mereka sama-sama menderita. Bukan hanya, Jungkook.'
Nyatanya ia masih tetap sama. Masih tetap kukuh mengikuti keegoisannya yang belum mampu berdamai pada masa lalu.
"Aku tak salah. Jungkook memang pantas menerima semuanya. Sebab kehadirannya justru malah membuat mama tiada. Keluarga mereka seharusnya sudah sempurna tanpa harus ada Jungkook. Dan sayangnya, dia hadir dengan merusak segalanya yang ada.'
Banyak sekali kata-kata protes yang terlontar dihatinya. Sumpah serapah dan makian yang harusnya didengar langsung oleh sosok yang masih saja betah menutup mata dihadapannya.
Hati yang sudah terlanjur tertutup terasa sangat sulit untuk membukanya kembali. Percayalah hal tersulit yang harus dilakukan manusia ialah keikhlasan.
Teruntuk orang yang sudah terlanjur beku seperti dia, terasa mustahil mampu menyalurkan kasih dan sayang pada sosok yang begitu ia benci. Sekalipun adik bungsunya tengah sekarat.
"Hyung?"
Suara lemah yang bahkan hampir tak terdengar bila saja keadaan tak sedang hening. Berhasil membuyarkan lamunannya.
Sepasang netranya langsung menatap sang adik yang tampak kesulitan bergerak bahkan hanya untuk mengedipkan mata sekalipun.
Ia terpaku sejenak pada pemandangan yang tersaji depannya. Banyak sekali luka yang tertoreh disana. Lebam menghiasi wajah anak itu, bahkan matanya membiru sebelah. Ia tidak tahu apa yang telah dialami Jungkook. Ntah kesalahan apalagi yang telah ia lakukan sehingga harus menerima luka-luka tersebut. Anak itu terlihat sangat amat menyedihkan.
Disisi lain Jungkook masih mencoba membiasakan matanya menatap sekeliling. Pandangannya kabur.
Merasa panggilannya tidak ada yang menyahut, ia tersenyum sendu lalu kembali bergumam "ah, ternyata hanya halusinasiku saja." Terkekeh sejenak menahan getir, lalu melanjutkan "tidak mungkin ada hyungie disini."
Hatinya terasa tercubit ketika mendengar ucapan sang adik. Ada keinginan merengkuh sosok rapuh dihadapannya. Namun tubuhnya terasa kaku. Yoongi hanya mampu menahan desakan dihatinya dengan mengepalkan erat kedua tangannya.
Sekuat tenaga ia ingin mengeluarkan suara, namun tidak bisa.
Tenggorokannya terasa perit.
Dia ingin mengakhiri semua ini, Yoongi ingin menghancurkan dinding pembatas tak kasat mata yang selama ini menjadi pemisah antara dirinya dengan adik yang selalu ia sakiti. "Jungkook, maafkan hyung." Lirihan yang tidak mungkin mampu terdengar oleh sang adik, sebab lirihan itu hanya berbisik dalam hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE HOPE (✓)
FanfictionJeon Jungkook harus hidup diantara orang-orang yang membencinya karena kesalahan besar yang tak disengaja. Tapi, semua itu tak membuatnya gentar dan masih tetap berharap bisa medapatkan maaf dari semua kakaknya dan bisa hidup bahagia bersama. Meskip...