29

5.6K 604 131
                                    

Barangkali memang ada beberapa dari sebagian manusia yang ditakdirkan hidup tanpa diberi izin mengecap rasa manis. Atau sebenarnya, hanya dirinya saja yang tak pernah tahu bersyukur. Ia mungkin terlalu sibuk menyelami rasa sakit hingga melupakan bahwa sebenarnya Tuhan telah memberinya porsi bahagia tersendiri. Jungkook tidak mengerti, tapi ia akan tetap terus memahami, ia akan selalu memaklumi, juga mengikhlaskan segala angannya yang mungkin takkan pernah mampu digapai.

Rasanya ia seperti terasingkan. Bangunan sekolah tempat ia menuntut ilmu selama ini, entah mengapa begitu terasa kelabu. Netranya menatap sendu pada bangku yang ada disebelahnya. Kosong. Yugyeom tidak mungkin mau duduk bersebelahan lagi dengannya, setelah mengetahui apa yang telah coba disembunyikannya. Yugyeom duduk jauh dari jangkauannya. Bahkan sekedar memalingkan wajah saja rasanya tidak akan pernah sudi.

Jungkook mencoba mengabaikan rasa pening yang tiba-tiba datang menghampiri. Keadaannya jauh dari kata baik-baik saja. Kondisi kesehatannya semakin memburuk dari hari kehari. Jungkook sakit. Ralat, ia sangat-sangat sakit.

Mengulas senyum getir ketika darah mulai mengalir keluar dari kedua lubang hidungnya. Jungkook tak pula segera ambil langkah untuk menutupinya. Ia justru tetap bersikap tenang. Duduk menghadap kedepan tanpa melunturkan senyum yang tak lagi sampai kemata. Bahkan ketika teman yang ada didepan mejanya memekik panik, Jungkook tak menanggapi.

Seseorang berteriak kencang, mengoyangkan bahunya guna mencoba mengembalikan kesadarannya pada raga.

"Jungkook! Hidungmu berdarah! Kenapa diam saja, hei!"

Masih belum melunturkan senyum, Jungkook memalingkan wajah menatap seseorang yang bahkan sama sekali tak terganggu dengan kegaduhan kelas akibat ulahnya. Padahal dulu, Yugyeom akan jadi orang pertama yang paling panik dengan keadaannya yang tiba-tiba jadi mengerikan. Sekarang Yugyeom benar-benar sudah jadi dingin, sudah tak lagi mau peduli pada anak pembawa sial seperti dirinya.

Tanpa sepatah kata Jungkook segera berdiri, mengabaikan tatapan iba dari semua orang. Dengan langkah yang hampir limbung, Jungkook membawa dirinya keluar kelas.

"Jungkook, ini bekas apa? Kenapa warnanya biru-biru seperti ini?"

"Jungkook, kenapa tanganmu diikat-ikat lalu digendong seperti itu? Kamu habis terjatuh?"

"Ayahku sudah pergi, hiks. Ayah sudah tiada. Padahal kemarin seharusnya Ayah datang bawakan hadiah dan pelukan rindu. Padahal kemarin Ayah sudah janji, akan mengajakku pergi bermain-main bersama dengan Mama. Ayah jarang punya waktu luang, Mama juga selalu sibuk. Seharusnya kemarin hari indah. Hari yang harus diabadikan. Tapi, kenapa malah Ayah datang sambil pejam-pejam mata?kenapa?! Seharusnya Ayah datang sambil kasih senyum yang indah, bukan malah tidur didalam peti mati?!"

Hantaman memori berisi rekaman suara Yugyeom semasa mereka kecil, membuatnya semakin didera rasa bersalah. Suara air yang berasal dari keran seolah menjadi melodi yang menyayat hati. Selama ini ia hidup tanpa sekalipun merasa tenang. Setiap kali senyuman sang teman terukir, maka, selama itu pula rasanya seperti ada sembilah belati yang menggores hatinya.

"M-maaf. Maafkan aku, sungguh. A-aku memang seharusnya mendapat hukuman yang setimpal. Kau seharusnya membunuh anak pembawa sial ini, Yugyeom. Aku memang tidak pantas hidup. Harusnya aku yang mati. Bukan mereka, bukan pula Ayahmu. Bunuh aku, bunuh saja aku Yugyeom. Ugh ..."

Perutnya tiba-tiba bergejolak mual. Ia memuntahkan isi perutnya yang sejak kemarin tak diisi. Cairan pekat menghiasi wastafel, Jungkook tersenyum miris. Menatap darah yang mengalir terbawa air tersebut. "Tunggu, sebentar lagi, Yugyeom. Si sialan ini akan segera berakhir. Si pencundang ini akan segera mati."

Hingga tungkainya melemas. Kesadarannya terenggut begitu saja. Jungkook berakhir tak sadarkan diri di kamar mandi tanpa ada yang tahu.

***

THE HOPE (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang